Agus Bei: Beramal Lewat Alam

Agus Bei: Beramal Lewat Alam

Menjaga alam sejatinya kewajiban setiap orang beriman. Agus Bei menghabiskan 18 tahun usianya untuk mempertahankan benteng terakhir pesisir Kota Beriman; hutan mangrove. Rizki Hadid, Balikpapan ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- AIR minum penutup sahur Agus Bei masih tersisa setengah cangkir saat atap rumahnya bergetar keras. Ia bergegas menuju pintu depan. Agus mengintip dari jendela, pohon kelapa sepinggang orang dewasa, melengkung didorong angin. Suara gemuruh dari arah laut perlahan mendekat. Pusaran angin yang menjulang ke langit datang mengamuk. Menggiling semua benda sekitar. Agus tak berani keluar. Ia hanya bisa berdoa agar semua baik-baik saja. Jarum waktu beranjak ke pukul 07.00 Wita. Cuaca sudah reda. Agus keluar rumah mengamati kondisi sekitar yang berhamburan. Pohon tumbang. Atap terdampar hingga ratusan meter. Beberapa rumah ambruk. Agus termasuk beruntung. Struktur rumahnya yang cukup kokoh tak membuat kerusakan berarti. Peristiwa yang terjadi pada Ramadan 18 tahun silam itu tidak mungkin dilupakannya. Di situlah titik balik kehidupan Agus. Ayah dua anak yang kini dikenal sebagai tokoh nasional bidang lingkungan. Hidup bersama mangrove merupakan takdir yang tak terduga baginya. Kepenatan menggeluti bisnis konstruksi mengantarkannya pada keinginan hidup yang lebih tenang. Istrinya yang berprofesi sebagai guru, mendapat subsidi pemerintah untuk memiliki rumah sangat sederhana (RSS) di Graha Indah, 1996 silam. Agus kebagian rumah di blok belakang. Sebab blok depan yang strategis lebih dulu diambil orang. Diyakini, semakin dekat jalan raya, semakin tinggi nilai ekonomis suatu hunian. Dari gerbang Graha Indah kala itu, hanya ada jalan akses setapak. Gundukan tanah yang tak beraturan membuat jalan itu rumit dilalui. Ia curiga area tersebut hasil reklamasi. Setelah mengamati, ia tersadar. Tak jauh dari rumahnya merupakan hutan mangrove. Pada tahun 2000, mulai ada penebangan mangrove di kawasan tersebut. “Mau diapakan lagi? Apa mau direklamasi?” Agus membatin menyaksikan alam yang dirusak di hadapannya. Ia menyimpulkan, lahan tersebut milik pengembang. Semenjak mangrove dibabat, suasana jadi tak nyaman. Angin bertiup semakin deras. Jalanan sering terendam air. “Saya pikir mangrove itu untuk menahan air dan angin. Kok ditebang? Mungkin itu lahan mereka. Saya cuek saja,” ulasnya. Saat itu sudah 25 persen rumah di Graha Indah ditempati. Blok belakang menjadi sasaran pembuangan sampah oleh warga. Minimnya kesadaran lingkungan ini bisa mengancam keberlangsungan hidup. Saat air pasang, sampah larut berantakan. “Lama-lama jadi TPS (Tempat Pembuangan Sampah, Red) kalau dibiarkan,” urainya. Alam yang semakin terancam membuat ia tak tinggal diam. “Harus ada yang peduli. Harus ada gebrakan,” pikirnya. Agus memutuskan mengambil tindakan. Ia mulai mempelajari lahan tersebut. Selidik punya selidik, ternyata lahan tersebut tidak dilegitimasi sebagai hutan. Bahkan tidak termasuk wilayah Dinas Kehutanan. Hanya dianggap semak-semak. Pada 1980, kata Agus, sekitar 18 bidang mangrove di sebelah utara Balikpapan dipetak-petak dalam bentuk segel. Ada ukuran 3 hektare, 8 hektare, hingga 23 hektare. Itu semua untuk kelompok tani. Budidaya tambak. Ia menilai tambak itu tak akan maksimal jika dekat pemukiman warga. Kualitas airnya tak baik untuk ikan dan udang. Kelompok tani diberi hak menggarap tanpa disertai kajian matang. Agus curiga, bila tambak itu tidak produktif. Supaya suatu saat lahannya bisa direklamasi. “Bagaimana mau membeli, kalau masih berbentuk mangrove? Tak mungkin perusahaan mau,” kata Agus. Makanya kelompok tani dimanfaatkan. Begitu tambak tak produktif, pengembang membeli untuk dijadikan permukiman. “Ternyata analisa saya benar,” lanjutnya. Agus memulai perjuangan menanam mangrove untuk penghijauan. Di dalam batinnya, hutan itu milik negara. Maka ia bisa menyelamatkan lingkungan tanpa beban. Ia mengutak-atik mangrove sendiri. Meneliti dengan otodidak. Tak ada buku apalagi internet kala itu. Agus belajar pada alam. Tak terhitung berapa ratus kali ia gagal membibit mangrove. “Saya tidak paham. Mengembangbiakkan mangrove ini apakah dengan cangkok atau menggunakan sisa buahnya?” tutur Agus. Perjuangan semakin berat manakala tak ada satupun tetangga yang mendukung. “Saya dianggap stres. Tidak apa-apa. Justru saya harus punya ilmu dulu supaya bisa diterima orang lain,” ucapnya. Cibiran demi cibiran ia terpa dengan lapang dada. Hingga akhirnya momen itu tiba. Alam yang menegur mereka. Angin puting beliung mengamuk pada Ramadan 2001 silam. ** MATAHARI menyembul perlahan dari balik awan saat Agus membuka pintu rumahnya. Suasana masih mencekam pasca puting beliung tadi subuh. Pohon-pohon berserakan. Beberapa atap warga bergelimpangan hingga ratusan meter. Ada pula rumah ambruk ditabrak angin yang datang selepas salat subuh, 18 tahun silam. Agus lantas buka suara. “Saudara-saudara. Bencana ini datang akibat mangrove yang ditebang. Mangrove itu berfungsi menahan air dan angin,” jelasnya. Sejak saat itu, beban perjuangannya mulai terasa ringan. Setidaknya, warga tak lagi mencibir. Ada kepedulian meski tak bisa sepenuh waktu seperti Agus. Pada 2005 lalu, Agus ditunjuk menjadi ketua RT. Jabatan strategis itu dimanfaatkannya untuk membentuk kelompok peduli mangrove. Banyak yang minat. Ilmunya sudah cukup mumpuni. Setelah delapan tahun membudidaya mangrove. Kali ini, Agus menggencarkan strategi eksternal. Ia bicara lantang ke kelurahan agar mangrove tidak ditebang tanpa izin yang akan berdampak pada pemukiman. Namun apa daya. Lurah tak bisa berbuat banyak. Begitu juga camat. Ia pernah bicara ke Balai Lingkungan Hidup (BLH) Balikpapan. Usahanya tetap nihil. Sebab sebagian yang pernah dimediasi, lahan tersebut punya hak penggarapan pada 1980 yang dibuktikan dengan surat segel dari kecamatan dan lahan tersebut hutan mangrove. Ia malah mendapat nada minor. “Saya dianggap mau ajukan proposal. Padahal bukan itu. Saya hanya butuh pengakuan pemda supaya perjuangan saya legal,” tegasnya. Agus tak kehabisan akal. Ia memanfaatkan jabatannya sebagai ketua KNPI Balikpapan Utara. Ia merancang program pemuda peduli lingkungan. Gayung bersambut. Usulan Agus disambar Ketua KNPI Balikpapan Muhaimin kala itu. Mengusung bendera KNPI, Agus berkibar menembus Wali Kota Balikpapan Imdaad Hamid. Pada 5 Juni 2010, Imdaad blusukan ke Graha Indah. Ia ceritakan pada Imdaad tentang aktivitasnya menanam mangrove tanpa diketahui pemerintah. Wali kota dua periode itu menyetujui langkah Agus. Imdaad bahkan menyerukan dukungannya kepada semua pihak termasuk BLH Balikpapan. Sehingga Pemkot Balikpapan kemudian meresmikan Graha Indah sebagai Mangrove Center pada 21 Juli 2010. Misi Agus belum selesai. Masih ada rancangan yang belum tercapai. Pengakuan Negeri Sakura Jepang mengapresiasi langkah Agus Bei. Yang awalnya dianggap nyeleneh. Lantaran membudidayakan mangrove. Ia diganjar penghargaan dari Negeri Sakura itu. Dunia internasional mengakui betapa pentingnya mangrove. Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Sebatang pohon mangrove mampu memenuhi kebutuhan pernapasan empat orang. Itu dibuktikan dengan banyaknya turis dari berbagai negara berkunjung ke Mangrove Center yang dikelola Agus. Sayangnya, tak banyak orang Indonesia mempelajari mangrove. Lebih banyak orang luar negeri. Padahal lahan mangrove Indonesia terbesar di dunia. “Riset modul saja kita tak punya. Makanya saya mau regenerasi mangrove ke kampus-kampus,” sebutnya. Menjadi pusat wisata dan edukasi seperti Mangrove Center saat ini bukan urusan enteng. Agus memulainya sejak 2001. Ia harus merogoh kocek pribadi untuk kepentingan orang banyak. Niatnya hanya satu, mempertahankan alam. Setelah diresmikan Wali Kota Balikpapan Imdaad Hamid pada 21 Juli 2010, Agus gencar mempromosikan Mangrove Center dengan berbagai cara. Salah satunya dengan peliputan media. Ia juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa yang ingin mengangkat judul skripsi soal mangrove. Semenjak resmi diluncurkan, bantuan dari berbagai perusahaan mulai berdatangan. Bantuan itu didominasi dari corporate social responsibility (CSR) berupa penanaman mangrove. Namun banyak rancangan yang belum tercapai. Semisal tower, mangrove track, ruang pengelola, dan lainnya. Ia juga ingin membangun jalan akses ke Mangrove Center. Untuk pengembangan Mangrove Center ini setidaknya butuh Rp 10 miliar. Untuk membangun jalan akses sekitar Rp 7 miliar. “Tapi saya tidak yakin bisa direalisasikan dalam waktu dekat. Bisa jadi pemda melihat ini belum prioritas,” ujarnya. Dalam catatannya, bantuan dari Pemkot Balikpapan mulai 2012. Yakni, Dinas Pangan Pertanian Perikanan Balikpapan pada 3 April 2012 berupa bantuan rumah bibit. Kemudian OPD yang sama pada 3 Oktober 2013 membantu membangun pos pengawasan. Terakhir, Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata Balikpapan pada 7 Januari 2015 memberi plang baliho dan safety jacket.  Pemkot Balikpapan mengklaim ada 3 ribu hektare mangrove dari seluruh pesisir sampai Teluk Balikpapan. Namun Agus meyakini luasan itu akan tergerus seiring dengan berjalannya kawasan industri. Hingga 2015 lalu, kata Agus, tersisa 2.600 hektare. “Pasti akan berkurang lagi. Apalagi ibu kota negara (IKN) pindah ke sini. Semoga mangrove mendapat perhatian kelestariannya karena tidak mudah direstorasi,” paparnya. Ia heran mengapa mangrove tidak dikategorikan hutan. Malah bisa dimiliki perorangan. Memang, kata Agus, mangrove berpotensi jadi permukiman. Dibeli dari petani tambak dengan harga murah. Setelah direklamasi harganya jadi mahal. Tapi, kata ia, harus ada keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Yakni 58:42, sebagaimana perda yang dilansir era Wali Kota Imdaad Hamid. “58 persen tak boleh dibangun. Sisanya silakan. Jika tidak, alam kita habis,” tegasnya.  Ia menyebut, ganti kepala daerah, ganti juga kebijakan. Wali kota tentu tak bisa melarang mereka yang punya sertifikat lahan. Mestinya, sebutnya, mangrove yang ada patut dilindungi meski ada yang menguasai lahan itu dengan legal. Agus merindukan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Lingkungan Hidup dan UU Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir. “Pelaku perusakan mangrove diancam pidana penjara minimal dua tahun, maksimal 10 tahun. Denda minimal Rp 2 miliar, maksimal Rp 10 miliar,” paparnya. Ia menyebut, jika lahan itu milik perorangan, mesti diberikan pemahaman. Minimal jangan dibabat habis. Selain itu pemkot juga mesti komitmen untuk melakukan pembebasan lahan mangrove yang dikuasai perorangan.  “Tentu masalah uang pemkot punya skala prioritas. Kami akan dorong ke pemerintah pusat,” katanya. (hdd/eny) Dukungan Sang Istri Di balik suami tangguh, ada sosok istri yang menguatkan. Agus Bei menghabiskan waktu selama 18 tahun mengurus mangrove di Graha Indah. Bukannya marah, istrinya malah sangat mendukung. Normina menyunggingkan senyum saat menceritakan aksi heroik suaminya. Ia mengaku tak ada keraguan sedikitpun saat Agus memutuskan fokus mengurus mangrove.  Latar belakang sebagai guru membuatnya ikut peduli pada lingkungan. “Hidup saya erat sekali dengan pendidikan lingkungan. Sebab di sekolah ada muatan lokal lingkungan hidup,” papar Normina yang kini menjabat kepala SD 013 KM 1,5 Balikpapan Utara. Dia justru yang mendorong Agus untuk menanam mangrove. Semenjak puting beliung memporakporandakan Graha Indah. Normina menyebut, bencana itu datang ketika mangrove ditebas untuk dijadikan tambak. “Mulai ada kesadaran warga untuk melestarikan lingkungan.  Kami yang merasakan langsung manfaat mangrove,” urainya. Dia kagum dengan suaminya. Padahal Agus bukan sarjana di bidang lingkungan.  Malah Agus adalah lulusan SMA di bidang teknik mesin. Namun kegigihan Agus mempelajari mangrove dengan otodidak membuahkan hasil.  Agus mengurus mangrove pada sore hari sepulang kerja. Meski suaminya merogoh kocek pribadi untuk membibit mangrove, Normina mengaku tak masalah. Ia punya penghasilan sendiri.  Makanya tak pernah marah atau mengeluh. Toh, yang dilakukan baik untuk orang banyak. “Saya tak meminta dari suami. Saya mengerti suami saya bagaimana,” ucapnya. Menurutnya, semangat Agus tak pernah surut.  Wajar jika puluhan penghargaan dikantongi Agus. Penghargaan datang dari gubernur hingga presiden.  Kini suaminya melepas beberapa organisasi yang dijabat demi lebih fokus ke mangrove.  Normina teringat satu pesan Agus. Jangan pernah berhitung soal lingkungan. Ini adalah pengabdian untuk ladang amal di akhirat. (eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: