Oleh : Capt (C) Dwiyono Soeyono, M. Mar - Ketua Umum IKPPNI – P3I Kami segenap Pelaut niaga menjelang hari Pelaut sedunia, menghadiahkan aspirasi suara nurani demi bela negara atas kepentingan penghasil devisa dari sektor profesi pelaut niaga dibawah ini: PERIHAL PELAUT DIDALAM PERATURAN MIGRAN
- KESIMPULAN UMUM PROFESI PELAUT NIAGA
- Negara harus mengakui bahwa para praktisi Pelaut adalah profesi Lex Spesialis, dalam hal ini adalah Lembaga Kementerian Perhubungan sebagai pencetak profesi Pelaut.
- Bersamaan Negara harus hadir membuat peraturan khusus yang mengatur perlindugan pelaut sebagai profesi/pekerja Lex Spesialis, sebagaimana diamanatkan Konvensi Internasional.
- mendorong agar Negara segera meratifikasi Konvensi ILO 188 sebagai awal komitmen perlindungan khusus bagi Pelaut Perikanan, sebagaimana Negara telah meratifikasi MLC 2006 yang mengatur perlindungan hak Pelaut Niaga.
- Segera dibuatkan peraturan khusus perlindungan pelaut dapat berupa Undang-Udang Perlindungan Pelaut atau Undang-Undang Perlindungan Profesi Pelaut yang mengejewantahkan MLC 2006, ILO 188 dan Konvensi - Konvensi lain yang sifatnya mendukung terwujudnya perlindungan pelaut secara nyata seperti International Maritime Liens and Mortgage 1993 dan International Convention on Arrest of Ships 1999 serta Undang-Undang Undang Nomor 17 tahun 2008 beserta turunannya.
- Agar Negara mencabut pasal 4 ayat (1) huruf C dalam Undang - Undang 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), sebagai perwujudan perbaikan perundang – undangan yang baik dan tidak merugikan Pelaut, agar status hukum pelaut sejalan dengan Konvensi Internasional yang mengecualikan pelaut dari peraturan pengaturan Pekerja Migran.
- URAIAN KEKURANGAN HUKUM FORMIL BAGI PELAUT NIAGA
- PP 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, mengandung nomenklatur yang tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang - Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) yang menjadi induknya, yang mana pasal tersebut mengamanatkan pengaturan Penempatan dan Perlindungan Pelaut Awak Kapal dan Pelaut Perikanan, bukan Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Perbedaan nomenklatur ini dapat menimbulkan kerancuan dan tidak adanya kepastian hukum bagi pelaut secara umum, yang dapat berarti negara abai terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28D ayat(1).
- Pasal 4 ayat (1) huruf C UU No. 18/2017 tentang PPMI, yang menjadi junctis pasal 64 UU tersebut yang kemudian menurunkan PP 22/2022, bertentangan dengan UU No. 6 tahun 2012 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya yang menjadi konsideran (bagian mengingat) yang mengecualikan pelaut sebagaimana tercantum pada Pasal 3 huruf (f) yang berbunyi "Konvensi ini tidak boleh berlaku bagi: (f) pelaut dan pekerja pada suatu instalasi lepas pantai yang belum memperoleh izin tinggal dan melakukan aktivitas yang dibayar di Negara tujuan kerja. Dengan demikian, UU No. 18/2017 tentang PMI tersebut 'Cacat Formil'
- Atas kondisi hukum pada butir (b) di atas, PP 22/2022 bisa mengalami akibat batal demi hukum.
- URAIAN KEJANGGALAN MATERIL
- Diwajibkannya Pelaut Mandiri untuk melaporkan rencana keberangkatannya ke Dinas Kota/Kabupaten/LTSA pada pasal 4(a) PP 22/2022 tidak dibarengi dengan perlindungan yang setimpal. Pasal 3 ayat (5) PP tersebut berlepas diri dari Perlindungan Pelaut Mandiri dengan berbunyi "Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran yang bekerja secara perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka risiko ketenagakerjaan menjadi tanggung jawab sendiri". Artinya, kewajiban melapor tidak memberi manfaat selain menambah beban birokrasi.
- Pasal 4(a) PP 22/2022 mewajibkan pelaut memiliki Visa Kerja, padahal Pelaut bekerja di atas kapal dengan banyak negara terlibat di dalamnya; Terdapat Negara Bendera (Flag State), Negara Pemilik Kapal, Negara Operator Kapal, Negara Pencharter Kapal dan Negara tempat tujuan di mana pelaut akan menaiki kapal. Kewajiban Visa kerja menjadi tidak jelas Visa Kerja di negara mana, selain memberatkan. Masalah lainnya adalah ketika terjadi perpindahan kekuasaan hukum kapal, misalnya, kapal berganti bendera, owner kapal berganti, berganti management, dan lain-lain. Artinya, kewajiban Visa Kerja dapat menyulitkan pelaut yang selama ini mudah dengan menggunakan Visa Transit, Visa Pelaut atau Bahkan Visa on Arrival.
- Diwajibkannya Seafarer Identity Document (SID) bagi Pelaut Mandiri (Pasal 4(a)) akan sangat menyulitkan dikarenakan SID hanya dapat dibuat di dua tempat yaitu di Dirjen Hubla dan Pelabuhan Tanjung Perak. Ini akan lebih menyulitkan mengingat persyaratan pembuatan SID harus disampaikan secara langsung sesuai PP 30-2008 pasal 13 ayat (3)
- Mewajibkan Manning Agency untuk memiliki modal disetor sebanyak Rp 5 miliar beserta deposito sebesar Rp 1,5 miliar adalah hal pasal yang baik berfihak kepada dana jaminan Pelaut bila terjadi masalah bagi Pelaut di luar Negeri. Namun hal ini dinilai akan merontokkan banyak manning agency yang masih memiliki kesulitan keuangan tetapi memiliki jejak rekam yang baik dalam penempatan pelaut. Mematikan Manning Agency sebenarnya identik dengan mematikan kesempatan kerja yang dibawanya. Bisa dipahami bahwasanya deposito Rp 1,5 miliar ditujukan untuk meng-cover hak-hak pelaut jika Manning Agency tidak melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi, hak-hak pelaut yang dapat di-recover dengan deposito tersebut tidak sebanding dengan kemungkinan banyaknya Agency baik yang mati bersama kesempatan kerja yang dibawanya. Artinya, risiko pengangguran pelaut akan semakin nyata. Selain itu, di dalam peraturan perundang undangan yang telah ada sudah terdapat kewajiban-kewajiban Manning Agency yang kurang lebih equivalen dengan cadangan Rp 1,5 miliar yang vulgar. Misalnya yang diatur dalam PM 59/2021 yaitu Manning Agency memiliki kewajiban antara lain: Menyediakan bukti jaminan keuangan (financial security) sesuai MLC 2006 dan pernyataan direktur utama perusahaan bermaterai perihal pengurusan pemulangan awak kapal, yang disahkan oleh notaris (pasal 95(d)), berkewajiban memulangkan pelaut sampai ke tempat asal (pasal 98), berkewajiban memulangkan jenazah awak apal hingga ke tangan keluarganya (pasal 104(1), dan memberi santunan (pasal 104(2), Keagenan wajib menyelesaikan pembayaran keterlambatan gaji/upah, bonus dll sesuai PKL (pasal 103), Memastikan diasuransikannya Pelaut (pasal 112(g) dan lain sebagainya yang tidak diatur dalam PP 22/2022. Artinya, PP 22/2022 tidak memberikan perlindungan lebih baik selain mengubah pendekatan yang justru dapat berakibat pada adanya risiko pengangguran pelaut. Jadi perlu dicarikan solusi terbaik akan procons terhadap pasal ini.
- Salah satu syarat untuk mendapatkan SIP3MI adalah "Memiliki Rencana Kerja Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran paling singkat 3 (tiga) tahun berjalan", sebagaimana diatur pada Pasal 8(3i). Ini berarti hanya Agency yang sudah dan/atau sedang berjalan selama 3 (tiga) tahun yang dapat melakukan penempatan dan berakibat tertutup kemungkinan berdirinya Agency Baru yang memiliki SIP3MI. Setiap Agency baru harus menunggu selama 3 (tiga) tahun tanpa kegiatan penempatan melainkan hanya membuat rencana penempatan 3 tahun berjalan. Jika ia menempatkan awak kapal selama masa penantian SIP3MI tersebut selama 3 tahun, berarti ia siap berhadapan dengan pidana 10 tahun penjara atau denda Rp15 miliar sebagaimana tertera pada pasal 81 j.o. pasal 69 UU No. 18/2017. Daripada demikian, lebih baik tidak mendirikan Agency Baru. Artinya, akan tertutup rapat peluang kerja yang ia bawa.
- Kondisi pada butir (d) dan (e) justru akan mendorong peningkatan jumlah pelaut mandiri yang PP 22/2022 ini berlepas diri dari perlindungannya.
- Dalam pengaturan bantuan hukum, PP 22/2022 tidak memiliki kelebihan dibandingkan dengan peraturan yang sudah ada. Pada PP 22/2022 pasal 39 ayat (2&3), bantuan hukum diberikan mengedepankan bantuan pro bono (bantuan gratis) yang jika tidak tersedia bantuan hukum gratis di negara tempat berperkara maka bantuan hukum dapat diberikan terbatas pada ancaman hukuman pidana mati. Jika dibandingkan dengan aturan yang sudah ada, misalnya PM 59-2021 pasal 112 ayat (c), jelas kiranya bantuan hukum pada PP 22/2022 tidak berimbang dengan segala resiko yang diakibatkan oleh adanya PP 22/2022.
- SARAN-SARAN LAIN
- Negara harus melibatkan pelaut dalam pembentukan segala peraturan perundang-undangan yang mengatur kepelautan.
- Segera keluarkan PM Tata Cara Penahanan Kapal di Pelabuhan yang masih berbentuk RPM, sebagai amanat pasal 222 dan 223 UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, agar;
- Pelaut-pelaut yang tidak dibayar gajinya bisa menahan kapal, bahkan menjual paksa kapal.
- Tidak ada alasan untuk pengadilan untuk tidak menahan kapal yang tidak memenuhi hak pelaut
- Tercipta kemudahan kepemilikan kapal berbendera Indonesisa sehingga lapangan kerja semakin luas.
- Negara menyiapkan Mediator yang diakomodir oleh UU PHI di tubuh Kementerian Perhubungan untuk mempermudah pemenuhan tanggung jawab keagenan awak kapal yang tertera pasa PM 59/2021, sebagai bentuk peningkatan perlindungan pelaut sebelum diterbitkannya Undang-Udang Perlindungan Pelaut atau Undang-Undang Perlindungan Profesi Pelaut yang komprehensif.
- Agar dibentuk Peradilan Maritim (Maritime Court) sebagai bentuk kedigdayaan Negara Maritim sesuai cita-cita Poros Matim Dunia.
- Mengakui adanya Dewan Kehormatan Kode Etik yang independent dalam Organisasi Profesi Tenaga Ahli Maritim Niaga.
- Disuarakanya suara pelaut niaga nusantara ke IMO bahwa hari Pelaut Dunia adalah merupakan hari libur internasional bagi segenap Pelaut Niaga.
- Dalam setiap peta-peta navigasi yang diterbitkan Negara-RI agar mencantumkan Selat Sumatera disepanjang wilayah utara perairan Pulau Sumatera yang menandakan kedaulatan negara poros maritim dunia.