Pekerjaan Rumah dalam Pengembangan Pendidikan Vokasi
OLEH: AGUSTINUS SETYAWAN*
Menurut laporan Global Talent Competitiveness Index (GTCI) tahun 2019, Indonesia berada pada peringkat 67 dari 125 negara dan berada di bawah lima negara ASEAN seperti Singapura yang berada pada peringkat 2, Malaysia peringkat 27, Brunei Darussalam peringkat 36, Filipina peringkat 58, dan Thailand peringkat 66.
Secara umum, beberapa faktor yang dinilai oleh GTCI adalah pertumbuhan suatu negara, upaya menarik dan mempertahankan talenta, dan langkah menyediakan sumber daya untuk mengembangkan strategi dalam meningkatkan daya saing talenta tersebut.
Dalam perspektif global, jika melihat kondisi saat ini, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang besar dari negara kita agar dapat bersaing di kancah internasional. Sementara negara Switzerland dari beberapa tahun terakhir masih menduduki peringkat teratas dengan salah satu keunggulan dari negara tersebut: sistem pendidikan vokasinya telah menjadi rujukan dari banyak negara untuk melakukan studi banding (benchmarking).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebesar 5,28 persen atau 7,05 juta orang. Berdasarkan data tersebut, lulusan SMK memberikan kontribusi 10,42 persen, lulusan SMA 7,92 persen, lulusan diploma 5,99 persen, dan lulusan universitas 5,67 persen.
Ini menunjukkan, lulusan sekolah vokasi masih belum terserap di dunia kerja secara maksimal. Memang ironis. Karena lulusan yang seharusnya dipersiapkan agar banyak terserap di dunia kerja, namun kenyataannya belum seperti yang diharapkan.
Muncul pertanyaan, apa sebenarnya penyebab utamanya? Beberapa hal menyangkut persoalan teknis dan non-teknis pasti jawabannya. Namun yang pasti, salah satu daripada jawaban tersebut adalah tentang gap kompetensi yang belum sesuai dengan pasar kerja. Sehingga menyebabkan kurang siapnya lulusan dalam menghadapi dunia kerja.
Berdasarkan dua fenomena di atas, sudah jelas bahwa pendidikan vokasi masih menyimpan PR besar di negara kita. Selain itu, PR ini juga melingkupi tentang perlunya kepedulian yang tinggi untuk dilakukan revitalisasi secara menyeluruh dalam sistem pendidikan vokasi.
Kita harus berkontribusi untuk menjadi agen perubahan (agent of change) dalam proses revitalisasi pendidikan vokasi. Sehingga salah satu program pemerintah pusat yang mengharapkan “SDM Unggul, Indonesia Maju” akan terealisasi dengan cepat.
Charles Allen Prosser (1871-1952) sebagai bapak pendidikan vokasi di Amerika mengatakan, pendidikan vokasi membutuhkan lingkungan pembelajaran yang menyerupai dunia kerja. Dengan peralatan yang memadai. Sesuai kebutuhan dan tuntutan dunia kerja.
Pendidikan vokasi dituntut untuk dapat membentuk peserta didik yang memiliki kemampuan soft skills dan hard skills yang mumpuni dan didukung dengan pelatihan mental dan fisik, sikap (attitude), serta pembekalan kewirausahan. Sehingga peserta didik akan lebih lincah (agile) beradaptasi pada saat terjun di dunia industri.
***
Pembinaan mental dan fisik dilakukan sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Dalam hal ini, bisa dilakukan mandiri dan/atau bekerja sama dengan instansi yang berkompeten di bidang tersebut. Program ini bisa dibuat sesuai dengan kebutuhan (tailor-made) dan dilakukan dengan pembinaan mental dan fisik yang modern dan jauh dari unsur peloncoan serta mengacu pada kegiatan yang memberikan nilai tambah (added value) pada peserta didik. Outcome dari pembinaan ini diharapkan akan membentuk peserta didik lebih disiplin, percaya diri, dan memiliki sikap (attitude) yang baik.
Pembinaan dasar-dasar Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dilakukan pada awal kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini bisa berkolaborasi dengan industri melalui penyusunan kurikulum, pelaksanaan pemberian materi, praktek di lapangan, hingga pelaksanaan evaluasi yang sesuai dengan standar kompetensi yang telah disusun dan dikolaborasikan dengan persyaratan kompetensi yang dibutuhkan dalam industri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: