“Amnesti Saiful Mahdi Bukan Hadiah dari Jokowi”

Jumat 08-10-2021,12:42 WIB
Reporter : Disway Kaltim Group
Editor : Disway Kaltim Group

Dalam implementasi Pasal 27 ayat (3) pada SKB 3 lembaga tersebut. Di poin (f) disebutkan bahwa korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.

Lalu pada poin (g) pemidanaan Pasal 27 (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban. Namun berlaku jika pelaku sengaja menyerang kehormatan seseorang dengan menuduh sesuatu hal secara sengaja.

“SKB datang terlambat. Itu pun enggak cukup. Harus dicabut ketentuan delik defamasi di pasal 27 ayat (3) itu. Sudah masuk prolegnas, tinggal menunggu keseriusan pemerintah dan DPR untuk membahas. Jangan sampai serupa lip service juga pada akhirnya. Akarnya kan di pasal-pasal karet UU ITE itu,” ujar Castro.

Dan lagi, meski SKB yang diteken pada 23 Juni 2021 itu sudah cukup ‘meluruskan’ pasal-pasal karet UU ITE. Tetap saja kekuatannya tidak seperti UU. Lebih parah, SKB dapat diubah sewaktu-waktu. Baik di satu rezim pemerintahan, atau di pemerintahan selanjutnya.

“Kalau modalnya SKB, masih belum menjamin kebebasan berpendapat. Ganti rezim, ganti kebijakan SKB, entar. Harus cabut delik defamasi dalam UU ITE itu memang. Baru negara bisa dianggap berfungsi menjamin kebebasan warganya,” sebutnya lagi.

Kepastian UU ITE yang pro demokrasi tentu berkaitan erat dengan tidak terulangnya kasus-kasus ‘Saiful Mahdi’ lainnya di masa depan. Bahwa setiap warga negara, diberi batasan yang jelas dalam menuangkan pemikiran dan kritikannya. Tanpa khawatir bisa dipidanakan seenaknya saja.

Kembali ke kasus Saiful, sebagai sesama dosen. Castro merasa urusan negara belum selesai. Saiful, menurutnya, harus bisa kembali ke profesinya dengan membawa kehormatan seperti sebelumnya.

“Pasca amnesti ini, nama baik Saiful Mahdi harus dipulihkan. Birokrasi kampus Unsyiah harus minta maaf terbuka,” demikian Castro. AVA

Tags :
Kategori :

Terkait