Disharmoni Pemerintah di Tengah Wabah Corona

Disharmoni Pemerintah di Tengah Wabah Corona

OLEH: ADITYA P. SUPRIYADI* Virus corona saat ini benar-benar mengancam dunia. Bernama lengkap Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Penularan virus ini pertama kali terjadi di Wuhan. Salah satu kota di Tiongkok. Kemudian penyebarannya sangat masif hingga membuat negara-negara resah. Diperkirakan saat ini jumlah yang terinfeksi positif corona sekitar 162.687 orang: 75.620 telah sembuh dan 6.065 meninggal (Kompas: 2020). Indonesia mengalami nasib yang sama seperti negara lain. Hal ini disebabkan virus corona telah menjangkiti warga Indonesia. Pertama kali warga yang terjangkit sebanyak dua orang. Berasal dari Depok. Terpapar virus pada 2 Maret 2020. Setelah itu, penyebaran corona di Indonesia sangatlah masif. Tiga minggu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan warga Indonesia pertama yang terinfeksi corona. Saat ini korban di Indonesia yang diduga terinfeksi corona berjumlah 134 orang, lima orang meninggal dunia, dan delapan orang sembuh (CNN Indonesia: 2020). Masifnya penularan tersebut tentu membuat gaduh masyarakat. Karena menimbulkan rasa waswas ketika beraktivitas di luar. Di tengah wabah corona yang melanda Indonesia, muncul dorongan untuk dilakukan lock down. Muncul spekulasi di masyarakat, pemerintah didesak untuk segera menetapkan kebijakan lock down seperti di beberapa negara. Lock down memiliki makna menutup akses keluar masuk di negara. Beberapa negara dunia saat saat ini telah menerapkan lock down untuk menanggulangi virus corona (Liputan 6: 2020). Pemerintah memiliki sikap lain terkait spekulasi penerapan lock down di Indonesia. Presiden Jokowi menilai saat ini belum perlu melakukan lock down. Jokowi juga melarang daerah menerapkan lock down. Karena kewenangan itu berada di tangan presiden. Presiden justru mengimbau masyarakat agar tidak panik atas merebaknya wabah corona. Presiden mengingatkan warga untuk bekerja serta beribadah di rumah. Berbeda dengan presiden, beberapa kepala daerah di Indonesia memiliki sikap yang bertolak belakang. Salah satunya Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Anies menilai lock down perlu dilakukan di Jakarta. Ia menutup kedatangan orang ke Jakarta maupun kegiatan orang keluar Jakarta (Kompas: 2020). Anies mengambil langkah social distancing (pembatasan aktivitas). Dengan menutup beberapa tempat wisata di Jakarta. Selain itu, ia juga membatasi aktivitas transportasi umum di Jakarta serta meliburkan sekolah. Tujuannya sebagai langkah pencegahan wabah corona. Selain DKI Jakarta, Pemerintah Kota Malang mengambil langkah serius untuk menanggulangi corona. Walikota Malang Sutiaji menerapkan lock down di kota tersebut. Walaupun presiden sudah melarang daerah melakukan lock down, Pemerintah Kota Malang tetap mengambil langkah tersebut. Hal ini dinilai sebagai upaya pencegahan corona (CNBC Indonesia: 2020). Gubernur Kaltim Isran Noor juga tidak ingin ketinggalan mencegah penyebaran corona. Dalam rapat koordinasi, gubernur menetapkan local lock down di wilayah Kaltim. Ia mengeluarkan kebijakan pembatasan aktivitas. Isran tidak merinci maksud local lock down. Istilah tersebut dianggap tidak berbeda dengan social distancing. Terlepas dari perdebatan tersebut, kebijakan yang diambil gubernur Kaltim itu adalah langkah yang serius dalam menghadapi ancaman corona yang sedang melanda Indonesia. Perbedaan sikap antara presiden dan sejumlah kepala daerah itu membuktikan disharmoni (ketidakselaraan) antar kepemimpinan. Sinergitas kepemimpinan sangat kurang. Seharusnya di saat genting seperti ini, dibutuhkan kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Koordinasi sangat diperlukan antar pemimpin dalam rangka menanggulangi dan memerangi virus corona. Agar tidak tertular secara masif di masyarakat Indonesia. *** Perlukah lock down diterapkan di Indonesia? Kewenangan lock down saat ini memang berada di tangan pemerintah pusat. Untuk menerapkan lock down, harus mempertimbangkan fakta, data dan aturan hukum yang berlaku. Agar keputusan tersebut tepat sasaran. Penularan virus corona di Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Walaupun data warga Indonesia yang terinfeksi positif tidak sebanyak negara-negara lain yang mencapai ribuan, bukan berarti situasi di Indonesia aman. Penularan yang sangat masif sejak minggu ini dan kurang maksimalnya negara mengambil keputusan dalam penanganan corona menjadi indikasi bahwa ancaman virus corona berpotensi membahayakan masyarakat secara nasional. Hal tersebut bisa menjadi pertimbangan Indonesia menerapkan lock down. Sebagai langkah serius terhadap perlawanan dan penanganan corona. Ketika lock down benar-benar dilakukan di Indonesia, maka akan berdampak ke banyak sektor. Hal ini yang harus diterima oleh pemerintah dan masyarakat. Dampak pertama, pembatasan aktivitas masyarakat dan negara. Baik dalam negeri maupun luar negeri. Dampaknya, akan menurunkan tingkat ekonomi, sosial dan lain-lain. Karena aktivitas negara sangat dibatasi dan diutamakan penanganan medis. Baik segi pencegahan maupun penindakan. Kedua, lock down akan berdampak terhadap status darurat bencana nasional. Imbas dari penetapan bencana secara nasional tentu negara akan mengeluarkan anggaran dana siap pakai sebesar Rp 4 triliun. Apakah lock down perlu diterapkan secara nasional atau lock down hanya diterapkan di beberapa daerah di Indonesia? Sebenarnya kita bisa belajar penerapan lock down dari Tiongkok. Dalam mengatasi corona, beberapa wilayah di negara itu di-lock down. Dengan cara menutup akses kedatangan dan kepergian di beberapa wilayah di Tiongkok. *** Fakta soal wabah corona di Indonesia menjadi alasan bahwa lock down tidak perlu diterapkan secara nasional. Namun, opsi lock down di beberapa daerah di Indonesia seperti di Tiongkok, bisa dipilih untuk diterapkan dalam mencegah penularan corona. Karena warga yang dinyatakan positif corona hanya terdapat di beberapa daerah. Maka lock down seharusya cukup diterapkan di daerah-daerah yang sedang terpapar corona. Penetapan lock down oleh pemerintah daerah tidak bisa dilakukan dengan inisiatif sendiri. Berdasarkan Pasal 5  Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Karantinaan Kesehatan, kewenangan utama penentuan karantina kesehatan (istilah lain dari lockdown) adalah milik pusat. Pemerintah daerah dapat dilibatkan oleh pemerintah pusat. Pasal tersebut tidak boleh ditafsirkan bahwa kedudukan kepala daerah bersifat pasif. Akan tetapi kedudukan pemerintah daerah harus dimaknai aktif. Dalam arti bisa menginisiasi dan mempertimbangkan perlu atau tidaknya penerapan lock down. Sehingga makna pasal tersebut tidak diartikan pelibatan pemerintah daerah harus menunggu instruksi pemerintah pusat terlebih dahulu. Alur penetapan lock down berasal dari kepala daerah. Kemudian ditetapkan oleh pemerintah pusat. Tujuannya agar penetapan lock down bisa segera diputuskan. Ketika keputusan lock down bisa diambil lebih cepat, maka dapat menghadang penyebaran virus corona. Langkah ini untuk mencegah terjadinya disharmonisasi dan meningkatkan sinergitas antar pemimpin dalam menanggulangi corona. Ketika daerah sudah mengalami ancaman yang sangat kompleks, maka kepala daerah bisa memberikan pertimbangan penetapan lock down. Yang penting adalah pemerintah memiliki pertimbangan yang tepat dan matang agar tidak terjadi kerugian di masyarakat. Penulis berpendapat, tersedia ruang hukum yang menjadi dasar pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk aktif memberikan pertimbangan lock down daerahnya masing-masing. Tanpa perlu instruksi dari pemerintah pusat. Tujuanmya untuk kepentingan rakyat. Kerja sama yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan menciptakan tindakan yang maksimal. Harapan rakyat adalah ancaman virus corona segera dihadang. Karena akibat virus corona ini, ruang lingkup kehidupan masyarakat Indonesia menjadi terbatas. (qn/*Alumni Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: