Keterbukaan Data Pasien Wabah COVID-19
OLEH: IMRAN DUSE* Dua pekan terakhir, beragam informasi seputar wabah Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) secara beruntun datang menerpa layar kesadaran kita. Tak sedikit di antaranya hoaks. Portal resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mencatat sedikitnya 160 berita hoaks yang ditangkal, Senin (23/3). Sikap cepat dan tegas Polri yang telah menjerat sedikitnya 30 tersangka penyebar hoaks patut diapresiasi. Di tengah situasi bencana nasional saat ini, informasi tak bertanggung jawab hanya akan menambah kecemasan di tengah wabah yang tak kunjung berakhir ini. Selain aspek penegakan hukum, tata kelola informasi dan komunikasi dari pemerintah kiranya juga mendapat perhatian. Transparansi, tingkat akurasi dan kecepatan informasi, cara yang mudah dijangkau dan bahasa yang mudah dipahami publik, adalah aspek-aspek yang sepatutnya hadir dalam upaya penanganan wabah COVID-19. Salah satu yang belakangan menjadi pembicaraan ialah terkait boleh tidaknya data pasien COVID-19 dibuka ke publik. Sejumlah kalangan melihat urgensi membuka data pasien sebagai bagian dari upaya memutus mata rantai penyebaran virus. Sementara yang lain berpendapat hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Bencana Nasional Disadari sepenuhnya, bahwa rezim pengaturan keterbukaan informasi publik dewasa ini memang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Orde Baru, paradigmanya adalah semua informasi bersifat tertutup (dirahasiakan). Kecuali informasi yang dibuka. Tapi setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), maka paradigma itu bergeser menjadi semua informasi bersifat terbuka. Kecuali yang dikecualikan. Dalam UU KIP, setidaknya ada 10 kategori informasi yang dikecualikan. Salah satunya tentang riwayat pengobatan seseorang (rahasia pribadi). Dalam Pasal 17 huruf (h) UU KIP dijelaskan, informasi yang dikecualikan ialah informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat mengungkap rahasia pribadi. Dalam hal ini tentang riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang. Inilah alasan pemerintah tidak (atau belum) membuka informasi mengenai data pasien COVID-19. Pertimbangan lainnya, sebagaimana bisa kita ikuti melalui sejumlah media, ialah kekhawatiran munculnya kepanikan di tengah masyarakat sebagai akibat dibukanya informasi tersebut. Karena itu, ketika wali kota Depok membuka informasi lokasi pasien yang termasuk pertama kali terindikasi positif COVID-19 di awal Maret 2020, spontan mendapat reaksi dari berbagai pihak. Hemat saya, ini bisa dipahami. Mengingat hal tersebut tidak sejalan dengan UU KIP. Saat itu merupakan situasi awal ditemukannya pasien positif COVID-19. Sekarang, setelah hampir tiga pekan, situasi dan tantangan yang kita hadapi jauh berbeda. Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 Achmad Yurianto, dalam konferensi pers pada 22 Maret, menyebutkan total pasien positif COVID-19 berjumlah 514 orang. Total yang meninggal 48 orang. Sementara yang sembuh 29 orang. Bandingkan dengan data pada 19 Maret. Terdapat 309 kasus positif COVID-19. Sebanyak 25 orang meninggal. Lonjakan angka-angka itu sangat signifikan. Beberapa hari sebelum itu, pemerintah juga sudah menetapkan keadaan saat ini sebagai bencana nasional. Diumumkan oleh Presiden Joko Widodo, Sabtu (14/3). Status darurat bencana akibat COVID-19 pun diperpanjang hingga 29 Mei 2020. Sehingga menjadi 91 hari. Informasi Dikecualikan Dengan melihat perkembangan tersebut, sejumlah pihak kembali mendorong agar data pasien COVID-19 dibuka. Jalan ini penting ditimbang demi mengurangi dampak penyebaran wabah. Hal tersebut disuarakan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam konferensi pers pada 16 Maret. Menurut Ketua Umum PB IDI Daeng Mohammad Faqih, pembukaan data pasien positif COVID-19 itu perlu dilakukan demi memudahkan penelusuran kontak pasien dan memprediksi penyebaran virus serta upaya pencegahannya. Menurut Daeng, data itu cukup berupa nama dan alamat. Tanpa harus menyertakan riwayat medik. Sebab yang ingin ditelusuri dari situ ialah peta tentang kemungkinan penyebaran virus. Sehingga dapat diantisipasi lebih awal. Pendapat senada juga dikemukakan Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Hendra J. Kede. Menurutnya, dengan alasan untuk kepentingan umum, informasi tentang data pasien--terbatas pada nama dan alamat--dapat dibuka ke publik. Ia juga menyatakan, dalam UU KIP memang ada pengecualian permintaan terkait riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan fisik, dan psikis seeorang. Namun hal itu hanya berlaku dalam kondisi normal. Hendra justru menyarankan pemerintah menggunakan Pasal 10 UU KIP untuk memberikan informasi terkait pasien dalam kasus pandemi, yang menyatakan, “Badan publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.” Bahkan di ayat (2) pun diatur agar disampaikan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Dengan bahasa yang mudah dipahami. Pendapat berbeda dikemukakan Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Gede Narayana. Menurutnya, informasi publik yang berisi informasi pribadi dan rekam medik terkait COVID-19 terhadap Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), suspect, pasien positif COVID-19 dan mereka yang sembuh adalah informasi dikecualikan yang bersifat ketat dan terbatas. Keterbukaan Data Pasien Di tengah perbedaan pendapat ini, kita tentu percaya pemerintah akan mengambil keputusan yang sebaik-baiknya dengan mengutamakan kepentingan warga negara dan bangsa. Sebagai bahan pertimbangan, dapat kita sampaikan sejumlah hal. Pertama, situasi saat ini bukanlah situasi normal. Statusnya sudah jelas disampaikan Presiden Joko Widodo: bencana nasional. Dalam keadaan demikian, maka tentu saja kaidah-kaidah yang berlaku dalam kondisi normal tidak sepenuhnya dapat diberlakukan. Buktinya, masyarakat sudah diminta lebih banyak di rumah, sekolah-sekolah “diliburkan”, begitu juga dengan perkantoran. Semua energi bangsa hendaknya difokuskan untuk menangani dan memutus mata rantai penyebaran virus ini. Ini ibarat perlombaan antara kecepatan penyebaran virus corona dengan kecepatan penanganannya. Kita sebagai bangsa akan memenangkan perlombaan ini, sekiranya semua pihak berada dalam barisan yang sama, dengan satu komando yang sama, untuk tujuan bersama. Kedua, informasi mengenai data pasien--dalam hal ini terbatas pada informasi nama dan alamat, bukan riwayat medik dan pengobatan--menjadi salah satu informasi penting dalam memetakan pola penyebaran COVID-19. Sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah yang efektif untuk memutus mata rantai penyebarannya. Bagi masyarakat, informasi ini juga menjadi penting guna meningkatkan kewaspadaan serta berpartisipasi secara aktif untuk mengurangi risiko dan kemungkinan penyebaran COVID-19. Pemerintah dapat menggunakan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai payung hukum untuk membuka data pasien tersebut. Dalam Pasal 57 ayat (2) disebutkan, “Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: perintah undang-undang; perintah pengadilan; izin yang bersangkutan; kepentingan masyarakat; atau kepentingan orang tersebut.” Bahkan, dengan UU KIP sesungguhnya juga memberi peluang untuk membuka informasi data pasien. Syaratnya, mendapatkan persetujuan pasien yang bersangkutan. Pemerintah melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 tentulah dapat melakukan pendekatan tertentu kepada pasien. Sehingga berkenan membuka informasi bersangkutan--terbatas pada nama dan alamat. Dalam kaitan ini, inisiatif Wali Kota Bogor Bima Arya yang mengumumkan ke publik atas kondisinya yang positif COVID-19 dan mengisolasi diri, oleh banyak kalangan justru disambut dengan penuh empati. Bahkan Mendagri Tito Karnavian secara khusus menyampaikan apresiasi dan simpatinya melalui keterangan tertulis. Terpapar COVID-19 memang bukanlah sebuah aib. Demikian juga mengumumkannya ke publik. Justru dengan cara itu dapat mengurangi tingkat penyebaran dan secara cepat dapat dideteksi contact tracking-nya. Wallahu a’lam bisshawab. (*Sekretaris Forum Kebangsaan dan Mantan Ketua KPID Kaltim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: