Hembusan Isu Pemekaran Wilayah Papua
Pemekaran tanpa menyiapkan OAP, kata dia, hanya menjadikannya sebagai “penonton”. Ia meminta agar tidak pakai “kaca mata kuda” melihat kebijakan afirmatif di Papua yang mewajibkan kepala daerah adalah OAP.
Xaverius Bavo Gebze, ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-Imbuti yang membawahi masyarakat asli Merauke di kota, menginginkan kesejahteraan warga tetap menjadi perhatian. Baik ada maupun tidaknya Provinsi Papua Selatan. Selama ini, penduduk asli Merauke bingung dengan pemerintah daerah. Karena program pelatihan yang dibuat tak ditindaklanjuti. Ada warga yang dibawa ke Surabaya dan Sorong untuk dilatih mengoperasikan kapal. Namun tak berlanjut ke pemberian bantuan.
“Orang maunya sejahtera. Kita mau mengadu ke mana itu kesejahteraan datang. Bisa sekolah dengan aman. (Bisa) cari kehidupan dan nafkah dengan layak. Ini tidak ada. Sepertinya program itu ada. (Pelatihan) hanya 2-3 jam. Tetap (kehidupan) kita jalan di tempat. Hanya pelatihan saja. Tidak ada bantuan modal dan usaha,” katanya.
Anselmus Amo menyebut, pemberdayaan OAP di wilayah selatan Papua penting. Karena mereka kini sudah termarginalisasi akibat kehilangan tanah adat. Proses peralihan dari ketergantungan hidup dari hutan tak bisa instan. Sehingga saat diketok ada Provinsi Papua Selatan harus disiapkan sumber daya manusia OAP.
“Ada yang bilang (ASN non-OAP) supaya ada yang bisa belajar dari orang luar. Tapi saat ini OAP sudah dijembatani apa belum. Tahapannya apa saja. Kalau tidak, dia akan tetap terbelakang,” kata dia.
Nasib OAP yang kami jumpai di pusat kota dan perbatasan negara diamini oleh Anselmus. Sebagai bukti nyata bahwa di Merauke mereka selama ini menjadi penonton dari derap pembangunan. “Ada provinsi atau tidak, sudah jadi tugas pemerintah untuk pemerataan pembangunan sampai pelosok,” imbuh Anselmus. (tirto/qn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: