Masalah Buruh Tak Kunjung Selesai, Menanti Ketegasan Bupati Berau

Masalah Buruh Tak Kunjung Selesai, Menanti Ketegasan Bupati Berau

OLEH: NASON NADEAK* Silang sengkarut antara ratusan buruh dan manajemen PT Yuda Wahana Abadi (YWA) masih berlangsung. Dua hari yang lalu, buruh melakukan pemogokan kerja. Tak jelas sampai kapan upaya ini diambil buruh. Langkah ini sebagai respons terhadap kekecewaan buruh terhadap manajemen perusahaan dan pemerintah. PT YWA telah diambil alih oleh PT Triputra Argo Persada (TAP) sejak 2018. Hal ini terlihat dari banyak peraturan yang berlaku. Manajemen mengunakan nama PT YWA. Seperti pengakuan karyawan lain. Seiring dengan dugaan pengambilalihan PT YWA oleh PT TAP, perusahaan telah mengurangi hak-hak buruhnya. Tunjangan daerah dan jabatan sebesar  Rp 500 ribu per bulan telah dihilangkan. Kemudian buruh yang sudah bertahun-tahun bekerja dibuat dengan status harian. Diubah menjadi karyawan kontrak. Tetapi perubahan status hanya disampaikan secara lisan. Sehingga karyawan tidak mempunyai pegangan apa pun. Padahal berdasarkan Keputusan Menteri  Tenaga Kerja, berdasarkan lama kerjanya di PT YWA, para pekerja harus menjadi buruh permanen atau PKWTT. Perusahaan juga mengurangi uang premi. Seperti premi brondol sebesar Rp 200 per kilogram. Dikurangi menjadi Rp 100 per kilogram; premi proning sebesar Rp 1.000 sampai Rp 1.500 per pohon diubah menjadi per hektare. Apabila per hektare rata-rata 132 pohon, maka besaran premi proning hanya Rp 25 ribu per pohon. Perusahaan juga menghilangkan premi skoring. Sebelumnya premi skoring dengan nilai A dihargai Rp 700 ribu, nilai B Rp 400 ribu, nilai C tidak dibayar, dan nilai D didenda. Perusahaan pun tidak membayar Tunjangan Hari Raya (THR) buruh. Padahal data-datanya sudah diberikan kepada menajemen. Tetapi sampai saat ini THR belum diserahkan ke buruh. Tindakan perusahaan menghilangkan hak-hak buruh dapat dianggap sebagai cara sewenang-wenang. Sebab pengupahan menganut prinsip menambah. Bukan mengurangi. Agar buruh dapat memenuhi kebutuhan yang layak. Selain itu, jika perusahaan dapat mengurangi hak-hak buruh dengan sesukanya, maka ke depan perusahaan dapat mengurangi upah buruh. Apalagi upah yang sudah diberikan merupakan kebijaksanaan perusahaan terhadap buruh. Supaya terjadi harmonisasi antara kedua belah pihak. Sebelumnya, Senior Estate Manager PT YWA Karina Sembiring membantah pernyataan kami. Karina menyebut selama ini saham mayoritas PT YWA dipegang PT TAP. Melalui anak perusahaannya: PT Agro Multi Persada (AMP). Anak perusahaan ini bekerja sama (joint venture) dengan minoritas pemegang saham lainnya selaku partner. Ditunjuk oleh PT AMP untuk melakukan kegiatan operasional di PT YWA. Katanya, pada 2017, partner menyerahkan kegiatan operasional PT YWA kepada PT AMP. Penyerahannya tidak mengakibatkan berakhirnya hubungan kerja, status, dan masa kerja karyawan PT YWA. Pun penyerahan kegiatan operasional tersebut tidak mengakibatkan perubahan pengendalian perusahaan oleh PT TAP. Selaku pemegang saham mayoritas. Karina juga membantah pernyataan kami yang lain. Bahwa perusahaan yang dikomandoinya telah menghapus dan memangkas tunjangan buruh secara sepihak. Kata dia, tunjangan yang dihapus yakni tunjangan daerah dan jabatan setiap bulan Rp 500 ribu, premi basis, premi skoring, dan premi proning atau pembersihan pohon sawit dilakukan berdasarkan evaluasi serta perbaikan produktivitas dan kualitas di lapangan. Namun kami menilai, seharusnya PT TAP tidak perlu bersilat lidah lagi. Upaya Karina mempertahankan hal yang salah adalah tindakan mempertontonkan kekurangan atau keangkuhan. Mungkin beliau lupa bahwa dia juga buruh. Karenanya, untuk menuntut hak-haknya, beberapa kali para buruh melakukan perundingan. Baik di kantor Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Berau maupun di Kantor Bupati Berau. Tetapi tidak membuahkan hasil. Selaku Dewan Pimpinan Pusat Serikat Buruh Borneo Indonesia (DPP SBBI), kami sangat kecewa. Sebab kami melihat, baik Disnaker maupun Bupati Berau, tidak serius menyelesaikan masalah ini. Pemkab Berau terkesan membiarkan perusahaan melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, kami mengharapkan Disnaker Berau melaksanakan tugasnya dengan baik. Disnaker dituntut menegur menajemen perusahaan tersebut. Bila perlu, pemerintah melakukan pemeriksaan terhadap pimpinan perusahaan. Atas pelanggaran-pelanggaran yang sudah dilakukannya. Yang secara jelas telah menimbulkan kerugian bagi para buruh. Bukan justru meminta masalah tersebut diselesaikan melalui mediasi. Sebab baik melalui pengaduan atau tanpa pengaduan, Disnaker harus mengambil sikap. Demikian juga DPRD Berau. Kiranya hal ini dapat dijadikan sebagai  alat kontrol serta meminta pertanggungjawaban Disnaker. Supaya Disnaker melaksanakan tugasnya sebagai instansi yang paling bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan. Begitu pun Bupati Berau. Kejadian ini dapat digunakan sebagai alat ukur kinerja Kepala Disnaker Berau. Apakah pimpinan OPD tersebut cakap menjalankan tugasnya? Atau justru membuat problem bagi para buruh? Jelas sekali. Dalam hal ini terjadi pelanggaran berkepanjangan. Tanpa pemberian sanksi apa pun. Apabila Disnaker melaksanakan tugasnya dengan baik tanpa pengaruh dari pihak luar, maka Disnaker akan melakukan penyidikan. Jika fungsi tersebut dijalankan dengan baik, hampir dapat dipastikan, pelanggaran perusahaan atas hak-hak buruh tidak terjadi. Perselisihan ketenagakerjaan pun berkurang serta hubungan harmonis antara pengusaha dan buruh dapat terwujud. (*Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Borneo Indonesia Kaltim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: