Pengacaranya Suhardi: Yang Bicara Pelapor, Bukan Polda

Pengacaranya Suhardi: Yang Bicara Pelapor, Bukan Polda

Suhardi Hamka saat menunjukkan akta perdamaian. (Andrie/Disway) -- Balikpapan, Diswaykaltim - Pada 2016, Direktur Operasional PT Borneo 86 Suhardi bersama Jamri selaku direktur utamanya berselisih paham. Di internal perusahaannya. Hingga saat ini, perselisihan tersebut tidak berhenti. Sampai pada akhirnya Suhardi menurut keterangan pelapor kepada media, sudah ditetapkan tersangka oleh Polda Kaltim. Kuasa hukum Suhardi angkat bicara. Melalui sambungan telepon, Muhammad Zakir Rasyidin mengatakan, ada yang aneh dengan laporan tersebut. Sebab Polda Kaltim belum pernah mengeluarkan pernyataan apapun tentang kasus ini. Tapi mereka sudah membeberkan ke media tentang status tersangka kliennya. "Pertanyaannya, apakah mereka ingin membunuh karakter klien kami, lewat pemberitaan media tersebut? Biarlah mereka yang menjawab. Saya tidak ingin berspekulasi," ujarnya, Kamis (14/5). Menurut ia, perkara ini murni masalah internal perusahaan. Tentang tuduhan penggelapan dalam jabatan ini. Sudah diselesaikan melalui mekanisme internal perusahaan yaitu dengan cara RUPS. Pelapor selaku direktur utama PT Borneo 86 menerima hasil RUPS tersebut. Beserta laporan keuangannya. "Karena ada selisih paham. Antara klien kami Suhardi dengan pelapor Jamri. Akhirnya pada Februari 2017, Jamri melaporkan klien kami ke Polda Kaltim. Dan laporan tersebut diproses Direktorat Reserse Kriminal Umum," jelasnya. Laporan tersebut tentang dugaan penggelapan dalam jabatan, yang nominalnya Rp 7,5 miliar. Berdasarkan SP2HP yang dikeluarkan Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kaltim tertanggal Oktober 2017, penyelidikan laporan tersebut dihentikan. Dengan alasan bukan tindak pidana. "Di samping itu, ada bukti pendukung lainnya. Yang menjadi dasar. Bahwa perselisihan antara pelapor dan terlapor sudah selesai. Yaitu akta perdamaian tertanggal Februari 2017 dan surat pencabutan laporan tertanggal Agustus 2017," tambahnya. Kliennya menganggap proses tersebut selesai. Maka sesuai dengan poin akta perdamaian yang dibuat Februari 2017 lalu, pelapor Jamri harus mengembalikan saham 20 persen milik kliennya dari PT Borneo 86. Dan fee sebesar Rp 15 juta dari setiap penjualan rumah subsidi. "Namun faktanya, sampai 2019, bukannya dibayarkan atas tagihan tersebut, malah klien kami dilaporkan kembali ke Polda Kaltim. Dengan tuduhan penggelapan dalam jabatan," ujarnya. Objek laporan tersebut, sama dengan objek laporan 2017 lalu. Hanya beda angka. Pada 2017, pelapor melaporkan Rp 7,5 miliar. Sedangkan yang dilaporkan 2019 sebesar Rp 2 miliar. Proses hukum ini berjalan. Dan pada akhirnya kliennya ditetapkan tersangka. Menurut pelapor, dalam konferensi persnya. Bukan dari Polda Kaltim. "Jika info tersebut benar, maka tentu ini menjadi pertanyaan besar dalam proses hukum yang berjalan tersebut. Sebab, bagaimana mungkin laporan yang sudah pernah dihentikan 2017 lalu, kemudian didukung dengan dokumen yang sah. Berupa hasil RUPS. Kemudian akta perdamaian. Dan SP2HP dari Direktorat Reserse Krimum Polda Kaltim. Tapi klien kami dijadikan tersangka," tegasnya. Zakir mengatakan, proses hukum yang ada dinilainya menabrak prinsip hukum berkeadilan. "Patut diduga ini bukan lagi proses hukum untuk menegakkan hukum secara benar. Tapi lebih kepada mencari-cari kesalahan," ujarnya. Untuk itu, atas masalah ini tentu ia akan menghadapinya dengan upaya-upaya yang ada. "Kami lihat saja nanti. Saya yakin di era keterbukaan informasi publik ini, semua proses hukum harus ditegakkan berdasarkan prinsip promoter, profesional, modern dan terpercaya," tutup Zakir. (bom/hdd)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: