Menurutnya, mahasiswa diberi akses terlibat dalam pemutakhiran data sosial, perencanaan musyawarah kampung, edukasi literasi digital, hingga penguatan UMKM.
BACA JUGA:Penerimaan Murid SD dan SMP di Kutai Barat Segera Berakhir, Disdikbud Tegaskan Larangan Pungli
Tapi lebih dari itu, Erick menginginkan mahasiswa bisa menjadi bagian dari denyut hidup warga kampung.
“Kami tidak ingin mereka datang sebagai tamu. Kami ingin mahasiswa dikenali sebagai keluarga kampung selama penugasan. Kalau mereka berhasil membaur, program apapun akan lebih mudah berjalan,” tambahnya.
BACA JUGA:Guru SMAN 1 Nyuatan Kubar Tembus Grand Final Duta Guru CBP Rupiah se-Kaltim
Dari pihak kampus, Kiswanto, dosen pendamping lapangan dan koordinator KKN UNMUL, menyebut bahwa seluruh mahasiswa telah melalui proses pembekalan intensif.
Namun, ia menegaskan bahwa tidak ada program instan yang dibawa dari kampus.
“Kami tekankan ke mahasiswa untuk observasi dulu. Dengarkan warga, pahami konteks lokal, baru rumuskan program. Jangan bawa proposal kosong,” ujar Kiswanto.
Ia menyebut, pembekalan mahasiswa mencakup metode partisipatif, pemetaan sosial, hingga pemahaman budaya Kalimantan Timur.
Semua itu dirancang agar mahasiswa tidak terjebak dalam mentalitas menggurui.
“Kami ingin mahasiswa hadir sebagai pendengar. Bukan datang menawarkan teori, tapi ikut berpikir bersama masyarakat,” katanya.
BACA JUGA:Proyek Miliaran DLH Kutai Barat Diduga Mangkrak dan Tak Transparan
Ia menggarisbawahi bahwa keberhasilan KKN tidak diukur dari dokumentasi, laporan, atau banyaknya kegiatan, melainkan dari jejak sosial yang ditinggalkan.
“Kalau ada satu anak yang terbantu belajar karena mahasiswa, atau satu petani dapat ide baru, itu sudah keberhasilan besar,” ujarnya.