Menurut Febronius, persoalan utama dalam perkara ini terletak pada status objek tanah yang dijual.
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, tanah seluas kurang lebih 5 hektare tersebut ternyata telah lebih dahulu dialihkan kepada pihak lain dan tercatat secara resmi dalam register pemerintahan setempat.
"Objek tanah ini sudah tidak bebas secara hukum, tetapi tetap dipasarkan dan dijual kembali kepada klien kami pada 2024. Inilah yang menjadi dasar kuat dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan," tegasnya.
Sementara itu, penasihat hukum Fuad menuturkan, para pelapor tertarik membeli tanah tersebut setelah melihat adanya pemasaran secara terbuka di lokasi.
BACA JUGA: Jual Motor di Facebook, Pencuri HP di Bontang Terjebak COD Polisi
Pemasaran dilakukan melalui pemasangan plang di bahu jalan, spanduk, serta promosi daring di sekitar akses masuk Gang Haji Mastuang.
"Klien kami datang karena melihat pemasaran yang masif dan terbuka. Semua ditampilkan seolah-olah tanah ini aman dan siap dialihkan haknya. Tidak pernah disampaikan bahwa tanah tersebut memiliki riwayat jual beli sebelumnya," kata Fuad.
Pada periode Mei hingga Oktober 2024, para pelapor melakukan transaksi pembelian dengan mekanisme pembayaran beragam, mulai dari tunai, bertahap, hingga angsuran.
Seluruh pembayaran dilakukan langsung kepada MJ dengan sepengetahuan AR. Namun dalam praktiknya, tidak semua transaksi disertai bukti kuitansi.
BACA JUGA: 44 Ribu Hektare Hutan Kaltim Digunduli untuk Sawit dan Tambang, DPRD Desak Reforestasi
"Ada pembayaran yang diterima, tetapi bukti administrasinya tidak langsung diberikan. Ini menjadi indikasi awal adanya persoalan serius dalam pengelolaan transaksi," ujar Fuad.
Permasalahan mulai mencuat ketika sejumlah konsumen yang telah melunasi pembayaran berupaya mengurus peralihan hak dan balik nama sertifikat. Menurut kuasa hukum, baik MJ maupun AR hanya memberikan janji tanpa kepastian waktu.
Karena tidak ada kejelasan, para pelapor kemudian berinisiatif mengurus sendiri administrasi awal di tingkat RT dan kelurahan.
Dari proses tersebut diketahui bahwa objek tanah telah lama beralih kepada pihak lain. Hasil penelusuran menunjukkan, tanah tersebut telah dijual oleh AMR kepada almarhum Misran Basrie pada tahun 1996 seluas sekitar 25.000 meter persegi.
BACA JUGA: DLH Samarinda Mengeluh Sopir Travel Buang Sampah Sembarangan, Dishub Turun Tangan Kasih Hukuman
Selanjutnya, AMR kembali menjual lahan lainnya kepada Rianto, Direktur PT Artho Moro Sedoyo, pada tahun 2014 dengan luasan serupa. Objek tanah itu bahkan kembali dialihkan kepada pihak lain pada 2017.