Infodemik COVID-19 dan Komunikasi Publik
OLEH: IMRAN DUSE Pandemi Cornavirus Disease 2019 (COVID-19) semakin merebak. Hampir seluruh bangsa telah melaporkan adanya transmisi. Di Indonesia, hanya dalam waktu 34 hari setelah Presiden Jokowi mengumumkan kasus positif pertama, terjadi lonjakan yang cukup signifikan. Jumlah kasus positif terinfeksi menjadi 2.273. Dengan jumlah kematian 198 dan yang sembuh 164 (covid19.go.id. Diakses 5 April pukul 18.00 Wita). Angka-angka tersebut menunjukkan tingkat keseriusan pandemi. Sekaligus juga sinyal penting untuk menggalang kerja sama semua pihak dalam ‘orkestra’ penanggulangan wabah COVID-19 secara serius, koheren, dan terpadu. Hal ini karena COVID-19 tidak hanya menyasar masalah kesehatan warga negara. Tetapi juga sudah mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Aromanya sudah merasuki dimensi-dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Dalam kaitan itu, nyaris semua media mainstream--apalagi media sosial--juga memberi perhatian besar dalam peliputan. Baik aspek klinis maupun epidemiologi wabah. Tak sedikit di antara informasi di media sosial adalah hoaks. Ini menambah beban penanganan COVID-19. Di saat semua elemen bangsa hendaknya bersatu padu, informasi hoaks justru menjadi “virus” yang mendegradasi upaya penanganan itu sendiri. Penolakan masyarakat atas pemakaman jenazah pasien COVID-19 di sejumlah daerah mencerminkan hal tersebut. Sungguh miris dan memukul rasa kemanusiaan kita. Bahkan di sebuah sudut negeri ini, ada jenazah yang sampai empat kali berpindah karena adanya penolakan. Kenapa hal ini bisa terjadi? Bukankah kita dikenal sebagai masyarakat terbuka, egaliter, dan senantiasa mengedepankan kerja sama dan gotong royong? *** Salah satu alasan yang mengemuka ialah asumsi jenazah dapat menularkan virus dan berpotensi menyebarkan wabah di sekitar lokasi pemakaman. Tentu saja keliru. Sejumlah ahli telah menjelaskan. Juga ustadz dan ulama telah menguraikan keutamaan mengurus jenazah hingga pemakaman. Tetapi toh tidak serta-merta membuat masyarakat berpaling. Mereka terlanjur menerima hoaks. Jenisnya bisa berupa disinformasi. Yakni penyampaian informasi yang salah dan dilakukan dengan sengaja untuk membingungkan masyarakat. Bisa juga misinformasi: penyampaian informasi dengan tujuan yang baik. Tapi yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa informasi itu keliru. Dengan kemudahan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini, hoaks hadir bersahut-sahutan menggedor layar kesadaran publik. Tanpa mengenal ruang dan waktu. Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mencatat, sedikitnya 232 hoaks sudah ditangkal. Jika jumlah yang ditangkal saja sedemikian besar, maka lebih banyak lagi yang masih beredar di media sosial. Tentu bukan hanya kasus Indonesia. Seluruh dunia mengalaminya. Khususnya di negara-negara yang terpapar COVID-19 dalam jumlah besar. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut informasi yang menyesatkan itu lebih berbahaya dari pandemi. Badan PBB itu memperkenalkan istilah infodemik untuk menggambarkan derasnya arus gelombang informasi berlebihan dan menyesatkan terkait wabah COVID-19. Menurut WHO, infodemik dapat menghambat respons, menciptakan kebingungan dan ketidakpercayaan di masyarakat. Sehingga di tengah pemberlakukan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), penyebaran misinformasi, disinformasi, dan hoaks akan sangat kontraproduktif. Ini akan menyulitkan identifikasi masalah dan mendegradasi langkah-langkah penanganan COVID-19. Menghadapi realitas ini, pemerintah perlu melakukan perbaikan atas tata kelola komunikasi publik penanganan wabah. Mesti ada terobosan baru untuk memastikan standar penanganan COVID-19 dilaksanakan dengan efektif. Penolakan jenazah pasien COVID-19 di berbagai daerah merupakan sinyal penting untuk melakukan evaluasi tersebut. Apalagi jika mempertimbangkan pemodelan matematis yang dikemukakan sejumlah ahli. Diperkirakan puncak pandemi masih sekitar satu hingga dua bulan lagi. Penanganan terpadu dan koheren sangat dibutuhkan. Baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota maupun dengan masyarakat. Langkah penanganan akan berjalan baik jika ada komunikasi publik yang efektif dari pemerintah. *** Dalam upaya penanganan pandemi, Anthony de Mello (1997) mengingatkan, jumlah korban bisa menjadi lima kali lipat apabila terjadi kepanikan. Dengan kata lain, jika terdapat seribu kematian akibat wabah, maka akan ada empat ribu kematian akibat kepanikan. Pendapat Mello ini juga menjadi salah satu rujukan dalam protokol komunikasi publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Ada dua tujuan yang ingin dicapai. Pertama, menciptakan masyarakat yang tenang dan paham apa yang harus dilakukan. Kedua, membangun persepsi masyarakat bahwa negara hadir dan tanggap dalam mengendalikan situasi krisis (covid19.kemkes.go.id). Tujuan itu akan tercapai sekiranya terbangun persepsi publik bahwa pemerintah mampu menangani masalah. Masyarakat akan tenang bila yakin pemerintah terbuka. Menutup informasi dengan maksud menghadirkan sikap tenang di tengah masyarakat justru hanya melahirkan rasa penasaran dan berpotensi menimbulkan sikap tidak tenang. Dalam isu mudik misalnya. Perbedaan pendapat pejabat pemerintah di ruang publik telah mendestruksi upaya penanganan yang sedang dilakukan. Demikian juga dengan respons daerah yang tak jarang berbeda. Termasuk dengan pemerintah pusat. Hal tersebut setidaknya dapat kita simak dalam teleconferensi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Saat ini kita membutuhkan kesatuan gerak, pemerintah pusat dan daerah, juga pemerintah dan masyarakat, termasuk tokoh agama dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam kaitan itu, kita menyampaikan dua hal. Pertama, memaksimalkan konferensi pers yang setiap hari digelar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Tidak melulu juru bicara menyampaikan hal yang relatif sama--kecuali angka kasus bertambah. Ruang ini kiranya dimanfaatkan pejabat negara dan tokoh publik. Termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk memberikan pesan kuat kepada publik. Bahwa kita sebagai sebuah bangsa tetap bersatu dan mampu mengatasi outbreak ini. Karena saat ini bukan lagi hanya penanganan klinis. Melainkan juga epidemiologi dan stabilitas sosial. Kedua, SMS Gateaway sebagai salah satu kanal untuk menjangkau publik oleh tiga sender: BNPB, Gugus Tugas, dan Kominfo, tampaknya kurang efektif. Sebagai contoh, penulis mendapat SMS ini dari Gugus Tugas: “Dianjurkan memakai masker bila bertemu dgn orang dan di tempat umum karena 25% yang positif corona tanpa gejala dan mereka dapat menularkannya.” (diterima pada 2 April 2020 pukul 12.15 Wita). Bukankah presiden telah menetapkan status PSBB? Bukankah masker sangat langka di pasaran? Lain halnya bila pesan pendek itu dikirim pada 2 Maret 2020. Mungkin masih relevan. Masyarakat, terutama kaum milenial, lebih banyak menggunakan media sosial dalam berkomunikasi. Terutama WhatsApp. Sebuah survei menunjukkan peningkatan 40 persen penggunaan WhatsApp saat awal pandemi dan mencapai 51 persen di fase pandemi (liputan6.com. Diakses 4 April pukul 02.00 Wita). Pemerintah sebenarnya sudah menyediakan akun chatbot WhatsApp COVID-19 yang diluncurkan pada 20 Maret. Namun sampai saat ini, chatbot WhatsApp COVID-19 hanya memberikan informasi berdasarkan tujuh opsi pertanyaan yang tersedia. Antara lain kabar COVID-19 terkini di Indonesia, sebenarnya apa sih COVID-19 itu, atau soal rumah sakit rujukan COVID-19. Karena itu, perlu dioptimalkan menjadi saluran komunikasi publik yang efektif. Berbagai kebijakan pemerintah, termasuk juga sejumlah fatwa MUI, kiranya dapat disebarkan ke masyarakat secara masif melalui WhatsApp COVID-19 tersebut. Sehingga infodemik yang saat ini membanjiri media sosial dapat dihalau dan dinetralisasi melalui diseminasi informasi yang menjangkau khalayak secara efektif. Barangkali itu! (*Sekretaris Forum Kebangsaan dan mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalimantan Timur)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: