Fatwa MUI sebagai Informasi Serta-Merta
OLEH: IMRAN DUSE* Ancaman Pandemik Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) semakin mengkhawatirkan saja. Seluruh dunia diharapkan membangun kolaborasi internasional. Mengingat pandemik ini sudah menjadi ancaman bagi kemanusiaan global. Berdasarkan data Worldometer, jumlah kasus yang sudah terinfeksi COVID-19 sebanyak 536.373 orang. Dengan jumlah kematian 24.112 dan yang sembuh 124.394 orang. Transmisi COVID-19 sudah menyebar hingga ke 199 negara (worldometers.info/coronacirus, diakses 27 Maret pukul 16.30 Wita). Indonesia sudah mencatatkan jumlah kasus positif terinfeksi COVID-19 sebanyak 893 orang. Dengan jumlah kematian 78 orang dan yang sembuh 35 orang (covid19.go.id). Terkait upaya penanganan pandemik, Anthony de Mello (1997) mengingatkan bahwa jumlah korban bisa lima kali lipat apabila terjadi kepanikan. Dengan kata lain, jika terdapat seribu kematian akibat wabah, maka akan ada empat ribu kematian akibat kepanikan. Pendapat Mello ini juga menjadi salah satu rujukan dalam protokol komunikasi publik Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. Karena itu, faktor komunikasi menjadi amat penting. Komunikasi yang efektif diperlukan dalam membangun kepercayaan publik agar penanganan berjalan sesuai yang diharapkan. Juga untuk menghindari kepanikan yang justru kontraproduktif dengan upaya penanganan itu sendiri. Tulisan singkat berikut bermaksud melihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait penanganan COVID-19 dalam perspektif komunikasi publik. Sebagai negeri dengan penduduk muslim tersebar, Fatwa MUI tersebut sangat vital dalam menciptakan ketenangan di tengah-tengah masyarakat. Khususnya dalam menjalankan ibadah bagi kaum muslimin di Tanah Air. Fatwa MUI Untuk kedua kalinya, MUI kembali mengeluarkan fatwa. Kali ini tentang kaifiat (tata cara) melaksanakan salat bagi tenaga kesehatan yang menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) saat merawat pasien COVID-19. Fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2020 itu dirilis hari Jumat (26/3) dan memberikan landasan hukum bagi tenaga medis (muslim) yang bertugas sebagai pejuang kemanusiaan penanganan COVID-19. Beberapa hari sebelumnya, Wapres Ma’ruf Amin secara terbuka telah mengusulkan hal ini. Setelah melihat kondisi obyektif adanya kendala-kendala teknis yang dihadapi oleh tenaga kesehatan di garis terdepan penanganan COVID-19. Saat itu, berbagai silang pendapat sudah muncul dalam perbincangan publik. Terutama melalui media sosial. Sepuluh hari sebelumnya, Senin (16/3), MUI juga merilis Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah. Fatwa ini oleh banyak pihak dipandang sangat kontributif terhadap upaya menghalau penyebaran wabah. Berdasarkan pengalaman sejumlah negara yang lebih dahulu terkena wabah, banyak menyebar melalui kerumunan orang. Tetapi kemudian muncul pro dan kontra. Fatwa ini tidak lagi dipahami sebagai respons terhadap kondisi yang tidak normal. Respons tersebut tentunya bersumber dan berdasarkan dalil-dalil Alquran dan Hadis serta kaidah-kaidah ushul fiqh yang ketat. Kita percaya dan yakin akan otoritas keilmuan ulama kita. Pro kontra itu lebih disebabkan oleh pemahaman secara parsial atas fatwa tersebut. Tidak sedikit bahkan hanya mengambil narasi sebatas “larangan salat Jumat” atau “salat Jumat diganti salat zuhur”. Bahkan sampai hari ini, setelah lebih sepekan, perbincangan seputar itu masih ramai di media sosial. Khususnya di sejumlah grup WA. Kenapa hal ini bisa terjadi? Mungkin salah satu penyebabnya tidak tersedianya dokumen primer fatwa tersebut. Sampai tulisan ini dibuat, penulis masih mengalami kesulitan menemukan salinan fatwa tersebut saat browsing di internet. Di berbagai website yang menjadi rujukan dalam penanganan COVID-19 (misalnya covid19.go.id yang menjadi kanal resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19) dokumen tersebut tidak tersedia. Bahkan di portal MUI, salinan fatwa tersebut sebagai dokumen primer tidak (atau, belum) tersedia (mui.or.id, diakses 27/3, pukul 17.00 Wita). Padahal dokumen seperti ini sangatlah penting untuk melihat latar belakang dan sumber serta dalil-dalil yang digunakan dalam merumuskan fatwa. Karena publik kesulitan mengakses dokumen primer, percakapan di ruang publik mengambil sumber dari dokumen sekunder atau bahkan tersier. Informasi Serta-Merta Penulis mendapatkan salinan fatwa setebal sepuluh halaman tersebut atas jasa baik seorang kawan jurnalis. Fatwa ini adalah Ijma’ Ulama dalam menetapkan hukum terkait ibadah dalam kondisi wabah COVID-19. Sangat lengkap dan “kuat”. Hemat saya, sekiranya sejak awal salinan ini bisa beredar secara utuh, mungkin tensi diskusi di media sosial dapat berkurang dan masyarakat dapat memahami secara komprehensif. Apalagi, jika mengikuti permintaan Wapres Ma’ruf Amin, MUI saat ini sedang membahas fatwa tentang mengurusi jenazah penderita COVID-19. Kita berharap, semua salinan fatwa yang telah dan akan dikeluarkan MUI dapat segera disediakan. Sehingga bisa diakses oleh publik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), fatwa MUI tersebut dapat dikategorikan sebagai informasi publik yang bersifat serta-merta. Sebagai badan publik, MUI memiliki kewajiban tidak saja mengumumkan dan menyediakan informasi itu, tetapi juga memberikan kemudahan akses kepada publik. Bahkan, UU KIP pun mengatur agar akses publik bisa dilaksanakan dengan cepat dan tepat waktu, biaya murah, dan cara sederhana. Pasal 10 ayat (1) UU KIP mengatur tentang kewajiban badan publik wajib untuk “mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum”. Sementara di ayat (2) disebutkan bahwa “kewajiban menyebarluaskan informasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dalam bahasa yang mudah dipahami”. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini mestinya memudahkan badan public menunaikan kewajiban tersebut. Apalagi dalam keadaan bencana nasional saat ini. Diseminasi informasi yang terkait dengan upaya penanganan bencana semestinya dilakukan dengan masif. Sehingga masyarakat mendapat edukasi dan bisa bergerak secara terpadu dengan semua elemen bangsa. Selain itu, ketersediaan dan kemudahaan akses terhadap informasi primer--seperti fatwa MUI--menjadi urgen dalam situasi kita hari-hari ini. Informasi tersebut sekaligus juga untuk menangkal disinformasi dan berita hoaks yang entah kenapa masih saja ada yang gemar menyebarkannya. Barangkali itu! (*Sekretaris Forum Kebangsaan dan mantan Ketua KPID Kaltim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: