Meskipun tadinya pembahasan Surpres tidak masuk dalam agenda pembahasan, namun di tengah persidangan anggota DPR Hamid Noor Yasin menyatakan interupsi dan menyampaikan pertimbangan dalam rapat paripurna DPR.
“Pemberian amnesti kepada saudara Saiful Mahdi merupakan jalan keluar yang perlu kita dukung bersama-sama. Kasus yang menjerat Saiful Mahdi merupakan fenomena gunung es di Indonesia yang diakibatkan kelemahan dalam UU ITE, baik substansi formal maupun penerapannya masih banyak kasus semacam Saiful Mahdi yang sedang maupun telah dipidana akibat pemberlakuan UU ITE,” jelas Hamid Noor Yasin dalam rapat paripurna.
Atas interupsi tersebut, kemudian dilanjutkan dengan permintaan persetujuan anggota DPR oleh Pimpinan Sidang. Tidak lama kemudian, persetujuan pemberian pertimbangan amnesti untuk Saiful Mahdi kemudian diambil dan diketuk.
Koalisi Advokasi Saiful Mahdi mengapresiasi Presiden dan DPR dalam merespons cepat dan mengabulkan permohonan amnesti ini. Dukungan Menkopolhukam Mahfud Md juga disebut turut mendorong percepatan proses pemberian amnesti ini. Selanjutnya mereka meminta Saiful segera dibebaskan dari penjara setelah mendapat amnesti tersebut.
Dian Rubianty, istri dari Saiful Mahdi menyatakan bahwa amnesti adalah wujud negara yang hadir untuk rakyat, ketika keadilan tidak hadir dan kebenaran dibungkam.
Koordinator PAKU ITE, Muhammad Arsyad juga merespons baik terhadap keputusan Presiden dan DPR memberikan Amnesti untuk Saiful Mahdi. Meski begitu, Arsyad menilai kasus-kasus seperti yang dialami Saiful masih banyak dan akan terus bertambah jika pemerintah tidak menyelesaikan akar permasalahannya.
“Selain kasus Pak Saiful Mahdi, sangat banyak kasus serupa di mana masyarakat dibungkam dan dikriminalisasi dengan pasal-pasal di UU ITE hanya karena kritik dan pendapatnya.”
“Meskipun Pedoman Implementasi UU ITE sudah dikeluarkan oleh tiga lembaga negara, nyatanya korban kriminalisasi UU ITE juga terus bertambah. Makanya revisi total UU ITE semakin dibutuhkan. Koalisi Masyarakat Sipil juga telah mengeluarkan kertas kebijakan dengan rekomendasi untuk menghapus dan merevisi pasal-pasal tersebut,” papar Arsyad. AVA
Castro: Itu Bukan Hadiah
DI balik euforia pemberian amnesti oleh Presiden Joko Widodo dan DPR RI pada Saiful Mahdi. Yang disebut sebagai bentuk kehadiran negara di tengah-tengah masyarakatnya. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah memiliki dua pemaknaan. Satu di antaranya, amnesti tersebut bukan lah hadiah dari Presiden Jokowi.
Sebagai orang yang turut terlibat aksi solidaritas terhadap kebebasan Saiful Mahdi. Herdiansyah Hamzah tentu ikut senang. Lantaran perjuangan yang digalang oleh puluhan lembaga pendidikan, kepemudaan, keagamaan, dan lainnya itu berbuntut keluarnya amnesti.
Dalam proses perjuangan penegakan hukum dewasa ini. Pencapaian ini tentu sangat disyukuri. Namun, ia juga memandang bahwa diberikannya amnesti pada Saiful Mahdi tidak serta merta sebagai bentuk pengertian Presiden Jokowi dan DPR RI. Dalam menjelantarkan isi dari UU ITE yang seharusnya.
“(Amnesti) ini bukan hadiah (dari) Jokowi, tapi buah dari desakan dan solidaritas tanpa henti dari berbagai elemen,” ucap pria yang disapa Castro itu, Kamis (7/10) petang.
‘Hadiah’ yang sebenar-benarnya, kata Castro, adalah jika Presiden Jokowi mau mengubah Undang-Undang yang mengatur ITE saat ini.
Saiful Mahdi, jika merujuk Surat Keputusan Bersama 3 lembaga, yakni Kemenkominfo RI, Jaksa Agung, dan Polri. Maka ia tak bisa dilaporkan atas tulisannya di WA Group sebagaimana dijadikan barang bukti oleh Dekan Fakultas Teknik Unsyiah.
Lantaran jelas, Saiful tak menyebut nama yang ia kritisi. Pun, kalimat ‘Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?’. Dalam konteksnya tidak bisa langsung ditetapkan sebagai; Saiful menuduh semua orang di Fakultas Teknik Unsyiah sebagai koruptor atau pelaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).