Tercekik Mahar Partai
Kemudian, kajian dan pemaparan, mulai hasil survei, visi dan misi serta program kerja, hampir tidak ada gunanya. Atau itu hanya nomor ke sekiannya. "Tidak ada makan siang gratis," ucapnya.
Lalu, tidak ada patokan berapa mahar yang harus dikeluarkan. "Tapi angka minimalnya ada," sebutnya. Namun jumlahnya tidak bisa digambarkan. Ia menganalogikan seperti batu cincin. Harga ditentukan dengan perasaan. "Ketika sudah senang, berapapun dibayar. Ya seperti itu. Terjemahkan sendiri saja," ujar Mustaqim.
Bagaimana dengan kader? Menurutnya itu juga tidak ada jaminan praktik ini hilang. Buktinya ada saja kader partai yang tersingkir. Tidak usah dikomentari lagi. Semua sudah tahu.
"Tidak ada bicara kader. Banyak buktinya. Dimana kader yang selama ini dibina? Transaksional," ungkapnya. Padahal untuk bisa menang, masih ada kebutuhan lain. Untuk sarana dan prasarana kampanye. Jadi butuh modal besar.
"Tidak ada jaminan menang juga. Itukan hanya tiket saja," tegasnya. Lebih lanjut, praktik seperti ini menyebabkan pola pemerintahan tidak sehat. Dampaknya pemerintahan jadi kacau. Karena korupsi jadi terbentuk.
"Ya itu buktinya, banyak yang tertangkap kan? Karena modalnya harus kembali kan? Belum lagi kalau cari lebihnya kan?," bebernya.
Tentu ia menyayangkan hal ini terjadi. Namun perlu upaya bersama untuk menghapuskan hal ini secara keseluruhan. Mulai dari atas, tertinggi. Hingga sampai bawah. Yang terendah.
Lebih Murah Ditunjuk DPRD
Soal politiktransaksional ini, juga diakui Andi Sofyan Hasdam. Bahkan menurutnya, penyakit ini terjadi di semua lini. Mulai petinggi hingga pemilih yang paling bawah sekalipun. Sofyan Hasdam pernah menjalani 3 masa Pilkada. Mulai wali kota hingga berkontestasi untuk menjadi gubernur.
Sofyan menilai, para politisi telah gagal mengedukasi para konstituen. Mereka memilih untuk rupiah. Yang diberi oleh para kontestan di pemilu. "Ternyata kita gagal mendidik masyarakat agar tidak pragmatis," sesal mantan Wali Kota Bontang dua periode ini, saat diwawancara, Selasa (28/7) malam.
Sejak 20 tahun lalu, Sofyan menjabat sebagai Wali Kota Bontang pertama. Pemilihannya melalui DPRD. Memasuki periode keduanya di 2005, untuk kali pertama Pilkada digelar secara langsung. Dan menduduki posisi kepala daerah untuk kali keduanya.
Sofyan mengaku pernah bangga pemilu digelar dengan melibatkan masyarakat. Sang “raja” di demokrasi. Namun, kondisinya sekarang miris. "Ada pembeli rokoknya atau tidak," ungkapnya.
Politisi NasDem ini menawarkan pemilu kembali dipilih oleh wakil rakyat. Walaupun setengah hati. Namun, dinilai lebih menguntungkan ketimbang pemilu langsung oleh rakyat. "Para tokoh demokrasi pasti menolak, kok kita malah kembali (pemilihan oleh DPRD)," ujarnya.
Pertanyaan lanjutan, apakah ada garansi politik transaksional tidak terjadi? Sofyan mengaku tidak ada garansi. Tapi pengawasan oleh penegak hukum lebih mudah. Misalnya, Kota Bontang, diisi 25 Anggota DPRD. Penegak hukum hanya fokus mengawasi mereka saja. "Kalau rakyat ? siapa yang bisa mengawasi," tuturnya.
Pun begitu, Sofyan mengaku belum berani menyimpulkan keputusan pemilu oleh DPRD sebagai solusi terbaik. Momentum Pilkada tahun ini menjadi acuan. "Ini tahun politik uji coba, apakah mudaratnya lebih besar (Pemilu langsung, Red.) atau kita kembali ke Pilkada oleh DPRD," bebernya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: