“SOP bukan hanya dokumen kerja, tapi alat perubahan sosial. Ia harus bisa mempengaruhi perilaku dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan stunting,” terangnya.
BACA JUGA: Rumah Sehat BAZNAS Berau Cegah Stunting lewat Layanan Kesehatan Ibu dan Anak
Rencananya, hasil penyusunan SOP nantinya akan difinalisasi sebelum akhir tahun 2025. Setelah rampung, dokumen tersebut akan ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) atau Peraturan Bupati (Perbup), sebagai dasar hukum pelaksanaan program Aksi Kolaborasi Penanganan Kemiskinan dan Stunting (Aksis) yang dijadwalkan dimulai pada 2026.
Junaidi optimistis, dengan kerja sama yang solid antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, Kutim bisa menekan angka stunting secara signifikan.
Ia juga berharap, setiap kebijakan yang lahir dari SOP ini mampu diimplementasikan secara berkelanjutan di semua kecamatan.
Meski begitu, Junaidi mengingatkan bahwa kolaborasi sejati tidak berhenti di level birokrasi. Para kader lapangan, seperti bidan desa, penyuluh keluarga berencana, dan kader posyandu, memiliki peran vital sebagai garda terdepan dalam edukasi dan pendampingan keluarga.
BACA JUGA: Pernikahan Dini Jalur Adat Jadi Sorotan DPRD Kutai Barat, Stunting Tak Kunjung Reda
BACA JUGA: Ketua DWP Kutim Jadi Orang Tua Asuh Balita Stunting
“Mereka adalah ujung tombak kita. Mereka berinteraksi langsung dengan masyarakat dan memahami kondisi di lapangan. Karena itu, mereka juga harus dilibatkan penuh dalam proses ini,” tambahnya.
Junaidi menegaskan harapannya agar SOP “Cap Jempol Stop Stunting” ini tidak hanya menjadi tumpukan dokumen formal, tetapi menjadi pedoman nyata untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Kutim.
Ia menyebut, keberhasilan program ini bukan diukur dari berapa banyak rapat atau regulasi yang dibuat, melainkan dari seberapa banyak anak Kutim yang berhasil tumbuh sehat, cerdas, dan berpeluang menjadi generasi emas di masa depan.