Menyoal Diksi Pandemi

Menyoal Diksi Pandemi

Wabah Coronavirus Disease (COVID-19) memunculkan banyak istilah baru. Pemaknaan istilah ini menuai banyak sorotan. Masyarakat bingung. Pemahaman dan implementasinya bisa berbeda-beda. Webinar gelaran Prodi Fisip Universitas Mulawarman (Unmul) menghadirkan Jubir Kepresidenan Muhammad Fadjroel Rachman, membahas itu. Apa sebetulnya pesan yang ingin disampaikan istana?

-------------------------

MASIH ingat istilah “mudik” dan “pulang kampung”?. Istilah itu sempat dilontarkan Presiden Joko Widodo ketika menjelang Lebaran Idulfitri, lalu. Sempat menjadi perdebatan publik. Jadi bahan materi meme-meme jenaka. Presenter Najwa Shihab dalam programnya “Mata Najwa”, bahkan sempat mengonfirmasi langsung kepada Presiden. Salah satunya menanyakan soal diksi tersebut.

Kemudian ada istilah “karantina wilayah” dan “PSBB”—pembatasan sosial berskala besar, yang implementasinya di berbagai daerah bisa berbeda-beda. Belakangan muncul lagi istilah new normal, kenormalan baru. Kemudian diubah lagi menjadi adaptasi kebiasaan baru.

Belum lagi dari sisi klasifikasi medis untuk orang yang terindikasi terpapar corona. Sebut saja; ODP, PDP dan terakhir OTG. Istilah-istilah tersebut seringkali membuat masyarakat bingung. Belum tuntas memahami satu istilah, sudah harus loncat untuk memahami istilah berikutnya.

Efektifitas pola komunikasi pemerintah dalam upaya penanggulangan wabah virus SARS-CoV-2 ini yang disorot para akademisi Unmul. Pada Webinar Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman (Unmul), Rabu (15/7). Bertajuk: Strategi Komunikasi Politik Pemerintah RI dalam Menghadapi Pandemi COVID-19 menuju Kebijakan New Normal.

Terutama mengenai perubahan diksi dan istilah-istilah kata yang digunakan. Hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak produktif. Dan cenderung hanya membuat publik bingung. Dampaknya masyarakat menjadi “imun” terhadap informasi yang disampaikan pemerintah.

Dr. Silviana Purwanti, akedemisi Unmul, mengemukakan pendapat tentang strategi komunikasi pemerintah dalam menyampaikan informasi dan kebijakan terkait COVID-19 secara berbeda. Perbedaannya, menitikberatkan pada peran media.

“Sementara dalam konteks komunikasi politik, pemerintah lebih cencerung melibatkan pesan dan aktor politik dalam penyampaian informasi ke masyarakat,” ungkap perempuan berkerudung itu.

Persoalan lain, menurutnya, pemerintah baik pusat maupun daerah, sebagai sumber informasi cenderung tidak kompak dalam proses penyampaiannya. Penggunaan diksi new normal diambil sebagai contoh. Dianggap justru membingungkan masyarakat.

Silvi juga menyoroti gerakan menggunakan masker. Yang saat ini diandalkan. Sebagai langkah konsisten pembuat kebijakan. Untuk menekan penyebaran COVID-19. Hingga muncul fenomena berbagai model masker. Dia berpandangan, semestinya pemerintah menggunaan kekuatan media. Untuk didorong mempopulerkan penggunaan masker.

Disway- nomorsatukaltim

Di luar itu, ia menyarankan untuk memberdayakan pihak-pihak yang memiliki kekuatan yang dapat memengaruhi. Misalnya artis, diajak ikut mengkomunikasikan pentingnya masker. Bukan hanya dilihat dari sisi kegunaan, namun sebagai sebuah simbol trend yang popular.

Penggunaan diksi dalam komunikasi publik pengelola negara tak luput dari kritik dosen ilmu komunikasi ini. Menurutnya diksi yang digunakan harus jelas. Agar tidak menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Contohnya ribut soal istilah mudik dan pulang kampung. Itu yang menyebabkan masyarakat menjadi imun terhadap kebijakan pemerintah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: