Usia 45 ke Bawah Dibebaskan, Walau Pandemi Belum Mereda

Usia 45 ke Bawah Dibebaskan, Walau Pandemi Belum Mereda

Doni Monardo Selasa lalu menggelar jumpa pers di kantornya. Setelah sebelumnya mengikuti rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona itu, menyebut akan memberikan kesempatan kepada masyarakat kelompok usia 45 tahun ke bawah untuk kembali bekerja. Kembali beraktivitas. Bagaimana dengan Kaltim?  -------------- Pewarta: Michael F Yacob Editor: Devi Alamsyah PEMERINTAH sepertinya mulai akan membuka kran pembatasan sosial. Kendati tetap mengimbau agar warga membiasakan diri untuk menjaga jarak. Diawali kebijakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Setelah pulih dari COVID-19, Menhub mengeluarkan surat edaran (SE) untuk membuka kembali akses transportasi. Dengan ketentuan tertentu. Banyak warga yang menganggap aturan itu blunder. Mengingat beberapa daerah di Indonesia baru mengajukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebut saja beberapa daerah di Jawab Barat yang ramai diberitakan. Kemudian yang paling dekat adalah rencana Kota Balikpapan mengajukan PSBB. Kemudian, tim Gugus Tugas RI baru-baru ini akan memberikan kesempatan kepada warga yang berusia 45 tahun ke bawah untuk kembali bekerja. Usia ini dianggap rendah risiko kematian akibat COVID-19. Tapi bisa menjadi carrier. Karenanya, kendati nantinya dibolehkan beraktivitas, warga yang berusia tersebut harus melakukan isolasi mandiri di rumah. Agar ketika terpapar tidak menularkan kepada usia rentan. “Soal memberikan kesempatan kepada kelompok usia 45 tahun ke bawah untuk bekerja kembali, ini harus dilihat kembali konteksnya pada Permenkes Nomor 9 tahun 2020 yaitu pasal 13, jadi ada 11 bidang kegiatan yang bisa diizinkan,” kata Doni Monardo. Menanggapi hal itu, Juru Bicara Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kaltim Andi Muhammad Ishak belum mengetahui secara pasti. Apakah yang diutarakan Doni Monardo pada jumpa pers tersebut sudah ditetapkan menjadi kebijakan yang akan diikuti untuk seluruh daerah. Atau itu masih berupa wacana atau usulan hasil evaluasi tim Gugus Tugas kepada Presiden RI. Andi menduga. Seandainya kebijakan ini diterapkan untuk seluruh daerah, kemungkinan besar karena faktor ekonomi. Seperti diberitakan belakangan ini tentang perdebatan antara DPR RI dan Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI). Terkait pemulihan ekonomi pasca pandemi. Apakah cetak uang atau mengeluarkan surat utang. “Apapun alasan yang diberikan, kami sih ikut saja. Kita mengikuti ketentuan yang ada di atas. Karena, kalau kita tidak mengindahkan aturan tersebut, berarti kan kita bakal berbenturan dengan pemerintah pusat,” kata Andi kepada Disway Kaltim, melalui telepon Rabu (13/5). Kalau dilihat dari prinsip physical distancing, keputusan tersebut sebenarnya tidak sejalan. Hanya memang, pertimbangan usia tersebut bisa kembali bekerja selain mampu menggerakkan ekonomi daerah, daya imun kaum muda ini terbilang kuat. Penyakit kronis yang diderita pada usia tersebut juga belum banyak. Risiko kematiannya rendah. Selama ini, mayoritas pasien yang sering terpapar virus ini, berusia di atas 45 tahun. Bahkan, pasien positif yang dinyatakan meninggal juga mayoritas berusia di atas usia tersebut. Andi menjelaskan, selama ini kebijakan work from home (WFH) atau bekerja dari rumah merupakan kebijakan masing-masing perusahaan. Bukan aturan dari pemerintah. Kecuali pegawai negeri sipil (PNS). “Karena ada edaran dari pusat. Ini pun diperpanjang lagi sampai 29 Mei,” terangnya. Namun demikian, katanya, manajemen perusahaan dan karyawannya diminta harus menerapkan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). “Itukan berdampak dengan perputaran roda perekonomian yang juga ikut bergerak. Tapi, pasti dari pusat juga sudah ada pertimbangan lain,” tambahnya. Hanya saja jika aturan ini diterapkan, kata Andi, potensi penularan virus corona persentasenya lebih besar. Ketimbang mereka harus melakukan aktivitas di dalam rumah. Kalaupun harus berada di rumah, masyarakat perlu biaya untuk bertahan hidup. Kendati ada bantuan dari pemerintah. Belum tentu semua dapat ter-cover. Sementara, bantuan ini pun butuh proses yang terlampau lama. Teknisnya juga tidak gampang. Ada tiga data yang harus disingkronkan. Yaitu dari pemerintah kabupaten/kota, provinsi sampai pemerintah pusat. Andi meminta kepada manajemen perusahaan, jika nanti kebijakan tersebut diberlakukan maka harus memastikan para pekerjanya sehat. Bagusnya semua dilakukan rapid test. Kalau nanti hasilnya reaktif, pekerja tersebut dipulangkan untuk melakukan isolasi mandiri. BISA BLUNDER Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Budiman menilai, kebijakan pemerintah pusat selalu berubah setiap saat. Sehingga, membuat kelimpungan pemerintah di bawah. Dari tingkat provinsi sampai pemerintah kabupaten/kota. “Pemerintah saja bingung untuk melakukan. Apalagi masyarakat. Mereka baru mau memahami kebijakan tersebut. Eh, sudah diubah lagi. Alhasil, pasti akan kebingungan semuanya. Pastinya, tidak berjalan dengan baik kebijakan tersebut,” ungkapnya. Budiman menilai, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat sangat blunder. Pasalnya, akan berdampak negatif untuk masyarakat. Penyebaran COVID-19 pastinya akan cepat. Sehingga, pasien terkonfirmasi positif terpapar virus ini akan meningkat drastis. Karena, physical distancing tidak mungkin lagi dilakukan oleh masyarakat. Orang tanpa gejala (OTG) menjadi ancaman utama. Diperparah masyarakat Kaltim yang cenderung tidak jujur untuk melapor ketika habis melakukan kegiatan atau perjalanan dari luar Kaltim. Seperti kasus klaster yang sampai saat ini masih belum semua terdata. Bukan hanya satu klaster. Tapi, semuanya. Di Kaltim ini kan penyebaran paling besar diakibatkan oleh perjalanan dari luar daerah. Hanya sedikit yang merupakan transmisi lokal. Walaupun ia mengerti, kebijakan ini pasti memikirkan aspek ekonomi. Dalam artian, pemerintah tidak bisa mengelola anggaran. Seperti contoh. Kenapa pemerintah tidak melakukan karantina wilayah sejak awal wabah ini tersebar di Wuhan. Ia berpendapat, kalau pemerintah belum siap untuk memenuhi kebutuhan masyarakat selama diberlakukannya karantina wilayah. Karena itu, pemerintah melihat keluhan masyarakat yang pemerintah tidak bisa penuhi, sehingga aturan ini terpaksa diberikan. “Ini yang tidak bisa. Sebenarnya, kita hanya membutuhkan karantina wilayah selama dua minggu saja, untuk memutus mata rantai penyebaran virus ini. Tapi, ini tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Tandanya, pemerintah kan belum siap,” pungkasnya. (mic/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: