SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM- Rencana penggunaan starlink di Indonesia berpotensi menimbulkan kerugian negara, karena semua data-data rahasia negara dapat diakses oleh negara lain, seperti Amerika Serikat (AS).
Ini disampaikan oleh Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga, Henry Subiakto saat dihubungi Nomorsatukaltim.disway.id--Disway Kaltim Group, menanggapi terkait rencana penggunaan Starlink di Indonesia.
Henry menegaskan bahwa, pemerintah harus betul-betul menerapkan Pasal 33 Undangan-Undangan Dasar (UUD) 1945 yang menyebutkan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Menurutnya, Starlink tidak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan internet service provider, seperti group Telkom, Indosat dan lainnya.
Baca Juga:
Starlink Mendarat di Nusantara, Bawa Internet Cepat ke Indonesia
Tapi Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan sparatisme seperti Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang selama ini terjadi di Papua dan lainnya untuk komunikasi mereka, dan tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia. Sehingga pengguna Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI.
"Ini ruang angkasa yang harus dikuasai oleh negara. Ketika dipakai untuk penyelenggaraan internet dan lainnya itu. Maka minimal data-datanya itu masih dikuasai oleh negara. Jangan diberikan kepada asing," kata Henry Subiakto, Selasa (21/5/2024).
Mantan Staf Ahli Menkominfo RI ini mengatakan, selama ini negara telah menggembar-gemborkan penerapan satelit satria (Satelit Republika Indonesia). Bahkan hingga kini penerapannya juga belum maksimal di seluruh Indonesia.
"Kok sekarang tiba-tiba mau pakai punya asing, itu gimana?," ujarnya.
Baca Juga:
Kenaikan UKT Picu Protes Mahasiswa, Akademisi Balikpapan: Alihkan Anggaran Makan Siang Gratis!
Kata dia, selama ini Starlink di dunia lebih banyak digunakan oleh negara-negara satelit atau pendukung Amerika Serikat.
Itu disebabkan karena Satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan di bandingkan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1 dan satelit 2 lain milik Eropa maupun AS di luar Starlink.
Ia menjelakan bahwa, Starlink itu satelit Low Earth Orbit (LEO) yang beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 kilometer di atas permukaan bumi. Starlink ukurannya kecil jumlahnya ribuan, dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. Seolah seperti BTS terbang.
Sedangkan Satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, berada di satu titik relatif tetap dr permukaan bumi. Untuk bisa melayani publik butuh perangkat stasiun bumi.
"Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kilogram. Satelit GEO lebih besar dan mahal karena teknologi dan perlengkapan lebih kompleks, dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi," jelasnya.
Baca Juga:
Teras Samarinda Dikebut Dua Bulan, Telat Lagi, Sanksi Kontraktor Menanti
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa, Starlink bukan sekedar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata. Tapi Starlink juga berfungsi sebagai perusahaan internet service provider. Bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital.
"Ini bahayanya. Perusahaan Starlink trafik dan kontennya di luar jangkauan yuridiksi, kedaulatan digital dan kewenangan hukum nasional. Selain bisa dimanfaatkan untuk melawan kedaulatan negara dan mengancam keamanan nasional," tuturnya.
Katanya, jika jangkauan Starlink sampai ke Papua yang merupakan wilayah konflik. Maka semua data-data negara bisa diakses intelejen dan pemerintah Amerika Serikat untuk kepentingan politiknya. Namun, Sebaliknya data-data itu justru tidak bisa diakses pemerintah Indonesia.
"Disitulah kenapa Starlink berbahaya bagi NKRI, saat melayani wilayah gunung-gunung da pedalaman Papua," paparnya.
Baca Juga:
Objek Wisata di Berau Bakal Mendapatkan Fasilitasi Asuransi untuk Menjamin Keselamatan Pengunjung
Ia pun mencotohkan seperti yang terjadi di Ukraina. Di sana Starlink dipakai tentara Ukraina melawan Rusia.
Rusia kewalahan karena pergerakan pasukannya bisa terpantau tentara Ukraina.
"Lalu apa jadinya kalau OPM/KKB juga pakai fasilitas Starlink? Terlebih kalau gerakan itu didukung asing, siapa yang tanggung jawab jika menjadi makin besar, canggih dan mampu melawan TNI/Polri atau kekuatan negara," paparnya.
Ia mengakui bahwa, Starlink memang dapat memudahkan masyarakat dalam mengakses internet. Namun dibalik itu, ada konsekuensi besar yang diperoleh negara. Sebab semua data-data kerahasiaan negara dapat diakses oleh negara lain.
"Bagi rakyat kecil tahunya internet murah dan sampai pelosok-pelosok pasti didukung. Tapi bagaimana konsekuensinya, itu yang harus dipikirkan. Agak mending kalau Elon bersedia setuju dan komitmen tunduk pada UU Indonesia," terangnya.
Sebagai informasi, Pada hari Minggu (19/5/2024) lalu, CEO SpaceX Elon Musk mendatangi Indonesia, tepatnya di Provinsi Bali.
Elon Musk datang ke Bali untuk meresmikan jaringan Starlink di Indonesia dan melakukan penandatanganan kerja sama dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait layanan internet untuk puskesmas di daerah-daerah terpencil.
Kegiatan ini juga dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi dan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. (*)