Pukul 10.00 malam, Wandi pun meluncur menuju rumah jabatan Kepala Punggawa Militer Besar. Ia ditemani sang ajudan sekaligus sopirnya, Nanda. 15 menit berselang, ia sudah memasuki hal rumah jabatan Waluyo. Turun dari mobil, Wandi menuju pos penjagaan.
“Komandan ada?,” tanyanya, kepada petugas jaga.
“Siap, ada. Sebentar saya panggilkan. Tunggu di ruang belakang saja,” kata petugas itu.
Wandi pun mengikuti petugas jaga hingga menuju ke halaman belakang rumah dinas tersebut. Ada sebuah gazebo yang dikelilingi kolam kecil melingkari gazebo tersebut. Di sekelilingnya penuh dengan aneka tanaman dan patung-patung artistik. Untuk menuju gazebo tersebut ada dua jembatan kecil berukuran panjang dua meter dan lebar satu meteran. Sisi kanan dan kirinya dibuat pegangan sekaligus pagar pembatas supaya tidak terpeleset. Kalau hujan, kondisinya agak sedikit licin.
Di tempat itu, biasanya Waluyo berbincang dengan tamu dan kolega dekatnya. Juga untuk urusan pekerjaan penting dan rahasia. Jika masih diterima di ruang tamu, berarti untuk urusan biasa saja. Wandi sudah seringkali dipanggil Waluyo. Dan biasa diajak ke tempat itu. Petugas jaga pun sudah memahami. Sehingga begitu Wandi datang, langsung dipersilakan menunggu di tempat itu.
Untuk ukuran gazebo, termasuk lumayan luas. 6 x 6 meter per segi. Di pojok sebelah kanan terdapat akuarium berukuran 2 meter dan lebarnya 1 meter-an. Hanya ada satu ikan arwana besar. Panjangnya sekitar dua kaki orang dewasa. Gazebo tersebut juga memuat satu meja panjang. Lengkap dengan empat kursi dari kayu jati. Aneka buah-buahan dan makanan ringan sudah tersaji di atas meja.
Wandi pun duduk menghadap akuarium. Melihat dengan seksama gerakan arwana. Warna sisiknya memantulkan cahaya lampu. Membuat gerakkannya tampak indah. Tak lama, asisten rumah tangga Waluyo membawakan secangkir kopi dan teh.
Lima menit berselang, Waluyo menghampiri. “Gimana Wandi!!”—suara itu mengejutkan. Wandi langsung berdiri dan hormat. “Ayok, silakan duduk,” pinta Waluyo.
Tanpa basa-basi, Wandi langsung menyerahkan berkas catatan yang telah dibuat timnya. Sambil menjelaskan perkembangan kasus di lapangan. Berdasarkan penelusuran timnya, sementara ini sudah ada yang akan dinaikan statusnya jadi tersangka. Yakni mantan sesepuh Bidang Pertanian Khairul; dua orang staf Bidang Pertanian; Satu staf Bidang Perencanaan; Kemudian ada dua orang dari masyarakat, yakni seorang perempuan bernama Anita Rossy dan pemilik lahan H Tiwo. Serta satu orang lagi, Sinuhun Kota Ulin.
“Anggota sinuhun?!”—Waluyo menatap tajam nama yang tertera dalam catatan itu.
“Siap, benar Ndan. Sinuhun Ucok ini malah sudah berkali-kali terlibat kasus,” jelas Wandi.
“Oh, begitu. Yakin kamu cuma sendirian?,” tanya Waluyo, kemudian tersenyum.
“Sementara ini begitu. Tapi masih bisa berkembang. Tim tengah menelusuri dua nama lainnya. Tapi masih kurang alat bukti,” beber Wandi.
Waluyo kemudian meminta Wandi segera melimpahkan berkas ke Kejaksaan Negeri. Kemudian Waluyo juga meminta agar jangan dulu dilakukan penahanan kepada tersangka itu. Waluyo masih akan berkoordinasi dengan Sultan dan Kanjeng Sinuhun. “Dipantau saja, agar mereka tidak meninggalkan Kota Ulin, ya,” perintahnya.
“Siap, Ndan”.
“Baik, laksanakan ya,” imbuh Waluyo.