DULU tahun 70-80an, saya sempat jualan minyak dari Samarinda ke Hulu. Minyaknya dulu diangkut pakai kapal, diantar ke hulu lewat Sungai Mahakam. Habis itu juga sempat jual bahan-bahan sembako. Dijualnya pake kapal juga.
Begitulah sepenggal kisah HM Syahrun alias Haji Alung muda ketika bercerita kepada saya. Seingat saya kisah itu disampaikan sekitar tahun 2017, ketika beliau masih menjabat sebagai Ketua DPRD Kaltim.
Jiwa bisnisnya ternyata memang sudah mengakar sejak muda. Saat beliau menceritakan pengalaman mudanya, saya juga saat itu masih sangat muda. Ya saya senang.
Karena latar belakang beliau ternyata adalah seorang pebisnis. Yang pastinya punya banyak pengalaman dalam membangun usaha.
Sebagai pebisnis, masih dengan cerita beliau, persaingan juga ternyata ada. Beliau sempat menyentil nama salah satu tokoh ternama di Kaltim yang ketika itu menjadi pesaing bisnisnya. Pengusaha kondang juga di Kaltim.
Tapi beliau justru lebih dulu dipanggil sebelum Haji Alung. (Maaf kalau saya tidak bisa menyebut namanya karena alasan etika).
Bagi warga Samarinda, salah satu warisan bisnis beliau yang masih bisa dilihat adalah Plaza Mulia dan Selyca Hotel di Jalan Bhayangkara.
Tepat berseberangan dengan Hotel Mesra. Sekarang hotel dan mal tersebut sudah diakusisi oleh pihak ketiga dari Jakarta. Berubah menjadi Go Mall dan Premiere Hotel.
Waktu Plaza Mulia pertama kali dibuka sekitar tahun 2009, hype-nya sangat wah. Plaza Mulia sempat menjadi ikon belanja pada masa itu. Belum lagi ada hotel yang berdiri tepat berjajar di samping. Tapi bukan cuma itu.
Dulu, Plaza Mulia menjadi satu-satunya mal di Samarinda yang di dalamnya berdiri masjid. Jadi, ketika waktu salat tiba, suara azan membahana di dalam mal. Vibe-nya seakang-akan mirip di tanah suci.
Masjid Plaza Mulia dulu kami menyebutnya. Karena lokasinya tepat berada di lantai mal paling atas. Sampai akhirnya pandemi COVID-19 menyerang, Plaza Mulia juga ikut terdampak. Surut, surut, dan akhirnya harus mati suri kehilangan pengunjung.
Haji Alung masih dengan ceritanya, ternyata punya alasan membangun masjid di dalam mal. "Hidup ini cuma sekali, ujung-ujungnya kita pasti mati juga. Yang dibawa nanti amal kita," begitu kira-kira kata beliau.
Entah kenapa dari semua kata-kata bijak beliau bercerita, yang ini yang paling saya ingat. Aneh memang.
Sampai akhirnya beliau mengutarakan alasan kenapa terjun ke politik. Dulu harus diakui Golkar adalah partai penguasa saat masih masa orde baru. Kalau urusan ingin lancar, satu-satunya syarat agar 'tidak diganggu' ya harus gabung Golkar.
Alasan lain juga ada. Ternyata berpolitik juga membuka pintu relasi bisnis beliau. Di sini letak perkawinannya. Saat relasi bisnis dan politik bisa akur.