Trump, Corona Versus Influenza

Trump, Corona Versus Influenza

Coronavirus baru yang dinamai COVID-19 adalah sejenis influenza. Presiden Amerika Serikat Donald Trump penasaran. Apakah obat flu bisa menanggulangi serangan COVID-19? --------------------- SEBUAH video YouTube yang menayangkan dialog antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan ahli farmasi AS, menarik untuk dicermati. Pada video singkat yang bertajuk “Trump believes The Flu Vaccine can defend against coronavirus” itu, mungkin juga menjadi pertanyaan banyak orang. Pada dialog singkat tersebut, Trump percaya jika obat influenza bisa menahan dari serangan virus corona. Dasarnya sama-sama penyakit flu. Dengan gejala yang mirip-mirip. Ketika itu ahli farmasinya menjawab; tidak. Obat flu biasa tidak bisa menahan serangan coronavirus. Dalam beberapa cuplikan video tersebut, Trump tidak begitu peduli dengan virus corona. Justru dia lebih takut dengan influenza. Bukan tanpa alasan. Tahun lalu, kata Trump, di Amerika Serikat ada sekitar 7000-an orang meninggal lantaran flu biasa. Sementara suspect corona baru sekitar 500-an. “Jadi untuk apa terlalu dikhawatirkan,” ujarnya. Kendati demikian, mengutip dari catatan harian Dahlan Iskan dari sumber di Gedung Putih, Trump saat ini lebih sering mencuci tangan. Perdebatan yang sama juga terjadi di Indonesia. Juru bicara pemerintah soal penanganan virus corona, Achmad Yurianto, di COVID-19 Media Center, Gedung Bina Graha, Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, Kamis (5/3/) lalu juga menyebutkan jika Indonesia menyikapi COVID-19 sama dengan menyikapi influenza. "Covid-19 itu juga influenza. Mestinya kita juga menyikapi seperti itu. Tidak perlu ditambah dengan kepanikan-kepanikan yang tidak perlu," kata Achmad Yurianto kepada para wartawan. Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Sesditjen P2P Kemenkes) ini juga menjelaskan perihal MERS dan SARS. Menurutnya masih merupakan keluarga coronavirus. Semua jenis virus itu disebutnya sebagai keluarga besar influenza. "Bertahun-tahun kita berhadapan dengan influenza dan benar sudah respons kita," kata Yurianto, seperti dilansir detik. Dia menilai masyarakat sudah punya pola pikir yang baik untuk menyikapi orang yang sakit flu. Pengidap flu memakai masker dan disuruh tidur di tempat yang terpisah. Dengan pengalaman Indonesia menghadapi flu, maka Indonesia juga bisa menghadapi COVID-19 dengan baik. Toh pasien Corona juga banyak yang sembuh sendiri. "Apalagi jelas sekarang 50 persen lebih sembuh sendiri dan menjadi baik," kata Yurianto. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto juga sempat menyebutkan bahwa angka kematian akibat flu lebih tinggi dibanding virus corona. Konteksnya adalah keheranan Terawan mengenai hebohnya publik terhadap Corona.  Padahal flu dinilainya lebih mematikan. "Padahal flu batuk-pilek yang biasa terjadi pada kita itu angka kematiannya lebih tinggi daripada yang ini, Corona. Tapi kenapa ini bisa hebohnya luar biasa?" ujar Terawan di Kantor Kementerian Kesehatan, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (2/3). Berbeda dengan Dirjen Badan Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus. Menurutnya antara corona dan influenza terdapat perbedaan yang nyata. Terdros menyampaikan perbandingan antara COVID-19 dengan influenza pada forum briefing media di Jenewa, Swiss, Selasa (3/3). Bisa diakses di situs WHO. "Virus ini bukan influenza. Kita berada pada wilayah yang belum terpetakan," kata Tedros. Menurutnya, COVID-19 dan influenza mengakibatkan penyakit pernapasan dan menyebar dengan cara yang sama. Yakni lewat tetesan kecil atau cairan dari hidung dan mulut orang yang terjangkit. "Meski begitu, ada beberapa perbedaan penting antara COVID-19 dan influenza," kata Tedros. Dijelaskannya, dari sisi efektivitas penularan influenza tentu lebih efektif. Orang yang terinfeksi flu namun belum sakit bisa menjadi penular virus. Tapi, orang yang terinfeksi COVID-19 tidak demikian. "Bukti dari China, ada 1 persen kasus yang dilaporkan tidak disertai gejala-gejala. Dan kebanyakan kasus menampakkan gejala-gejala dalam dua hari," kata Tedros. Kemudian akibat COVID-19 juga lebih parah ketimbang influenza musiman. Orang-orang saat ini sudah punya kekebalan tubuh terhadap influenza, namun COVID-19 adalah hal baru bagi tubuh penduduk bumi. Penduduk dunia masih rentan terhadap corona jenis baru itu. "Secara global, sekitar 3,4% kasus COVID-19 yang dilaporkan berakhir dengan kematian. Sebagai perbandingan, flu musiman secara umum membunuh kurang dari 1% dari orang yang terinfeksi," kata Tedros. Soal vaksin dan obat flu musiman, kata dia, sudah ditemukan. Sementara corona belum ditemukan. Baru tahap pengembangan. Sudah ada lebih dari 20 vaksin yang sedang dalam taraf pengembangan. "Kesimpulannya, COVID-19 menyebar kurang efisien ketimbang flu, penularan tidak dilakukan oleh orang yang tidak sakit, ini (Corona) bisa mengakibatkan sakit parah ketimbang flu, dan belum ada vaksin atau penyembuhan, dan ini bisa ditanggulangi. Inilah sebabnya kita harus melakukan apa pun yang kita mampu untuk menanggulanginya," kata Tedros. Karena perbedaan-perbedaan di atas, maka WHO tidak memperlakukan COVID-19 seperti memperlakukan influenza. KURANGI KELUHAN SIMPOMATIS Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan dr. Andi Sri Juliarty mengungkapkan, obat batuk dan flu biasa, secara medis tidak bisa menangkal ataupun menyembuhkan sesorang dari infeksi COVID-19. Virus hanya dapat ditangkal atau disembuhkan oleh obat anti virus itu sendiri. Dan sistem kekebalan tubuh seseorang. “Dan hingga kini virus corona belum ada obatnya," ungkap dr. Andi Sri Juliarty kepada Disway Kaltim, Minggu (8/3). Meski demikian, dia mengatakan, orang yang terinfeksi COVID-19 boleh saja mengonsumsi obat batuk pilek biasa. Dengan catatan yang bersangkutan belum mengetahui dirinya terinfeksi. Kendati hal itu hanya memungkinkan untuk mengurangi keluhan simpomatis pada penderita. Pada hari-hari awal terinfeksi. Misalnya keluhan fisik seperti demam atau suhu tubuh menurun beberapa saat. Kemudian bisa jadi flu dan batuknya berkurang. "Tapi tidak menangkal atau menghilangkan virusnya," tegasnya. Gejala penyakit berupa batuk dan flu akibat COVID-19 akan kembali dirasakan penderita. Tidak lama setelah mengonsumsi obat batuk pilek biasa. Bahkan, keluhan bisa bertambah seiring berkembangnya penyakit. Berupa sakit tenggorokan, sesak nafas hingga pneumonia. Oleh karena itu, dia melanjutkan, untuk deteksi dini. Jika ada yang merasakan gejala tersebut disertai dengan riwayat perjalanan dari negara terjangkit atau riwayat kontak dengan orang terjangkit COVID -19, segera memeriksakan diri di fasilitas kesehatan terdekat.  "Jangan coba-coba mengobati sendiri dengan obat batuk pilek biasa dan baru ke dokter setelah keluhan menjadi berat". Dengan begitu, tenaga medis memiliki kesempatan untuk menentukan langkah pengobatan yang tepat. Agar peluang sembuh pasien juga lebih besar. "Penanganan lebih dini akan memberikan prognosa kesembuhan lebih besar," sambungnya. Sedangkan untuk langkah pencegahan, dia menyarankan untuk selalu berusaha menjaga daya tahan tubuh atau imunitas. Cara menjaga dan meningkatkan daya tahan tubuh yaitu dengan makan makanan bergizi. Yang tinggi serat. Seperti sayur, buah dan meminum air (mineral) minimal delapan gelas sehari. Terkait ramainya anjuran untuk mengonsumsi jahe dan temu lawak, dokter yang kerap disapa Dio itu mengatakan, jika jahe dan temu lawak merupakan tanaman obat herbal yang sejak dulu dipercaya berkhasiat untuk meningkatkan daya tahan (imunitas) dan kebugaran tubuh. Jika daya tahan tubuh menjadi patokan pertahanan terhadap COVID-19, maka jahe dan temulawak bisa membantu mencegah penyakit tersebut. Kendati virusnya tetap harus dibunuh dengan obat antivirus. Ditarik beberapa tahun ke belakang, juga muncul wabah virus dengan gejala yang sama. Sebut saja flu burung. Sumber dan pola penularannya diduga berasal dari hewan tertentu. Apakah virus dengan gejala flu itu telah ditemukan obatnya? Apakah manjur untuk menyembuhkan COVID -19 ini?. Terkait hal itu, Dokter Dio mengatakan, wabah flu sebelumnya SARS dan MERS juga berasal dari kelompok virus corona. Wabah itu merebak di Tiongkok tahun 2002. Kemudian MERS-CoV merebak di Arab Saudi pada 2013. Sedangkan COVID-19 juga merebak di Tiongkok akhir 2019 lalu. Ketiganya sama-sama masuk dalam jenis virus corona. Gejala sama pada saluran pernapasan. Flu, batuk, demam hingga pneumonia. "Semuanya belum ada obatnya," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Balikpapan itu. Untuk membedakan ketiga jenis wabah yang berasal dari kelompok virus corona itu, lanjutnya, ialah proses pemeriksaan spesimen. "Yang bisa membedakan hanya pada hasil pemeriksaan spesimennya di Puslitbangkes," tandasnya. (das/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: