Pernikahan Dini Jalur Adat Jadi Sorotan DPRD Kutai Barat, Stunting Tak Kunjung Reda
Ilustrasi pernikahan dini.-istimewa-
KUBAR, NOMORSATUKALTIM – Ketua DPRD Kutai Barat, Ridwai, menyentil praktik adat yang dinilainya ikut memperparah tingginya angka stunting di daerah.
Di hadapan peserta Rapat Koordinasi Penurunan Stunting melalui Gerakan Orang Tua Asuh Cegah Stunting (GENTING), Rabu 16 Juli 2025, Ridwai mengungkapkan, bahwa pernikahan dini yang dilegalkan melalui adat, tanpa memperhatikan kesiapan usia pasangan, masih banyak terjadi dan cenderung didiamkan.
“Di kampung saya sendiri, Sekolaq Darat, hampir tiap tahun ada pernikahan yang dilaksanakan secara paksa oleh adat. Karena sudah terlanjur hamil, lalu buru-buru dinikahkan. Tidak peduli apakah usia dan mentalnya siap atau tidak,” ujar Ridwai dalam forum yang dihadiri Wakil Bupati Kutai Barat, Nanang Adriana, Kadis BKKBN Sukwanto, unsur Forkopimda, perwakilan perusahaan, dan kepala puskesmas.
Menurut Ridwai, persoalan stunting bukan semata-mata soal gizi buruk atau balita yang kurang asupan. Lebih dari itu, ia melihat stunting sebagai buah dari serangkaian persoalan sosial dan kultural yang belum disentuh secara menyeluruh oleh kebijakan pemerintah.
BACA JUGA: Ketua DPRD Sebut Ada 5 Proyek Raksasa APBD Kubar Jadi Temuan BPK, Desak Pemkab Serius Tindak Lanjuti
Salah satunya, kata dia, adalah pernikahan dini yang dilakukan atas dasar penyelesaian adat tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
“Selama ini, adat jadi jalan pintas untuk menyelesaikan kehamilan di luar nikah. Tapi setelah itu, tidak ada pendampingan, tidak ada perencanaan keluarga, tidak ada pengawasan kesehatan anak. Ini yang jadi akar dari stunting,” lanjutnya.
Ia menyebutkan, banyak lembaga adat di Kutai Barat yang masih mengesahkan pernikahan anak meskipun usia pasangan belum memenuhi syarat secara hukum.
Dengan mengatasnamakan penyelesaian secara kekeluargaan atau adat kampung, pernikahan dini dianggap sah meski tidak selalu diikuti dengan kesiapan mental dan ekonomi.
BACA JUGA: IBI Kubar Gelar Fun Walk, Kampanye Cegah Stunting dan Dukung Indonesia Emas 2045
“Jangan sampai adat malah jadi tameng. Kita tahu bahwa adat itu penting, tapi adat juga harus berjalan seiring dengan perlindungan anak dan regulasi negara. Kita harus mulai berpikir: apakah adat ini menyelamatkan atau justru mencelakakan generasi kita ke depan,” katanya.
Dalam forum yang diadakan di Auditorium Aji Tulur Jejangkat itu, Ridwai juga menyoroti lemahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemantauan tumbuh kembang anak.
Berdasarkan data yang ia sebut, dari sekitar 10.000 balita di Kutai Barat, hanya 7.000 yang aktif ditimbang dan tercatat di posyandu.
“Berarti ada 3.000 balita yang tidak terpantau. Ini menunjukkan bahwa kita masih gagal membangun kesadaran kolektif soal pentingnya gizi dan pengawasan sejak dini,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
