Hembusan Isu Pemekaran Wilayah Papua
Jakarta, nomorsatukaltim.com - Dermaga pelabuhan Kelapa Lima, Papua, nyaris tak pernah sepi setiap sore. Para buruh dermaga yang tinggal di sekitarnya kerap menghabiskan sore dengan kongkow. Sambil berbincang-bincang di sana.
Dermaga di pusat kota ini pernah jadi penghubung utama antar-wilayah di Merauke. Sebelum ada jembatan di sisinya. Kini dermaga berfungsi sebagai kapal sandar ke kabupaten tetangga. Seperti Asmat dan Mappi.
Salah seorang buruh, Agapitus Tingginimu mengatakan, kapal bersandar dua kali sepekan untuk mengangkut sembako, bahan bakar dan barang lain yang dibawa truk dari kota. “Sekali bongkar muat kami dapat Rp 30.000 sampai Rp 50.000,” kata dia.
Sementara itu, Albertus Topimu menyebut, tidak ada pekerjaan lain selama 20 tahun belakangan ini bagi warga sekitar. Selain menjadi buruh dermaga. Albertus adalah kepala buruh dermaga setempat. Ia adalah orang Mappi, kabupaten baru dari pemekaran Merauke pada 1997. Sebagai kepala buruh dermaga, ia bertanggung jawab membagi upah kepada 35 anak buahnya.
Tarif bongkar muat untuk setiap truk adalah Rp 500 ribu. Ia berharap dinas setempat menaikkan tarif. Agar upah yang diterima makin besar. Lima tahun lalu saat dermaga baru dibangun, ia sudah bekerja di sana. Dari dulu semua buruh di bawahnya adalah warga dari suku asli setempat. “Yang penting ada KTP sudah cukup. Untuk sementara tidak menerima buruh dari pendatang. Mungkin nanti,” ujar dia.
Albertus mengikuti isu pemekaran Provinsi Papua. Yang menyasar wilayah Merauke. Di bagian selatan pulau ini. Ia berharap ada pemekaran. Agar jadwal kapal sandar makin padat dan bongkar muat bertambah. Sehingga pekerjaannya meningkat.
Pada 18 Agustus 2019, dari tengah kota, Tirto ke sisi perbatasan Merauke dengan Papua Nugini (PNG). Untuk bertemu warga lainnya. Berjarak satu jam dari pusat kota, Distrik Sota menawarkan pemandangan hutan di wilayah Taman Nasional Wasur. Sejauh mata memandang, ada rumah semut raksasa bertebaran di sisi jalan Transpapua yang telah mulus.
Sebelum masuk ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Merauke, ada persimpangan jalan menuju Boven Digoel. Di sana berjajar warung yang sebagian besar dioperasionalkan para pendatang. Lokasi ini merupakan tempat istirahat bagi sopir dan penumpang angkutan antar-kota. Angkutan ini melayani rute dari Merauke-Boven Digoel dengan tarif mulai Rp 300 ribu hingga Rp 700 ribu per orang. Angkutan ini umumnya menggunakan mobil dobel gardan Hilux dengan bak terbuka. Mobil ini sanggup melaju hingga kecepatan 120 kilometer per jam. Di ruas jalan yang hanya bisa untuk dua mobil.
Sekitar 200 meter dari persimpangan menuju Boven Digoel merupakan kompleks PLBN. Kantor polisi dan tentara di sisi sebelum pintu. Di luar bangunan pos ini ada kios dari kayu beratap kain terpal milik warga PNG dan lokal. Mereka satu suku yang terpisah oleh garis batas negara. Jalanan masih berupa tanah. Penduduk PNG melintasi hutan dengan jalan kaki atau bersepeda untuk jual-beli dengan warga Merauke. Sepetak tanah dengan pepohonan rindang menjadi tempat sempurna untuk menjual nanas, minyak kayu putih, dan noken buatan warga.
Bendera PNG berkibar di tanah ini. Kondisi di dalam kompleks perbatasan Merauke berbeda dari perbatasan PNG. Pembangunan kawasan ini terus berdenyut sejak pemerintah ingin mencitrakan perbatasan yang modern dan maju secara fisik.
Margaretha Naib (45), seorang pedagang suvenir di pos perbatasan Merauke, memastikan mereka tidak menjual makanan dan minuman terlarang. Namun, ia menjual suvenir yang diklaimnya dari satwa endemik Papua. Seperti topi burung Cenderawasih seharga Rp 2 juta dan gantungan kunci kuku burung Kasuari dan potongan kaki Kanguru yang sudah dikeraskan seharga Rp 50 ribu-Rp 60 ribu. “Ada warga yang menjual ke kami. Mereka sudah kami kasih tahu bahwa ini melanggar hukum. Tapi bagaimana kalau sudah menyangkut perut?” kilahnya.
Enam bulan terakhir ia berjualan di sana. Kini, ia menunggu pembangunan kios di kompleks perbatasan rampung. Dalam penantian ibu dua anak ini, ia berharap pemekaran Papua berlanjut di Merauke menjadi Papua Selatan. “(Agar) ada pekerjaan bagi anak-anak saya. Jadi tukang sapu atau tukang mengelap kaca tak apa. Daripada mereka menganggur,” ujarnya.
GERAKAN PEMEKARAN
Pemekaran di Papua bergulir kembali tak lama setelah terjadi protes besar-besaran terkait rasisme pada Agustus 2019. Berselang sebulan, 61 tokoh yang diklaim pemerintah mewakili masyarakat Papua bertemu Presiden Jokowi dengan membawa aspirasi. Salah satunya pemekaran Provinsi Papua. Pertemuan ini menghidupkan gairah elite lokal di Papua. Mereka gerak cepat membentuk asosiasi bupati dan mendeklarasikannya. Untuk menunjukkan pemekaran adalah kehendak rakyat.
Tak kurang ada tiga kelompok kepala daerah di Papua telah mendeklarasikan diri sebagai calon daerah pemekaran berdasarkan wilayah adat: Provinsi Tabi meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Mamberamo Raya, Keerom, dan Sarmi; Papua Selatan atau wilayah adat Ahim Ha mencakup Merauke, Mappi, Asmat, Boven Digoel; Papua Tengah yang mencakup kawasan adat Meepago meliputi Nabire, Puncak, Timika, Paniai, Intan Jaya, Dogiyai, dan Deyai.
Ketiga kelompok ini telah bergeriliya usai pertemuan ‘61 tokoh’. Mereka datang ke Jayapura hingga menemui Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Ketua DPR Papua John Rouw Banua menyebut, sehari setelah dilantik menjadi anggota legislatif, tiga kelompok bupati dari wilayah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Tabi hendak menemuinya.
“Kami tolak bertemu. Karena baru dilantik. Belum ada kelengkapan alat dewan. Mereka mau menyampaikan aspirasi pemekaran ke kami. Ada satu kelompok dari Tabi yang ditemui (karena dekat di Jayapura). Tapi hanya sebagai tamu,” kata John kepada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: