Ia menekankan, aparat harus menjadikan kasus ini momentum untuk menunjukkan bahwa hukum berlaku adil bagi siapa pun.
Menurutnya, publik menanti langkah konkret, bukan sekadar proses formal yang berhenti di tengah jalan.
KHDTK Unmul bukan sekadar hutan biasa. Kawasan ini ditetapkan sebagai ruang khusus untuk penelitian, pendidikan, sekaligus konservasi.
Mahasiswa, peneliti, hingga komunitas lingkungan menjadikannya laboratorium alam yang tak tergantikan.
Kerusakan di kawasan ini berarti hilangnya ruang belajar dan riset yang penting, bukan hanya bagi Unmul, tetapi juga untuk masa depan pengelolaan lingkungan di Kalimantan Timur.
BACA JUGA:PI Migas dan Pajak Belum Optimal, DPRD Kaltim Ingatkan Pemprov Segera Bertindak
Perambahan, pembalakan liar, hingga indikasi praktik tambang ilegal yang menyusup ke kawasan ini telah lama menjadi sorotan.
"Kalau kawasan ini hilang fungsinya, kita tidak hanya bicara soal hukum. Kita bicara soal masa depan generasi yang kehilangan ruang edukasi dan penelitian," tuturnya.
Kasus KHDTK Unmul hanyalah satu potret dari persoalan panjang perambahan hutan di Kaltim.
Provinsi ini masih menghadapi tantangan serius dalam menjaga hutan tropisnya dari praktik ilegal, mulai dari penebangan liar hingga alih fungsi lahan untuk tambang dan perkebunan.
BACA JUGA:Anggota DPR Meminta Pemerintah Menjelaskan Frasa “Ibu Kota Politik” di IKN dalam Perpres 79/2025
Data dari sejumlah lembaga lingkungan menunjukkan ribuan hektare hutan Kaltim hilang setiap tahun.
Aparat memang kerap melakukan penindakan, namun banyak kasus yang berhenti di level pekerja lapangan.
Sementara itu, aktor intelektual dan jaringan yang lebih besar jarang tersentuh.
“Jika pola seperti ini dibiarkan, hukum lingkungan hanya akan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini jelas merugikan masyarakat dan merusak kepercayaan masyarakat,” lanjut Salehuddin.
DPRD Kaltim menuntut aparat penegak hukum meningkatkan koordinasi dan tidak ragu mengusut pihak yang diduga mengendalikan praktik perambahan.