Hembusan Isu Pemekaran Wilayah Papua
Tak kurang ada tiga kelompok kepala daerah di Papua telah mendeklarasikan diri sebagai calon daerah pemekaran berdasarkan wilayah adat: Provinsi Tabi meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Mamberamo Raya, Keerom, dan Sarmi; Papua Selatan atau wilayah adat Ahim Ha mencakup Merauke, Mappi, Asmat, Boven Digoel; Papua Tengah yang mencakup kawasan adat Meepago meliputi Nabire, Puncak, Timika, Paniai, Intan Jaya, Dogiyai, dan Deyai.
Ketiga kelompok ini telah bergeriliya usai pertemuan ‘61 tokoh’. Mereka datang ke Jayapura hingga menemui Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Ketua DPR Papua John Rouw Banua menyebut, sehari setelah dilantik menjadi anggota legislatif, tiga kelompok bupati dari wilayah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Tabi hendak menemuinya.
“Kami tolak bertemu. Karena baru dilantik. Belum ada kelengkapan alat dewan. Mereka mau menyampaikan aspirasi pemekaran ke kami. Ada satu kelompok dari Tabi yang ditemui (karena dekat di Jayapura). Tapi hanya sebagai tamu,” kata John kepada.
Posisi lembaga ini strategis. Karena berdasarkan Pasal 76 UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pemekaran provinsi harus mengantongi persetujuan DPRP dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Menurut Ketua MRP, Timotius Murib, aspirasi para bupati ini belum sampai ke mejanya.
Sejak pertemuan ’61 tokoh’ dan manuver bupati ke Jayapura dan Jakarta, MRP tak dilibatkan. Namun, ia mengaku berpegang pada keputusan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin yang masih memberlakukan moratorium pemekaran.
“Pemekaran ini, kan, bukan dari rakyat. Tapi tokoh 61. Orang Jakarta tahu. Orang Papua punya kelemahan. Kalau menangis kasih bunga. Nanti tertawa dan senyum. Pemekaran juga belum tentu dikasih. Kami ketemu Wapres minggu lalu. Bicara pemekaran Papua dengan MRP. Wapres bilang pemekaran tidak di Papua. Pemekaran hanya isu saja. Para bupati malah semangat,” kata Murib pada 16 Desember 2019.
Murib mencurigai ada motif elite dalam pemekaran. Terutama para bupati/wali kota yang sudah menjabat dua periode. Sehingga ingin mencari jabatan lagi sebagai gubernur/wakil gubernur.
PINTU MASUK
Pastor Anselmus Amo, Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, menilai pemekaran bukan hanya kepentingan elite lokal. Tapi secara politik juga punya strategi nasional. Untuk mengamankan Papua dari gerakan—meminjam bahasa pemerintah—“separatis.” Tapi, kelompok ini inginnya disebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
“Dengan pemekaran, paling tidak ada kodam baru. Berarti militer semakin banyak. Polda baru. Anggota semakin banyak. Untuk mengurung ini. Jadi mereka mengamankan posisi selatan. Barat sudah. Berarti mengurung (OPM) di tengah dan utara,” katanya.
Tapi, hal ini dibantah Bupati Jayapura Mathius Awoitauw. Menurut dia, pemekaran merupakan aspirasi warganya sejak 2012. Pemkab Jayapura, kata dia, telah menjalin kerja sama dengan Universitas Cenderawasih (Uncen) untuk mengkaji pembentukan Provinsi Tabi.
“Ada yang dicurigai. Pasti ini kepentingan elite. Tidak. Jadi, kami ini mau mengurai kepentingan Papua. Orang salah persepsi dengan Papua. Papua itu identik dengan otsus. Tidak. Itu orang hanya kejar uangnya saja. Kita harus tunjukkan kita punya potensi,” ujar dia pada 14 Desember 2019.
RAKYAT DAPAT APA?
Bupati Merauke Frederikus Gebze mengaku sudah 17 tahun menanti pemekaran daerahnya menjadi Papua Selatan. Gebze dan Awoitauw berkata, pemekaran akan menguntungkan daerahnya. Gebze menyebut, dengan pemekaran, Papua bisa mengatasi masalah. Karena dua gubernur saja tidak cukup. Pertumbuhan dan perkembangan daerah akan terjadi bila ada pemekaran.
Namun, jumlah pendatang di Merauke lebih banyak dari orang asli Papua (OAP). Sehingga dikhawatirkan non-OAP menjadi pihak utama yang menikmati pemekaran. “Ada yang anggap Papua Selatan ini hanya untuk orang Jawa. Saya pikir salah. Itu justru ada provinsi supaya hak kita pegang. Kita atur lewat regulasi, adat, budaya, perempuan,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: