Jerat Biaya Pencalonan yang Mahal

Jerat Biaya Pencalonan yang Mahal

“Pemilu atau pilkada membutuhkan biayai tinggi. Sehinggga menjadi akar dari budaya korupsi,” kata Tito dalam dalam webinar bertajuk Visi Negara Kesatuan Republik Indonesia Melalui Pemilu dan Pilkada yang diselenggarakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Jakarta, Senin (31/8).

Tito menjelaskan, mahalnya ongkos politik dalam setiap pilkada di Indonesia tidak sebanding dengan gaji yang akan diterima oleh kepala daerah. Perbandingan yang tak seimbang antara gaji dan biaya politik inilah yang membuat pejabat sering kali melakukan korupsi.

Ia menjelaskan, para pendiri bangsa telah mendirikan negara Indonesia dengan sistem demokrasi. Hal ini tercatat secara jelas dalam ideologi negara ini: Pancasila.
Sebagai wujud pelaksanaan sistem demokrasi, jelas Tito, maka dilaksanakanlah pemilu dan pilkada dalam siklus 5 tahunan. Adanya pilkada tidak akan mengubah sistem bernegara menjadi oligarki atau negara teologis.
“Founding fathers kita sudah mendirikan negara ini sebagai negara demokrasi. Artinya negara ini negara demokrasi. Tidak akan menjadi negara oligarki. Atau negara teologis,” tegas Tito.
Pada kesempatan yang sama, ia mengingatkan, masih ada oknum-oknum yang ingin memanfaatkan kebebasan dan demokrasi di Indonesia untuk mengganti sistem bernegara dan dasar negara Indonesia dengan paham lain yang mereka yakani.

Karena itu, Tito berharap, seluruh warga bangsa mesti tetap berkomitmen pada sistem yang telah diwariskan oleh para pendiri bangsa: demokrasi Pancasila.

Senada, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Hifzil Alim mengatakan, korupsi tak lepas dari biaya politik yang mahal. Saat mencalonkan diri, para pejabat tidak mengukur kemampuan finansial dan berpikir bahwa uang yang telah dikeluarkan harus dikembalikan.
“Itu enggak boleh. Menjadi pejabat publik bukan soal bisnis. Tapi soal amanah. Kalau ngukurnya bisnis, berapa dia telah keluarkan, dia akan meminta kembali,” ucapnya.

Selain itu, Hifzil menilai, filosofi negosiasi politik dalam pembahasan anggaran saat ini sudah berubah. Negosiasi politik tidak lagi ditujukan untuk menyejahterakan rakyat. Tapi untuk konsesi politik.

TITI ANGGRAINI

“Kalau mau aman, eksekutif harus mengakomodasi keinginan-keinginan legislatif. Itu yang membuat pembahasan anggaran, muncul yang namanya uang ketuk palu itu,” sebutnya. Uang ketuk palu ada, juga karena dilegitimasi oleh sifat-sifat permisif dari pemilih. Saat pemilihan, masyarakat pun menerima uang yang diberikan oleh calon kepala daerah tersebut.

Untuk menekan biaya politik tinggi, Hifzil menilai, parpol memiliki peran besar: dengan tidak meminta mahar politik.
Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate pun mengakui biaya politik memang sangat tinggi. Baik untuk pencalonan maupun pemenangan. “Itulah yang membuat calon kepala daerah saat terpilih akan berusaha untuk mengembalikan modalnya tersebut. Korupsi masih terjadi juga lantaran orang masih melihat kekuasaan ialah cara untuk memperkaya diri,” katanya.

SOLUSI DARI PERLUDEM
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengajukan 2 solusi menangani mahalnya ongkos pilkada. Solusi itu dilihat dari aspek pembiayaan pilkada dan aspek biaya politik.
“Mengenai ongkos pilkada, bisa dilakukan penataan pengelolaan tahapan pilkada,” kata Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini. Pengelolaan bisa dimulai dari penetapan e-rekapitasi yang bisa menekan biaya petugas dan ongkos rekapitulasi. Dia juga mencontohkan penyederhanaan desain surat suara yang lebih murah dan efisien. Pemutahiran data pemilih bisa dengan konsolidasi data berbasis e-KTP. “Itu bisa disederhanakan,” katanya.

Selain itu, Titi juga menyebutkan pentingnya penataan metode kampanye. Menurutnya, kampanye tidak harus berorientasi pada unjuk massa yang selama ini menjadi pendekatan. “Seperti rapat umum yang jor-joran. Itu enggak edukatif. Termasuk rapat yang enggak harus di hotel, oleh penyelenggara pemilu, itu bisa lebih efisien dari sisi desain penyelenggaraan,” ujarnya.

Solusi kedua, dari sisi ongkos politik. Mahalnya biaya calon kepala daerah berpangkal dari praktik mahar politik dan jual beli suara. “Pendekatan yang tidak berbasis program. Tapi berorientasi figur,” sebutnya.

Solusi dari masalah ini, kata Titi, parpol harus berbenah. Untuk memastikan mata rantai praktik ilegal itu terputus. Ia khawatir jangan sampai parpol tidak siap berdemokrasi secara adil dan demokratis, dan justru memberangus hak rakyat dalam pilkada langsung.

Titi menyoroti tidak adanya batas belanja kampanye yang berlebihan. Kelebihan belanja kampanye itu juga tak akuntabel dalam proses pelaporan ke KPU. “Jadi, praktik kompetisi yang enggak kompetitif dan adil yang memicu biaya tinggi.

Ia menyayangkan logika berpikir yang justru menyalahkan pilkada secara langsung. Alih-alih membenahi kelembagaan parpol yang menjadi penyumbang masalah, pilkada tidak langsung malah jadi salah satu pertimbangan dan memutus hak rakyat berpartisipasi dalam proses politik.

Menurut dia, semua masalah bermuara dari regulasi pilkada, perilaku parpol, dan penegakan hukum. “Sebenarnya, solusi ada. Tapi enggak bisa diambil. Karena setengah-setengah dan enggak serius memberi solusi melalui aturan main dan penegakan hukum yang tegas,” jelas dia. (dtk/tmp/bi/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: