Kunci Pintu

Kunci Pintu

SETELAH mendaki di Pangandaran, saya sengaja tunggu momentum bangun tidur untuk makan sahur: apakah kaki dan badan saya njarem semua. Alhamdulillah. Puji Tuhan. Rahayu. Tidak sedikit pun.

Berarti tiap hari latihan otot kaki itu penting. Terutama bagi orang tua. Otot kaki adalah musuh utama orang tua. Mas Yanto Cirebon juga tidak merasakan njarem. Ia pesepeda yang andal. Setara dengan Azrul Ananda, anak menantunya Pak Iskan itu. Mas Yanto memang sering ikut event bersepeda jarak jauh. Pun ke puncak Gunung Bromo. Juga tur 1.200 km sebelum Ramadan. Otot kaki perlu dilatih tiap hari. Saya melakukannya lebih efisien dibanding anak menantunya Pak Iskan itu. Cukup satu jam. Cukup di lapangan yang sama. Tidak harus memakan jalan raya ratusan kilometer. Bahkan pun ketika lagi di luar negeri tetap bisa saya lakukan. Kalau perlu hanya di ruang sempit di depan lift. Khususnya di musim yang masih dingin seperti sekarang ini. Dengan kaki seperti itu perjalanan Safari Ramadan 3 jam berikutnya pun tidak terasa lelah. Apalagi, sepanjang perjalanan itu, Kang Sahidin suka nyanyi lagu dangdut. Ia duet bersama Rhoma Irama dari bluetooth. Atau duet dengan Nela Kharisma. Nicky, geulis Sunda kelahiran Surabaya yang pernah ikut perusuh ke Cikeusik itu suka duet dengan Doel Sumbang. Saya minta sesekali diselingi ABBA. Tapi istri saya protes. Dia pilih rekaman salat tarawih dari Makkah. Lalu ada kompromi: salawat Habib Syech. Safari Ramadan pun melintasi Panjalu. Waktu dulu ke Panjalu, Kang Dadan sempat ragu apakah ikut menyeberangi danau. Ke pulau kecil di tengahnya. Pulau yang dikeramatkan. Ada makam nabi kecil di dalamnya, termasuk satu di antara 600 nabi di Nusantara. Orang Tasik banyak yang tidak mau menyeberangi danau kecil yang teduh dan rimbun itu. Seperti orang Madiun yang percaya kalau kawin jangan memilih wanita di sebelah timur sungai Brantas. Kali ini kami tidak ke Danau Panjalu. Nicky masih jomblo. Jangan sampai tidak ketemu jodoh. Maka kalau di situ lagu dangdut di mobil dihentikan itu bukan karena takut yang keramat itu. Memang sudah waktunya ganti lagu Sunda yang Kang Sahidin hafal semuanya. Itu sekaligus pertanda tidak lama lagi sampai Sirna Rasa. Bukan untuk yang pertama. Inilah pusat aliran tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah. Mursyidnya: Abah Ghaos. Ia putra Abah Anom, sang ''pintu ke 37'' jalan menuju Tuhan. Berarti Abah Ghaos adalah pintu ke-38. Sedang Abah Sepuh, kakek Abah Ghaos, adalah pintu ke-36. Anda sudah tahu: pintu nomor 2 nya adalah Syayidina Ali bin Abi Thalib. Yang tewas dibunuh di Makkah. Lalu pintu ke-3 nya Husein, putra Ali, yang juga tewas dibunuh di padang Karbala. Kepalanya dipenggal. Ditendang sana-sini. Lalu dibawa ke Damaskus, Syria. Untuk dipersembahkan ke khalifah Muawiyah sebagai tanda musuh besarnya telah tiada. Kalau sempat ada yang mengharamkan sepak bola itu karena bola dibayangkan sebagai kepala Husein. Pintu menuju Tuhan itu dibawa ke Indonesia setelah sekian generasi mursyid berikutnya. Yakni sejak pintu ke-34. Semua nama yang jadi pintu itu selalu didoakan dalam ritual tawasul oleh pengikut Qadiriyah Naqsabandiyah. Beberapa nomor pintu yang terkenal Anda juga sudah tahu:  Zainal Abidin, anak Husein dan Syech Abdul Qadir Jailani, pintu ke-19. Saya pernah ke makam Syeh Abdul Qadir Jailani di Baghdad. Juga ke makam Husein dan saudaranya, Hasan, di Kufah. Lewat Karbala. Saya selalu terharu membaca sejarah yang penuh tragedi di kawasan itu. Tentu aliran tarekat yang lain juga memiliki pintu-pintunya sendiri. Banyak yang merasa mendapat amanah sebagai pemegang kunci pintu itu dari pemegang sebelumnya. Mereka juga merasa sebagai pemegang kunci pintu yang paling asli. Begitulah natural di kalangan tarekat. Terpecah-pecah. Terbagi-bagi. Bersel-sel. Kian ke bawah pecahannya kian banyak. Setidaknya ada 47 aliran tarekat yang dianggap muktabarah di Indonesia. Sisi baiknya: mereka mau bergabung ke dalam asosiasi tarekat muktabarah Indonesia. Ketuanya: KH Habib Luthfi Pekalongan. Anggota aliran tarekat itu punya pintu sendiri-sendiri di rumah yang satu. Kelompok yang paling anti tarekat punya kata ejekan yang menyakitkan: mau berhubungan dengan Tuhan saja kok lewat calo. Kenapa tidak langsung saja. Seorang mursyid, sebagai pemegang kunci, dianggap calo Tuhan. Begitulah hidup beragama. Begitu banyak pandangan. Begitu banyak cara bertuhan. Semua punya dalilnya sendiri-sendiri. Maka tidak saling memusuhi dan menghina adalah jalan menuju Tuhan yang sebenarnya. Yang saya gembira di Sirna Rasa adalah: Abah Ghaos terlihat sehat dan segar. Wajah beliau rileks dan cerah. Dari beliau saya banyak mendapat cerita bagaimana Presiden Soeharto meminta Abah Anom ke Cendana. Di Cendana Abah Anom membaptis Pak Harto. Istilah tarekatnya: menalkin. Tidak lama setelah itu, kata Abah Ghaos, Pak Harto mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Lalu membangun 999 masjid Pancasila di seluruh Indonesia. Sejak itu tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah selalu mendukung pemerintah. Mendukung Golkar. Kali ini, saya lihat, ada spanduk besar Anies Baswedan di seberang Sirna Rasa. Ketika saya di kamar khusus Abah Ghaos, seorang eksekutif bank ingin bersalaman. Diminta masuk. Saat itulah saya tahu sikap Abah Ghaos soal bunga bank: tidak termasuk riba yang dilarang agama. Tarekat artinya ''jalan''. Yakni jalan menuju Tuhan. Banyak jalan ke Roma, meski hanya ada satu Rhoma Irama. Ia selalu bersama di Safari Ramadan ini. (Dahlan Iskan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: