Banner Diskominfo Kukar 2025--
KUTAI KARTANEGARA, NOMORSATUKALTIM - Laduman menjadi bagian dari tradisi Ramadan yang terus dilestarikan di Desa Jantur, Kecamatan Muara Muntai, Kutai Kartanegara.
Permainan ledakan tradisional ini tidak hanya sekadar hiburan, tetapi juga menjadi penanda waktu berbuka puasa bagi warga setempat.
Tradisi ini telah berlangsung sejak tahun 1950 dan tetap dipertahankan hingga sekarang.
Laduman adalah meriam tanpa peluru yang dibuat dari batang kayu atau bambu. Warga Desa Jantur menggunakan laduman berbahan batang pohon, dan setiap tahun mereka membuat dua unit laduman untuk dibunyikan saat Ramadan.
BACA JUGA: 115 UMKM Jualan di Lorong Pasar Ramadan Tenggarong
BACA JUGA: Ini Daftar Larangan dan Imbauan Pemkab Kukar Selama Ramadan
Laduman ini ditempatkan menghadap ke dua arah berbeda, satu ke hulu dan satu lagi ke hilir, sehingga suaranya bisa terdengar lebih luas.
Kepala Desa Jantur, Abdul Aziz mengungkapkan, bahwa tradisi laduman pertama kali diperkenalkan oleh Muhammad Samran, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Desa Jantur.
Pada awalnya, tradisi ini hanya ada di Desa Jantur, namun seiring waktu, suara laduman bisa terdengar hingga daerah lain seperti Kubar, Penyinggahan, Tanjung Isuy, dan Muara Muntai.
"Dulu, laduman hanya ada di Desa Jantur. Tapi setelah pemekaran desa, suara laduman bisa terdengar hingga wilayah lain," ujar Aziz, Minggu (2/3/2025).
BACA JUGA: Selama Ramadan, Kafe di PPU Tawarkan Makan Sepuasnya Cukup Bayar Rp10 Ribu
BACA JUGA: Hari Pertama Puasa, Pasar Ramadan Segiri Samarinda Ramai Pengunjung
Setiap tahunnya, laduman dibuat dengan cara gotong royong oleh warga desa.
Dana untuk pembuatannya berasal dari iuran warga, yang biasanya mencapai Rp5 juta. Biaya tersebut digunakan untuk membeli bahan baku dan konsumsi selama proses pembuatan.
"Biaya pembuatan laduman berasal dari iuran warga. Biasanya dana yang terkumpul digunakan untuk makan dan minum selama gotong royong," jelasnya.
Salah satu warga di Desa Jantur, Mukmin mengatakan, bahwa tradisi ini pertama kali diinisiasi oleh almarhum Imam Yahya.
BACA JUGA: Samsun Sebut Pemerataan Listrik di Kaltim Lambat karena PLN Terlalu Monopoli
BACA JUGA: Polda Kaltim Pantau Pasar Sepanjang Ramadan 1446H, Antisipasi Aksi Timbun Bahan Pokok
Pada masa itu, teknologi masih terbatas sehingga laduman digunakan sebagai penanda waktu berbuka.
"Dulu, orang hanya mengandalkan jam, tapi tidak semua warga punya. Maka dibuatlah laduman dari batang pohon besar seperti nangka air. Proses pembuatannya bisa memakan waktu lebih dari seminggu," timpal Riyadi, warga lainnya.
Laduman yang dibuat bisa bertahan sepanjang Ramadan selama tidak mengalami kerusakan.
Setiap kali dibunyikan, warga harus mengisi karbit sekitar lima menit sebelum adzan maghrib berkumandang.
Laduman hanya ditembakkan dua kali setiap harinya, dengan stok karbit sekitar 20 kilogram selama Ramadan.
BACA JUGA: Resmi! Tarif Tol Turun 20 Persen Selama Momen Mudik Lebaran
BACA JUGA: Pemerintah Fasilitasi Mudik Gratis untuk 100.000 Orang
Namun, jika masih ada sisa karbit setelah Ramadan, laduman bisa kembali ditembakkan saat malam takbiran Idulfitri.
"Kadang-kadang malam takbiran masih ditembakkan, tapi fokus utama tetap untuk penanda waktu berbuka puasa," pungkasnya.
Tradisi laduman menjadi salah satu warisan budaya yang tetap hidup di tengah masyarakat Desa Jantur.
Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, warga berharap tradisi ini dapat terus dilestarikan oleh generasi mendatang.