Asimilasi Bangsa Arab di Kaltim

Asimilasi Bangsa Arab di Kaltim

Dalam sejarah, tertulis kerajaan Kutai berubah. Dari menganut keyakinan Hindu menjadi kerajaan Islam. Disinyalir ada peran bangsa Arab yang berniaga dan berdakwah lalu kemudian bermukim. Hingga sekarang, setelah beberapa generasi, keturunan Arab telah berbaur dengan warga lokal.      KETURUNAN Arab yang ada di Indonesia saat ini lebih banyak berasal dari Hadramaut, Yaman. Kedatangan mereka ke Nusantara tak semata ingin berdakwah. Sebagian besar untuk berdagang dan mengadu nasib di Tanah Air. Istilah mereka kala itu, mencari cincin Nabi Sulaiman. Iklim tropis dan lingkungan yang subur menjadi salah satu penyebab mereka menyukai Nusantara. Rombongan Hadramaut yang datang ke Nusantara secara sederhana bisa dibagi menjadi tiga golongan. Pertama kelompok Sayyid. Mereka adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Sayyid Ahmad Al-Muhajir. Kelompok kedua adalah Syaikh. Mereka ulama dari bangsa Arab yang dihormati. Kelompok ketiga adalah pedagang dan petani Hadramaut. Kelompok Sayyid yang menikah dengan keturunan raja mendapat gelar raden. Misalnya pelukis kesohor Raden Saleh. Ia golongan Sayyid dengan marga Bin Yahya. Pada zaman kolonial Belanda, banyak jamaah Hadramaut yang berasimilasi dengan orang Jawa. Tetapi mereka tidak menunjukkan identitas Arab lagi. Mereka menggunakan nama Jawa, berbahasa Jawa, berpakaian Jawa, bertata-krama Jawa, melakukan adat istiadat Jawa, dan menggunakan sistem kekerabatan Jawa. Peneliti asal Belanda, LWC Van den Berg dalam penelitiannya pada tahun 1884–1886 silam, menemukan keluarga Hadramaut yang menduduki posisi penting di Kesultanan Yogyakarta. Namun, keluarga itu telah kehilangan sama sekali ciri Arab mereka dan menjadi orang Jawa. Van den Berg tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai keluarga Arab ini. Mungkin karena tidak memperoleh jejaknya. Dikutip dari penelitian berjudul "Menelusuri Jejak Kehidupan Keturunan Arab-Jawa di Luar Tembok Keraton Yogyakarta" oleh mahasiswi Universitas Indonesia Siti Hidayati Amal, ditemukan para Sayyid marga Ba'abud yang menggunakan nama Jawa. Mereka adalah Puspodipuro, Munadi, Madiokusumo, Wongsodipuro, Irfan Madiowidjojo, Sundoro Djojowinoto, Manadi Madiokusumo. Sedangkan yang perempuan, Masayu Loana, Raden Ayu Djojowinoto, Raden Ayu Suropranoto, Siti Kaltum, dan Siti Sudarsih. Sedangkan dari buku "Orang Arab di Nusantara" karya Van den Berg yang ditulis pada 1886 silam, disebutkan beberapa nama semisal Sayyid Ahmad Bin Yahya mengubah nama menjadi Sumodirjo. Anaknya diberi nama Sumodiputro. Adapula Sayyid Husain Ba'abud menjadi Suroatmojo. Sayyid Ahmad Ba'abud menjadi Surodiputro. Ini dilakukan untuk berbaur dengan masyarakat. Mereka menghapus identitas Arabnya sama sekali. Sehingga tidak 100 persen peranakan Hadrami di Nusantara yang berhasil disensus. Terlebih masih banyak keluarga Arab yang menyembunyikan jati diri mereka dan tidak bergaul dengan sesama jamaah Hadrami di Indonesia. Semisal aktivis HAM Munir Said Thalib. Ia peranakan Hadrami dengan marga Bin Thalib. Menurut Munir dalam suatu kesempatan wawancara dengan media asing, ayahnya tipikal orang yang tidak terlalu suka bergaul dengan sesama Arab. Munir tumbuh dengan kultur Jawa dan tak pernah merasa dirinya Arab. "Kecuali ketika ada sentuhan tertentu kemudian menyadari bahwa saya Arab. 80 persen saya lupa kalau saya Arab. Di keluarga saya seperti itu. Bahkan ibu saya berbahasa Jawa meskipun juga keturunan Arab," jelasnya. Lantas bagaimana kedatangan bangsa Arab di Kaltim? Pemerhati sejarah Kaltim Muhammad Sarip mengatakan, terhadap pertanyaan umum tentang suatu peristiwa unik, apakah itu merupakan yang kali pertama terjadi, tidak bisa secara mutlak mengklaim. Karena bisa jadi hanya mengetahui sebuah riwayat dalam dimensi tertentu. Tapi luput terhadap indikasi arkeologi lain di ruang dan waktu berbeda. Namun, lanjutnya, jika acuannya adalah sumber tertulis yang terverifikasi, maka kedatangan Tuan Tunggang Parangan ke Kutai Lama yang terjadi pada 1575 Masehi, merupakan kabar kedatangan orang keturunan Arab yang kali pertama di tanah Kutai. "Riwayatnya termaktub dalam kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Naskah ini beraksara Arab Melayu yang selesai ditulis tahun 1849 oleh Khatib Muhammad Thahir," sebutnya. Akan tetapi, sebelum itu, paparnya, pada pertengahan abad ke-14, pengaruh Arab tampak masuk ke lingkungan Kerajaan Kutai Kertanegara. Nama raja ketiga, yakni Maharaja Sultan, dan juga raja keempat, yakni Raja Mandarsyah, jelas terpengaruh budaya Timur Tengah. Meskipun begitu, pada masa mereka, kerajaan masih Hindu, belum beragama Islam. Bagaimana pengaruh Arab bisa sampai ke Kutai pada abad ke-14? Interaksinya bagaimana? Sarip menegaskan tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan. Hanya bisa dinterpretasikan bahwa interaksi terjadi bisa melalui relasi perdagangan, sebagaimana umumnya terjadi di Nusantara kala itu. "Sampai sekarang, belum ada temuan jejak makam orang Arab di Kaltim yang bertarikh sebelum kedatangan Tunggang Parangan," urainya. Selain itu, ada riwayat cucu Sunan Giri, bernama Pangeran Pratikha, bergelar Sunan Giri Prapen, yang mengembangkan dakwah Islam sampai ke tanah Kutai di timur Kalimantan. Waktunya pada masa Kerajaan Demak abad ke-16 Masehi. "Penyebaran Islam oleh keturunan Sunan Giri ke Kutai ini dilakukan setelah proses islamisasi yang masif di Kesultanan Banjar," pungkasnya. Keturunan Jawa-Arab. (Foto koleksi Museum Hadramaut) ===   MASUK KALTIM Sekitar tahun 1700 atau tahun di dekat itu, bangsa Arab mulai berbondang-bondong masuk ke Indonesia untuk melakukan berbagai macam aktivitas. Khususnya, mereka menyebarkan Islam di Tanah Air. Rabithah Alawiyah adalah salah satu organisasi pencatat nasab keturunan Hadrami, terutama keluarga Sayyid. Humas Rabithah Alawiyah Balikpapan Habib Agus Al-Qadrie mengatakan, khusus di Kaltim, wilayah yang pertama kali didatangi adalah Kutai. Di mana diawali dengan masuk Islamnya raja-raja dan bangsawan kala itu. Dibawa oleh Habib Hasyim bin Musayah bin Abdullah Bin Yahya, orang Arab yang diduga kuat pertama kali menginjakkan kakinya di Kukar. Lanjut Habib Agus, tujuan awal kedatangan Habib Hasyim adalah berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam di Kutai. "Alhamdulillah visi misi beliau saat itu diterima baik oleh Raja Adji Mahkota," jelasnya. Dipilihnya Kutai kala itu oleh bangsa Arab karena wilayah itu merupakan sentralisasi kemasyarakatan yang dipimpin oleh seorang raja. Sehingga dengan dekatnya orang Arab dengan raja maka pengaruh raja di Kaltim saat itu sangat diharapkan. "Jika berdakwah mulai dari raja, otomatis rakyatnya juga ikut. Karena Kutai dulu kekuasaanya luas," tambahnya. Seiring diterimanya kaum Arab di Kutai, terjadilah perkembangan peradaban lokal bercampur dengan bangsa Arab. Meski sejatinya Habib Hasyim tidak memiliki keturunan saat berdiam di Kutai. "Habib Hasyim baru ada keturunan di Cirebon. Tapi setelah Habib Hasyim pergi, ada penggantinya yaitu Habib Muhammad bin Yahid. Di sinilah terjadinya hubungan emosional Arab dan warga lokal yang biasa maupun dengan keturunan raja," jelasnya. Sejak saat itu, keturunan Arab terus berkembang hingga saat ini. Bahkan ada dari mereka yang akhirnya sampai ke Samarinda, Balikpapan, dan sekitarnya. Untuk wilayah Balikpapan saja, Habib Agus menuturkan, sedikitnya ada 400 kepala keluarga keturunan Arab. Peran keturunan Arab di masyarakat saat ini diakui Habib Agus, tidak memiliki kekhususan dibandingkan zaman raja-raja Kutai dulu. "Kalau dulu mungkin ada, karena dianggap tamu raja serta pembawa ajaran Rasulullah. Tapi sekarang biasa-biasa saja. Kami sudah membaur dengan masyarakat," jelasnya. Meski keturunan Arab, nasionalisme mereka jangan diragukan. Misalnya Muhammad Husein Al-Muthohar merupakan pencipta lagu kebangsaan dan pendiri paskibraka. Kemudian Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie perancang lambang Garuda Pancasila. Tentu masih banyak lagi peran keturunan Arab dalam kemerdekaan Indonesia. Habib Agus menyebut, saat ini aktivitas bangsa Arab sudah tidak lagi fokus pada penyebaran agama Islam atau dakwah. Selain menjadi ulama, ada yang menjadi pedagang, profesional bahkan menjadi anggota TNI dan Polri. "Sekarang zaman sudah berubah. Enggak fokus berdakwah lagi. Hampir semua profesi bangsa Arab ada," jelasnya. Sebagian orang awam menganggap keturunan Arab itu sikapnya keras. Namun Habib Agus tak sepenuhnya sependapat. Menurutnya keturunan Arab adalah orang yang bisa dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ia juga tidak sepakat jika keturunan Arab hanya dilihat berdasarkan bentuk wajah, hidung mancung, dan berkulit terang. Hal itu dipengaruhi pencampuran gen dari hasil pernikahan orangtua. (*) BERITA TERKAIT:

  • Habaib dan Islamisasi di Tanah Kutai
  • Menjaga Tradisi Hadrami
Pewarta: Rizki Hadid, Andrie Aprianto, Upqil Mubin Editor : Devi Alamsyah  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: