Perburuan Liar Jadi Ancaman

Perburuan Liar Jadi Ancaman

Anak beruang madu yang diserahkan warga Sambaliung ke BKSDA, diduga anak beruang ini induknya menjadi korban perburuan.(ISTIMEWA) TANJUNG REDEB, DISWAY - Keberadaan satwa langka di Kabupaten Berau, saat ini kian terancam. Pasalnya, masih maraknya perburuan liar semakin mengancam kelangsungan hidup satwa-satwa dilindungi. "Jika dilihat dari praktiknya, perburuan liar ini lebih berbahaya dan sangat mengancam," ungkap Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kaltim, Dheny Mardiono. Ia menjelaskan, perburuan liar dilakukan untuk mencari satwa langka dan dijual di pasar gelap. Namun, untuk mendapatkan mangsanya, pemburu harus membunuh buruannya lebih dulu. "Biasanya yang dicari pemburu untuk dijual, adalah bagian organ dalam, hingga anakan satwa langka yang memang diminati di pasar gelap," terangnya. Dicontohkannya, saat pihaknya menerima seekor anak beruang yang berusia 6 bulan dan diserahkan seorang warga di Kecamatan Sambaliung. Dan diduga pemburu yang menyerahkan beruang kepada pengadopsi, kondisi anak beruang saat itu masih sangat kecil. Diperkirakan anak berumur sekitar seminggu. “Kuat dugaan, induknya ini dibunuh dulu, kemudian anaknya diambil dan diserahkan ke orang lain,” ujarnya. Sebab lanjut dia, bukan rahasia lagi jika perburuan beruang masih terjadi lantaran harga jual empedunya masih sangat diminati dengan harga fantastis.“Harganya mahal, bisa sampai puluhan juta untuk satu organ,” jelasnya. Sementara itu, berbeda dengan perburuan Orangutan. Dimana lanjut Dheny, Orangutan yang berukuran kecil juga memiliki harga jual tinggi di pasar gelap. Tak jarang di berbagai daerah penyelundupan Orangutan ke luar negeri masih terjadi. “Tapi sebelum mendapatkan anaknya, induknya harus dibunuh dulu. Karena jika induknya dibiarkan hidup, bisa menyerang. Namun di Berau kasus itu belum saya temukan, semoga saja tidak ada terjadi,” terangnya. Di antara beruang dan Orangutan, yang paling sering diburu khususnya di Kabupaten Berau, adalah penyu, baik itu penyu sisik ataupun penyu hijau. Pasalnya, tidak hanya sisiknya yang diambil untuk keperluan hiasan, dan cenderamata. Telurnya juga masih sangat digemari masyarakat, baik di Kabupaten Berau hingga luar daerah. Bahkan November lalu, di Pulau Sangalaki, terdapat 3 sarang yang berhasil digondol maling. Meskipun saat itu pihaknya telah melakukan penjagaan dan patroli secara berkala di wilayah itu. “Bulan lalu, kami sempat mengamankan pelaku pengeksploitasi penyu di Derawan yang membuat pernak-pernik dari kulit penyu sisik. Eksploitasi seperti ini sangat mengancam kelangsungan hidup penyu,” ungkapnya. Ia menyebutkan, perburuan liar bisa lebih mengancam keberadaan satwa dibanding dengan pembukaan lahan yang dilakukan untuk perkebunan. Meskipun pada dasarnya, pembukaan lahan secara berlebihan juga dapat berdampak buruk bagi ekosistem di sekitarnya. Menurutnya, dalam proses pembukaan hutan juga sudah diatur oleh pemerintah, dan memiliki hitungan luasan tersendiri. Hutan mana yang bisa dijadikan untuk perkebunan, dan hutan mana yang dijadikan tempat perlindungan bagi satwa langka. “Kalau aturannya itu dipatuhi, saya rasa tidak masalah dan itu pasti sudah ada kajian sebelumnya. Berdampak pasti berdampak. Tapi yang paling mengancam itu adalah perburuan ilegal,” bebernya. Menurutnya, perburuan ilegal sangat membahayakan, apabila terjadi secara terus-menerus dan tidak dilakukan pencegahan. “Satwa yang dicari pasti dibunuh, dan itu bisa terjadi secara terus-menerus. Perburuan yang tidak terkendali membuat satwa itu bisa punah lebih cepat,” terangnya. Untuk menghentikan perburuan satwa langka itu, pihaknya juga telah bekerja sama dengan aparat kepolisian. Selain itu, BKSDA juga melakukan sejumlah upaya seperti melakukan patroli di sejumlah wilayah rawan perburuan, termasuk menjaga pulau-pulau yang menjadi tempat bertelurnya penyu. Pihaknya juga menjalin kerja sama dengan instansi terkait. Serta melakukan penyuluhan, dan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak memburu atau memelihara satwa-satwa langka yang dilindungi di Berau. Buah dari sosialisasinya itu, setidaknya ada 5 warga yang menyerahkan satwa langka ke pihaknya untuk kembali dilepas liarkan ke alamnya. Satwa-satwa yang diserahkan ke pihaknya itu antara lain, 2 ekor beruang madu dari Kaltara, 1 ekor beruang madu dari Kecamatan Sambaliung, 1 ekor Owa Kalimantan dari Kecamatan Tabalar, dan burung Enggang diserahkan warga dari Tanjung Redeb. “Kalau Beruang kami kirim ke ke pusat rehabilitasi di Samboja, Penajam Paser Utara, sementara Owa itu dikirim ke pusat rehabilitasi Kelawet di Kalteng, dan Enggang kami lepaskan di Hutan Sungai Lesan,” jelasnya. Pihaknya pun memberikan peringatan kepada masyarakat untuk tidak melakukan aktivitas perburuan liar. Serta meminta peran masyarakat untuk ikut melaporkan jika ada oknum warga yang melakukan perburuan atau memelihara hewan langka ke pihaknya. Ditegaskannya juga, bagi pelaku perburuan dan ilegal diganjar dengan Pasal 40 UU Nomor 5 tahun 1990 ayat 2. “Memburu, dan menyimpan dalam bentuk hidup atau mati tumbuhan dan satwa yang dilindungi diancam kurungan penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak 100 juta rupiah,” pungkasnya. (*ZZA/APP)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: