Hidup atau Mati

Hidup atau Mati

Oleh: Michael Fredy Yacob* VIRUS corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi virus ini disebut COVID-19. Pada 11 maret 2020 lalu, organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan virus ini menjadi pandemi dunia. Setelah penetapan status tersebut, tiga hari kemudian Kaltim mendapat satu kasus positif. Yaitu perempuan berusia 37 tahun. Dia dirawat di RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda. Tapi, sekarang pasien itu telah sembuh. Saya yakin apa yang ada dibenaknya masyarakat saat itu. Ketika mendengar informasi satu pasien terkonfirmasi positif. Yaitu perasaan cemas. Khawatir. Dan takut. Semua bercampur menjadi satu. Sayangnya, itu perasaan. Kalau es campur pasti enak. Itu juga yang ada dihati dan pikiran saya. Bertepatan dengan pengumuman satu pasien terkonfirmasi positif COVID-19, Gubernur Kaltim Isran Noor pada saat itu langsung menetapkan Kaltim masuk dalam Kejadian Luar Biasa (KLB). Masyarakat pun diminta untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah untuk sementara waktu. Kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun perguruan tinggi diminta dilakukan secara online. Ataupun melaksanakan pembelajaran di rumah. Bagi sekolah yang belum menerapkan sistem online atau daring. Tidak berhenti disitu. Kegiatan peribadatan juga dilakukan di rumah masing-masing. Pekerja swasta dan pegawai negeri juga diminta untuk bekerja di rumah. Tak terkecuali pedagang kaki lima dan pekerja harian. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bersama TNI dan Polri dikerahkan setiap hari untuk melakukan patroli guna menjalankan peraturan tersebut. Sontak perekonomian menjadi lumpuh. Beberapa perusahaan swasta mau tidak mau harus merumahkan karyawannya. Pedagang kaki lima tidak bisa berjualan. Termasuk tukang ojek. Tidak ada penghasilan buat mereka. Saya berada di Samarinda. Ibu Kota Kaltim. Kota ini sangat padat penduduk. Tepian Mahakam yang menjadi tempat nongkrong masyarakat setempat juga ikut sepi. Sejumlah kafe, tempat hiburan malam (THM), tempat bermain billiar ditutup. Bahkan hotel pun sepi. Soal macet sudah menjadi makanan sehari-hari. Tapi usai penetapan aturan tersebut, mendadak Samarinda menjadi sepi. Speedometer kendaraan yang saya gunakan biasanya hanya 40 kilometer per jam, saat itu bisa dua kali lipat kecepatannya. Walaupun masih ada kendaraan yang melintas. Tapi, tidak seramai saat virus ini melanda Bumi Etam ---sebutan untuk Kaltim---. Situasi ini juga dialami oleh DKI Jakarta. Perkembangan virus corona di kota tersebut sangat cepat di Tanah Air. Di Kaltim, kondisi ini tidak bertahan lama. Perkiraan saya hanya dua minggu. Perlahan masyarakat mulai keluar rumah. Mulai memadati kembali jalanan di Samarinda. Entah mereka sudah bosan di dalam rumah. Atau sudah tidak memiliki uang. Sehingga memaksa mereka harus keluar rumah. Mungkin dalam benak mereka saat itu yang menjadi alasan kuat mereka harus keluar rumah ialah, “Lebih baik keluar rumah mencari sesuap nasi untuk keluarga saya. Lebih baik saya sendiri yang mati ketimbang anak istri saya”. Itu asumsi saya. Karena, virus ini bukan lagi ancaman buat diri mereka. Atau mereka berfikir. Pemerintah meminta untuk masyarakat melakukan aktivitas di rumah. Sementara, akses keluar masuk masyarakat di bandara maupun pelabuhan masih terbuka lebar. Pasien terkonfirmasi positif pun mayoritas terjadi dari masyarakat yang datang dari luar daerah. Alhasil, penyebaran virus ini perlahan tapi pasti sudah menyebar keseluruh kabupaten/kota di Kaltim. Tinggal Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) yang belum terdapat kasus terkonfirmasi positif. Kian hari, virus ini terus bertambah. Terakhir, Minggu (19/4/2020) lalu. Terdapat 59 kasus terkonfirmasi positif. Baru Balikpapan yang ditetapkan sebagai transmisi lokal. Delapan kabupaten/kota yang terdampak sampai saat ini merupakan kiriman dari luar daerah. Saya berfikir karena itu masyarakat Samarinda sekarang sudah mulai memberanikan diri untuk beraktivitas keluar rumah. Terutama para pedagang. Satu persatu pedagang kecil kaki lima mulai berjualan. Walau pun dengan dalil jaga jarak. Sebagian besar masyarakat mulai tidak peduli dengan kondisi pandemi ini. Walaupun imbauan untuk tidak keluar rumah selalu digaungkan pemerintah provinsi. Pemerintah memang dinilai lamban mengambil keputusan. Pasalnya, kurang lebih sebulan barulah Pemprov mengambil langkah untuk memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak di Bumi Etam. Kalimat Hidup segan, mati pun tak mau sudah pasti dirasakan oleh masyarakat kecil. Apalagi mereka yang baru mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Setelah ada keputusan bersama yang diambil oleh Kementerian Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Republik Indonesia (RI). Untuk memangkas anggaran belanja. Barulah, pemprov mengucurkan anggaran untuk penanganan dampak ekonomi dan jaring pengaman sosial. Kalau saja keputusan itu tidak keluar, bisa saja, sampai saat ini tidak ada kebijakan apapun yang diberikan oleh pemerintah. Dari hasil pemotongan tersebut terkumpul anggaran sebesar Rp 388 miliar. Nominal tersebut tidak termasuk dengan anggaran yang disiapkan pemerintah kabupaten/kota. Maupun, bantuan dari pemerintah pusat. Terlebih, pemerintah pusat saat ini sudah mengeluarkan kartu prakerja untuk masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Anggaran itu didapat dari pemotongan setiap anggaran pembelanjaan organisasi perangkat daerah (OPD) tingkat satu. Sesuai dengan instruksi Presiden Repoblik Indonesia Joko Widodo. Tapi, angka tadi, diprediksi hanya persediaan tiga bulan mendatang. Pemerintah sudah mempersiapkan tambahan anggaran ketika pandemi ini berkepanjangan terjadi di Kaltim. Kendati demikian, saya sih berharap penyebaran virus ini cepat berakhir. Sehingga, aktivitas dapat kembali normal. *penulis adalah reporter Disway Kaltim

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: