Penderita COVID-19 Bisa Cacat Permanen

Penderita COVID-19 Bisa Cacat Permanen

Kendati pun, terkadang pemeriksaan fisik tidak menunjukkan apapun. "Penderita covid ini silent cues. Kadang-kadang pemeriksaan tidak ditemukan bronki atau bunyi pada paru-paru. Walaupun dari hasil rontgen menunjukkan adanya peradangan, infiltrat dan sebagainya," urai anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) itu. "Inilah ciri khas orang covid, luar biasa (ganas)," katanya lagi.

CACAT PERMANEN PADA PARU

Tim dokter yang melaksanakan terapi pada pasien COVID-19 di RSPB menemukan ada potensi kecacatan yang terjadi pada paru-paru orang yang terinfeksi virus corona. "Ini luar biasa," kata dr. Elies Pitriani.

Pemburukan pada organ paru tersebut tampak dari CT Scan yang dilakukannya terhadap pasien.

Dia menambahkan, pada gambaran foto toraks kadang terlihat adanya opasitas atau bercakan yang banyak, dengan perburukan yang cepat.

Hal ini mengkhawatirkan, sebab kata dr. Elies, cacat atau bekas infiltrat yang ditinggalkan COVID-19 pada paru-paru tidak bisa hilang seumur hidup. Namun ia kemudian memberikan disklaimer. Dia menyebutkan, pada banyak kasus sembuh yang dievalusi, hasil foto toraks menunjukkan perbaikan.

Dokter Elies mengatakan, perbaikan jejak virus SARS-CoV-2 pada paru itu terjadi pada penyintas usia muda, pasien tanpa komorbid. Kemudian mereka yang cepat mendapatkan penanganan. Sebelum sempat berada pada kondisi badai sitokin. Kriteria keadaan pasien di atas, katanya, memiliki kemungkinan bisa memperoleh kondisi paru yang kembali sempurna. Bagus seperti sedia kala.

"Memang pada jurnal yang mengenalkan mengenai adanya indikasi infiltrat itu. Tidak seratus persen terjadi pada mantan penderita covid," tuturnya.

Hanya saja, ia melanjutkan, pada pasien yang berusia tua, memiliki banyak komorbid, dan yang pada saat mendapat penanganan kondisinya sudah terlanjur buruk, maka mereka sangat berisiko menerima adanya infiltrat atau fibrosa (bekasan) pada organ paru-parunya.

Dampaknya adalah kapsitas paru jadi berkurang. "Paru itu kalau dibuka, luasnya seperti lapangan tenis. Bayangkan seperempat lapangan tenis itu sudah tidak bisa dipakai (bernapas)," jelas dokter Elies.
"Artinya, si penyintas yang berusia tua dan memiliki komorbid tadi tidak lagi bisa menggunakan paru seratus persen," tambahnya.

LANGKAH PENANGANAN DI RS

Pulmunolog asal Banyuwangi, Jawa Timur itu mengklaim, pasien meninggal di RSPB hanya tiga sampai lima persen. Dari 800 pasien yang telah ditangani selama pandemi. "Kami menjaga agar dia (pasien) tidak sampai jatuh dalam kondisi yang lebih berat," ujar pimpinan tim dokter terapi di rumah sakit tersebut.
Pada saat kondisi pasien masih ringan hingga sedang, para dokter harus memulai tata laksana. Berusaha seadi kuat mungkin untuk menghindari pasien jatuh pada kondisi berat. "Sebagai klinisi, kita harus punya feeling, bahwa keadaan pasien mengarah pada badai sitokin. Kalau itu bisa diatasi, maka insyaallah keaadaan paru-nya tetap bagus."

Apa yang pasien tersebut butuhkan saat kondisi berat?. Pertama dokter melihat secara klinis, jika gagal napas, diberikan high flow oxymetry. Juga untuk mengatasi, dengan nava mode ventilator. Atau mode ventilator. "Itu kita pressure oxsigen-nya," jelasnya.

Lalu diberikan terapi adi kuat, semacam antibiotik. Kemudian golongan kortikosteroid atau hormon senyawa regulator. Dan golongan tambahan lainnya.

Bisa menggunakan terapi Intravenous Immunoglobulin (IVIg). Plasmapheresis dan plasma konvalesen. Inhibitor IL-6 dan sebagainya. "Kalau kami menggunakan intravena imunoglogobin," terangnya.
Pada pasien dengan badai sitokin masih memiliki peluang besar untuk selamat. Jika tertangani seperti cara-cara tersebut di atas. "Insyaallah akan membaik dengan sempurna. Yang panting sudah menemukan ICU. Kita tata laksana dengan tepat. Agar pasien bisa pulang dengan kondisi selamat dan sehat," sambungnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: