Menyoal Konflik Agraria di Ibu Kota Negara Baru
Konflik agraria diramalkan terjadi selama proses pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kaltim. Seperti tumpang tindih kepemilikan lahan. Yang diprediksi terjadi pada tahapan pembangunan infrastruktur di Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara (PPU) dan Kecamatan Samboja di Kutai Kertanegara (Kukar). Yang rencananya dimulai pada 2020. Kekhawatiran itu sempat disampaikan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Dia mencontohkan sejumlah masalah kepemilikan lahan di Kota Minyak. Seperti adanya sertifikat ganda. Bahkan lahan milik Pemkot Balikpapan pun disebutnya banyak yang diklaim masyarakat. Karena sertifikat ganda tersebut. Pemkot Balikpapan pun sudah mengantisipasi kerawanan konflik pertanahan melalui regulasi khusus. Dengan Perda Nomor 1 tahun 2014 tentang Izin Membuka Tanah Negara atau IMTN. Regulasi itu mensyaratkan IMTN sebagai dasar penerbitan sertifikat hak milik oleh BPN. Karena sebelumnya, kepemilikan segel sering menimbulkan tumpang tindih kepemilikan. Kepastian hukum dari IMTN ini adalah tidak dapat diterbitkan apabila adanya sanggahan dari pihak ketiga. Dengan masa berlaku 3 tahun. “Tapi masih ada yang merasa keberatan dengan adanya perda IMTN ini. Makanya sedang kami evaluasi lagi. Padahal perda IMTN ini, dalam rangka menertibkan alas hak. Tapi tidak boleh jadi penghambat sertifikasi. Seperti arahan Presiden Joko Widodo,” ungkap dia. Calon IKN di PPU juga memiliki regulasi serupa. Yakni Perda Nomor 18 Tahun 2017 tentang IMTN. Namun, tak seketat di Balikpapan. Pemkab PPU masih mensyaratkan segel sebagai dasar penertiban sertifikat hak milik di BPN. Namun untuk mengawasi penerbitan segel, Bupati Abdur Gafur Mas’ud membuat regulasi khusus. Yakni Perbup Nomor 22 Tahun 2019 tentang Pengawasan dan Pengendalian Transaksi Jual/Beli Tanah/Peralihan Hak Atas Tanah. Aturan tersebut menuai pro-kontra lantaran setiap transaksi jual beli tanah atau peralihan hak atas tanah wajib diketahui bupati. Tahapannya berjenjang mulai tingkat rukun tetangga/dusun, kelurahan/desa, dan kecamatan. Selanjutnya camat melaporkannya secara periodik kepada bupati. Wakil Bupati PPU Hamdam menerangkan tujuan penerbitan perbup itu, guna melindungi hak kepemilikan tanah masyarakat di PPU. Sebab, dikhawatirkan ada transaksi jual beli yang terlalu banyak, sehingga ada penguasaan lahan yang berlebihan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Serta tidak peruntukannya. Pasalnya pihaknya bakal melakukan penyesuaian rencana tata ruang wilayah (RT/RW). “Intinya Pemkab PPU ingin mengetahui kepemilikan tanah sesuai peruntukannya dan tidak ada larangan jual-beli tanah dalam perbup itu,” kata dia. Pengamat Sosial dan Politik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Lutfi Wahyudi mengatakan, jangan sampai keberadaan IKN justru memarjinalkan masyarakat Kaltim. Seperti yang sebelumnya terjadi di DKI Jakarta. Dimana masyarakat Betawi menjadi termarjinalkan akibat kalah bersaing dengan para pendatang dari luar DKI Jakarta. Lantaran penjualan lahan luar biasa di IKN kala itu. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul Samarinda ini menambahkan, perlu ada antisipasi terhadap kepemilikan lahan saat pemindahan IKN ke Kaltim nanti. Dia meminta jangan sampai terjadi akumulasi kepemilikan lahan oleh sekelompok elite ekonomi yang memiliki modal melimpah. Jika itu terjadi, maka kasus seperti di DKI Jakarta akan terjadi kembali di Kaltim. Kepemilikan lahan di sekitaran IKN hanya oleh sekelompok kecil orang dengan modal jumbo. Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi – termasuk tanah – hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 42 : “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19). Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT dalam surah Al-Hadid ayat 7 : “Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (mediaumatnews) Syariah Islam memberikan 4 (empat) solusi mendasar dalam mengatasi konflik agraria. Pertama: Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat). Dalam hal ini, syariah Islam mengizinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh seseorang, menjadi milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : “Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak.” (HR al-Bukhari). “Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR al-Bukhari). “Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Abu Dawud). Hadits-hadits ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik Muslim ataupun non-Muslim, dan menjadi dalil bagi kebolehan untuk siapa saja yang menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu ijin pemerintah. Alasannya, karena perkara-perkara yang boleh memang tidak memerlukan izin pemerintah. (An-Nabhani, 1990 : 138). Kedua: Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Rasulullah SAW. Beliau menyatakan : “Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama 3 tahun.” Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari 3 tahun. Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari 3 tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut. Ketiga: Kebijakan negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat. Hal ini didasarkan pada perbuatan Rasulullah SAW, sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau. (An-Nabhani, 1990 : 120). Pemberian cuma-cuma dari negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaannya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apa pun (pagar, tanaman, pengelolaan dan lain-lain) sebelumnya. Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimiliki/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang – karena alasan-alasan tertentu; seperti penelantaran oleh pemiliknya – diambil alih oleh negara lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya. Keempat: Kebijakan subsidi negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah akan dipaksa oleh negara untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka. Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana dari Baitul Mal (Kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka. Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan konflik agraria. Allah SWT sebagai pemilik tanah yang hakiki telah menurunkan seperangkat aturan yang sempurna dan terjamin keadilannya karena hanya Allah SWT yang maha tahu akan kebutuhan manusia ciptaan-Nya. Konflik agraria tidak perlu terjadi seandainya hukum Islam digunakan sedari awal dalam mengatur pertanahan. Pun ketika IKN dipindahkan ke wilayah mana pun. Konflik agraria nihil terjadi atau peluang untuk terjadi sangat kecil karena masing-masing pihak, yaitu negara, masyarakat dan individu sama-sama mengerti dimana posisinya berdasarkan hukum Islam. (*/Pemerhati Masalah Sosial dan Politik)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: