Mufakat Kanjeng Sinuhun (1): Geledah

Mufakat Kanjeng Sinuhun (1): Geledah

Rupanya infomasi miring yang menyebut nama Kanjeng Sinuhun sudah beredar luas. Hingga punggawa militer turun tangan. Kanjeng dan beberapa sinuhun lainnya disebut-sebut terlibat dalam permufakatan gelap.

Rupanya program perluasan lahan pertanian yang digagas para pemangku kota terindikasi merugikan Negara Antahberantah. Para sinuhun juga terseret. Mereka yang menyetujui semua anggaran. Entah bagaimana ceritanya. Pagu anggaran tiba-tiba melambung dari yang direncanakan semula. Dari 250 miliar untuk pembelian tanah pertanian seluas 1.000 hektare, bengkak. Menjadi 1,3 triliun.

Angka kenaikan yang begitu fantastis. Lebih dari 5 kali lipatnya. Tak salah jika ada dugaan seperti itu. Tapi bisa jadi ini karena kesalahan di awal. Tim perencana pemangku Kota Ulin yang asal menuliskan angka dalam perencanaan. Tanpa survei lokasi. Tanpa melihat harga keumuman tanah di lokasi yang dipilih tersebut.

Kanjeng Sinuhun tak mau terlihat panik. Ia memasuki balai dengan tenang. Seperti biasa, ia menyapa satpam dan beberapa pegawai balai. Namun ia sadar. Semua mata tertuju padanya. Seolah menyiratkan tanda tanya. Menunggu reaksi Kanjeng soal peristiwa yang sedang terjadi.

Perlahan menaiki tangga. Menuju ke lantai dua. Tempat ruangan biasa ia bekerja. Dari arah berlawanan, Sobir turun. Ia adalah sinuhun dari paksi lain. Salah satu petinggi balai di bawah Kanjeng Sinuhun. Pendukung utamanya para petani dan nelayan. Sobir memang dikenal di dua sektor itu.

Selain riwayat hidupnya yang dibesarkan di kawasan Timur Jauh Kota Ulin, Sobir juga memiliki usaha di dua sektor itu. Utamanya di sektor perikanan. Ia memiliki 20 unit kapal penangkap ikan berkapasitas besar. Bisa menampung ratusan ton ikan sekali melaut. Ia orang terpandang. Sobir pun mewakili dua sektor itu untuk menyampaikan aspirasi di balai.

“Kanjeng, baru datang?,” tanya Sobir. “Itu ruangan Kanjeng diobok-obok pungawa militer. Tidak ada yang ngabari? Dari pagi saya telepon enggak diangkat,” lanjutnya.

Kanjeng Sinuhun menarik napas. Kemudian menunduk mengecek telepon genggamnya. Ternyata sudah ada 13 kali panggilan tanpa nama. Ia lupa sejak semalam handphone-nya di-setting mode hening. Bukan tanpa alasan. Belakangan ini banyak orang menghubunginya. Selalu menyampaikan masalah. Membuat kepalanya senut..senut. Pusing. Setiap malam hampir tak bisa tidur pulas.

Tak hanya Sobir rupanya. Semua sinuhun di balai itu kaget. Karena dalam sejarahnya, baru kali ini terjadi penggeledahaan di balai. Dan tidak hanya ruangan Kanjeng Sinuhun, tapi juga beberapa ruangan sinuhun lainnya ikut digeledah.        

Kanjeng Sinuhun menaiki tangga hingga ke lantai dua. Diikuti Sobir dan dua sinuhun lainnya. Kemudian duduk di sofa panjang. Persis di depan ruangannya. Ia merasa enggan memasuki ruangan yang sudah digeledah para punggawa militer yang dipimpin Wandi, kepala Bidang Kriminal Khusus Punggawa Militer Besar.  

Saat Kanjeng Sinuhun sampai di balai, Wandi dan punggawa bawahannya sudah selesai menggeledah. Membawa berkas-berkas yang bisa dipakai sebagai alat bukti. Yang bisa membuktikan kongkalikong dalam pembelian tanah untuk perluasan pertanian itu. Wandi bahkan sudah pergi meninggalkan tempat itu terlebih dahulu. Penggeledahan sudah berlangsung mulai pukul 08.00 paginya.

Sobir masih terus saja bicara. Menumpahkan kekesalannya. Bagi Sobir, balai adalah lembaga terhormat. Harusnya ada cara-cara yang lebih santun. Punggawa militer jangan langsung melakukan penggeledahan seperti itu. Karena akan menjatuhkan kehormatan para sinuhun.

“Rapat besar kita tunda lain waktu, Kanjeng. Harusnya ini tadi sudah dimulai. Tapi karena ada penggeledahaan ini, para sinuhun sudah tidak semangat lagi”.

Kanjeng Sinuhun masih tetap diam. Kemudian ia merogoh sakunya. Sebungkus rokok ia keluarkan. Ditelatkkannya di atas pegangan sofa. Lalu, satu batang rokok dibakar dan dihisapnya dalam-dalam. Kepulan asap menyebur dari bibirnya dan di sela-sela kumisnya yang tebal. Kemudian ia menatap Sobir yang masih berdiri. Dua sinuhun lainnya tengah anteng ngobrol dengan suara pelan. Setengah berbisik.

Para pegawai di balai pun terlihat sibuk bercakap-cakap. Mereka berkelompok. Ada yang berkumpul di dekat toilet balai. Persis di lorong menuju kamar kecil itu. Sebagian berkumpul di depan ruang administrator—ruangan yang selama ini mengelola kebutuhan administrasi balai dan melayani kebutuhan para sinuhun. Tak satu pun yang bekerja di ruangannya seperti biasa. Kepala administrator pun tak tampak batang hidungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: