Hembusan Isu Pemekaran Wilayah Papua
Saat ditemui, ia baru saja melantik dan merotasi ratusan pejabat Pemkab Merauke di sebuah hotel. Dari nama-nama yang dibacakan protokol acara, terdengar banyak pejabat memiliki nama Jawa. Alasan dia menempatkan banyak orang non-OAP untuk mengurus Merauke. “Karena kita masuk dunia kompetisi, maka harus siapkan diri dari sekarang. Supaya jangan salahkan orang lain,” tegasnya.
Awoitauw menilai, dengan adanya Provinsi Tabi, indeks pembangunan manusia bisa berada di urutan kedelapan di Indonesia. Sehingga Papua tak lagi masuk daerah termiskin dan tertinggal. “Kami paling siap sebetulnya untuk jadi provinsi. Kalau dari fasilitas, infrastruktur sangat siap. Dari pembiayaan. Potensi besar. Hutan masih. Apalagi (akan ada pembangkit) energi di Mamberamo Raya. Kelautan kita kelola. Kita tidak perlu otsus,” ujar Awoitauw.
Perkara pemekaran juga menyangkut sumber daya manusia. Menurut Haryy Ndiken, tokoh suku Marind di Merauke, jumlah ASN OAP di Pemkab Merauke berkisar 800 orang dari total ASN di sana sebanyak 5.000 orang.
Keterwakilan OAP kursi DPRD Merauke periode 2019-2014 hanya 3 dari 30 kursi. Situasi yang sama juga terjadi di seluruh wilayah Papua. “OAP di sini sudah mencakup orang Serui, Jayapura, Mappi, Asmat, dan Marind. Mau bikin pemekaran dari mana? Apakah kita harus ‘impor’ ASN lagi?” ungkapnya.
Pemekaran tanpa menyiapkan OAP, kata dia, hanya menjadikannya sebagai “penonton”. Ia meminta agar tidak pakai “kaca mata kuda” melihat kebijakan afirmatif di Papua yang mewajibkan kepala daerah adalah OAP.
Xaverius Bavo Gebze, ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind-Imbuti yang membawahi masyarakat asli Merauke di kota, menginginkan kesejahteraan warga tetap menjadi perhatian. Baik ada maupun tidaknya Provinsi Papua Selatan. Selama ini, penduduk asli Merauke bingung dengan pemerintah daerah. Karena program pelatihan yang dibuat tak ditindaklanjuti. Ada warga yang dibawa ke Surabaya dan Sorong untuk dilatih mengoperasikan kapal. Namun tak berlanjut ke pemberian bantuan.
“Orang maunya sejahtera. Kita mau mengadu ke mana itu kesejahteraan datang. Bisa sekolah dengan aman. (Bisa) cari kehidupan dan nafkah dengan layak. Ini tidak ada. Sepertinya program itu ada. (Pelatihan) hanya 2-3 jam. Tetap (kehidupan) kita jalan di tempat. Hanya pelatihan saja. Tidak ada bantuan modal dan usaha,” katanya.
Anselmus Amo menyebut, pemberdayaan OAP di wilayah selatan Papua penting. Karena mereka kini sudah termarginalisasi akibat kehilangan tanah adat. Proses peralihan dari ketergantungan hidup dari hutan tak bisa instan. Sehingga saat diketok ada Provinsi Papua Selatan harus disiapkan sumber daya manusia OAP.
“Ada yang bilang (ASN non-OAP) supaya ada yang bisa belajar dari orang luar. Tapi saat ini OAP sudah dijembatani apa belum. Tahapannya apa saja. Kalau tidak, dia akan tetap terbelakang,” kata dia.
Nasib OAP yang kami jumpai di pusat kota dan perbatasan negara diamini oleh Anselmus. Sebagai bukti nyata bahwa di Merauke mereka selama ini menjadi penonton dari derap pembangunan. “Ada provinsi atau tidak, sudah jadi tugas pemerintah untuk pemerataan pembangunan sampai pelosok,” imbuh Anselmus. (trt/qn)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: