OLEH: AMADHEA PUTRI NAMIRA*
Kekerasan berbasis gender online bukanlah hal baru. Hal ini muncul karena perkembangan teknologi pada era globalisasi dan perubahan gaya komunikasi atau cara berinteraksi antar-manusia. Kurangnya literasi media terhadap pengguna juga menjadi alasan hal ini terjadi. Karena kebebasan yang diberikan di ruang online, banyak orang akan melakukan sesuatu tanpa memikirkan dampaknya.
Media sosial (medsos) merupakan suatu media daring. Di mana penggunanya dapat dengan mudah berinteraksi. Bertukar pesan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Dengan kemudahan yang diberikan membuat siapa saja dapat menggunakan medsos.
Data dari Kominfo pada 2019-2020 menunjukkan, pengguna aktif internet di Indonesia mencapai 196.71 juta jiwa atau setara dengan 73,7 persen penduduk. Dengan tingginya angka pengguna medsos di Indonesia, maka akan besar juga tantangan yang dimiliki pemerintah untuk membangun literasi media. Agar masyarakat dapat paham bagaimana kebijakan penggunaannya.
Lalu, apa itu Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO)? Kekerasan berbasis gender online ialah sebuah bentuk kekerasan yang terjadi atas dasar relasi gender antara korban dan pelaku dengan niat untuk melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual di ranah online atau yang menggunakan teknologi digital.
Kekerasan gender terjadi kebanyakan pada wanita. Meski laki-laki juga bisa mendapatkan hal yang sama. Namun kebanyakan menjadi korban ialah wanita. Beberapa contoh kekerasan gender berbasis online yang kerap terjadi di medsos antara lain online stalking sebagai pelanggaran privasi, pemerasan dengan konten seksual seperti penyebaran foto/video, dan pornografi terhadap anak di bawah umur.
Selain itu, ada pula cyber grooming; meretas situs web, medsos, atau email organisasi dan komunitas dengan niat jahat; ujaran kebencian dan postingan di media sosial dengan target pada gender atau seksualitas tertentu, serta perdagangan perempuan melalui penggunaan teknologi, termasuk pemilihan dan persiapan korban—kekerasan seksual terencana.
Perlindungan privasi dalam dunia maya merupakan hal utama dalam keamanan diri dari berbagai kekerasan atau kejahatan dunia maya. Privasi merupakan batasan antara informasi diri dari jangkauan mata publik yang melihat ke akun media kita.
Dampak yang diberikan dari hal tersebut sangat besar terhadap korban. Misalnya psikologis terganggu yang menyebabkan depresi, para korban/penyintas menarik diri dari kehidupan publik, termasuk dengan keluarga dan teman-teman.
Hal ini terutama berlaku untuk wanita yang foto dan videonya disebarluaskan tanpa persetujuan mereka. Di mana mereka merasa dipermalukan dan diejek di depan umum dan kerugian ekonomi sehingga para korban menjadi pengangguran dan kehilangan penghasilan.
Kemudian mobilitas terbatas para korban/penyintas kehilangan kemampuan untuk bergerak bebas dan berpartisipasi dalam ruang online dan/atau offline dan sensor diri disebabkan ketakutan menjadi korban lebih lanjut, dan karena hilangnya kepercayaan terhadap keamanan menggunakan teknologi digital sehingga menghapus diri dari internet memiliki implikasi lebih lanjut di luar sensor diri. Seperti putusnya akses ke informasi, layanan elektronik, dan komunikasi sosial atau profesional.
Untuk bisa mengurangi hal-hal ini terjadi pada orang sekitar kita, maka mulailah dari diri kita sendiri untuk bijak menggunakan medsos dan berpikirlah sebelum berkomentar. Karena apa yang kita lakukan mungkin berdampak buruk bagi orang lain. Jangan hanya jadi pengguna smartphone. Tapi juga harus menjadi smartpeople saat menggunakannya. (*Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman)