RIP Om Rudy
AWAL JANUARI 1990 saya mendapatkan tugas untuk membangun surat kabar harian pagi ManuntunG, yang berkantor pusat di kota Balikpapan. Ketika itu ManuntunG memasuki usianya yang ketiga.
Surat kabar ManuntunG sudah dua tahun diterbitkan secara harian. Sebelumnya terbit sekali seminggu. Setelah dua tahun diterbitkan harian, koran ManuntunG sangat lamban perkembangannya. Bahkan ketika saya ditugaskan membenahi, baru seminggu berada di Balikpapan ternyata koran ManuntunG tidak bisa dicetak. Penyebabnya: tidak punya duit untuk beli kertas koran!! Maka saya ajak semua pimpinan koran ManuntunG untuk rapat di kantor Samarinda. Saya tegaskan, sejak hari itu saya lah pimpinan tertinggi di koran ManuntunG. Alasannya: saya lah satu-satunya orang yang berpengalaman paling lama mengerjakan koran harian. Saya sebelumnya sudah delapan tahun bekerja di surat kabar harian Jawa Pos di Surabaya. Nah, sepulang dari rapat di Samarinda itu, dalam perjalanan kembali ke Balikpapan saya banyak berdiskusi dengan Rizal Effendi, redaktur senior koran ManuntunG, yang saya minta mendampingi saya untuk rapat di Samarinda itu. Saya minta kepada Rizal untuk mengenalkan saya dengan orang berduit di Balikpapan. Saya akan pinjam duitnya untuk membeli kertas koran. Setibanya di Balikpapan, Rizal langsung mengajak saya menemui yang bernama Rudy Suardana, di rumahnya di kawasan Jalan Gunung Sari. Keakraban Rizal dengan Om Rudy, demikian Rizal akrab menyapa Rudy Suardana, yang membuat kami langsung diterima malam itu juga, di rumah Om Rudy yang juga kantor utama dealer mobil dan motor merek Suzuki. Tanpa basa-basi, saya langsung sampaikan maksud kami menemui Om Rudy. "Om, mohon pinjami kami duit lima juta rupiah untuk beli kertas koran. Supaya koran ManuntunG bisa diterbitkan lagi secara rutin," kata saya kepada Om Rudy. "Memangnya cukup lima juta rupiah untuk menerbitkan koran secara kontinyu," tanya Om Rudy. Pertanyaan Om Rudy itu langsung membuat saya lega. Karena semula saya membayangkan akan ditanya bagaimana cara melunasi pinjaman lima juta rupiah itu dan berapa lama? Pertanyaan Om Rudy itu sebenarnya menawarkan kepada kami untuk meminjam duit lebih banyak. Sekalian lima belas juta rupiah, misalnya. Tetapi saya memutuskan untuk tetap meminjam duit lima juta rupiah saja. Yang bisa untuk membeli 10 rol kertas koran. Yang sudah bisa untuk menerbitkan koran ManuntunG selama sebulan ke depan, dengan mencetak setiap hari 1500 eksemplar. Kertas koran sebanyak 10 rol, yang kami beli esoknya itu, baru tiba di Balikpapan tiga hari kemudian. Alhamdulillah, dengan kertas koran yang kami beli dengan duit pinjaman dari Om Rudy itu, koran ManuntunG bisa terbit rutin setiap hari. Bahkan berkembang pesat, hingga hari ini. Ketika saya akan mengembalikan duit pinjaman lima juta rupiah itu, Om Rudy dengan senyumnya yang mengembang mengatakan, duitnya tidak perlu dikembalikan. Cukup dibayar dengan menerbitkan iklan produk-produk otomotif merek Suzuki. "Saya sangat senang melihat orang-orang muda seperti kalian bisa mengembangkan usaha dan bertanggung jawab terhadap kewajiban," kata Om Rudy kepada saya dan Rizal yang menemui beliau sebulan kemudian. Om Rudy yang sudah ikut menghidupkan koran ManuntunG itu, Rabu tadi pagi, menghembuskan nafas terakhir di Mount Elizabeth Hospital Singapura. Rencananya akan dimakamkan berdekatan dengan makam istri beliau di pemakaman Puncak Nirwana, Purwosari, Jawa Timur. Om Rudy dan istri adalah orang-orang baik dan penyayang. Saya ingat suatu hari bertemu dengan Tante Rudy di lobi hotel Senyiur Balikpapan. Saya diminta menunggu sebentar oleh Tante Rudy. Tak lama kemudian Tante Rudy datang lagi dengan membawa sekeranjang roti buatan koki Hotel Senyiur yang semuanya lezat. "Ini roti bawa pulang, untuk istri dan anak-anak di rumah," pesan Tante Rudy. Beristirahat lah dalam damai (Rest in Peace/R.I.P) Om dan Tante Rudy. Semua kebaikan Om dan Tante kami kenang selamanya. (zam)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: