F1 H20
TOBA dapat hadiah istimewa yang tidak kalah dengan Mandalika: F1 Power Boat. Minggu depan. Tiga hari. Tanggal 24 sampai 26 Februari 2023.
Saya sudah sering nonton F1, tapi belum pernah tahu F1 H20. Inilah jenis F1 tapi di atas air: tahun ini di Indonesia. Di danau Toba. Di Balige, Sumut. Motor balapnya berupa speedboat. Dengan kekuatan besar. Baru sekali ini Toba menjadi ajang acara wooww tingkat dunia. Sukses Motor GP di Mandalika, Lombok, rupanya bisa diloncatkan jauh ke barat: ke Toba. Toba memang ibarat icon dunia yang belum ada isinya. Kini isi-bergizi itu dimasukkan ke Toba. Nama besar Toba yang selama ini seperti belum ada ruh-nya kini ditiupkan roh itu. Anda sudah tahu: Toba adalah danau vulkanik terbesar di dunia. Ada pulau Samosir di tengahnya. Danau ini juga termasuk yang terdalam di dunia. Letak Toba yang di ketinggian 900 meter dari permukaan laut, menerjunkan air melimpah ke sungai Asahan. Air terjun di Asahan inilah yang menghasilkan listrik dalam jumlah besar: 600 MW. Harga listriknya murah. Membuat Jepang mau mendirikan pabrik alumunium, Inalum, di Kuala Tanjung. Air limpahan dari PLTA pertama itu kembali ke sungai Asahan. Dipakai lagi untuk membangkitkan listrik di PLTA berikutnya. Yang lokasinya lebih rendah dari PLTA pertama. Lalu dipakai lagi untuk PLTA ketiga, di posisi Asahan yang lebih rendah lagi. Kelak masih bisa dibangun dua PLTA lagi di bagian lebih hilir Asahan. Toba telah menghidupkan ekonomi di hilir Asahan. Tapi belum maksimal dalam menghidupkan ekonomi di sekitar danaunya sendiri. Wisata Toba belum sesukses nama Besarnya. Kini Toba dicoba dihidupkan dengan nafas besar: F1 Power Boat (F1 H20). Acara besar ini memaksa Toba membenahi diri. Dermaga wisata utama Toba dibangun baru. Tidak lagi hanya dermaga kayu. Lalu dibangun dermada baru lagi di sebelahnya. Khusus untuk F1 Power Boat nanti. Meski panjang (keliling) pantai danau Toba itu lebih dari 300 km tapi bagian yang ramai hanya yang di sisi timur. Itulah pantai 'down town' danau Toba. Banyak penduduk di sisi ini. Kini bagian yang dulu kumuh itu terasa lapang. Lebih tertata. Lebih rapi. Down town pantai Toba ini disebut Mulia Raja. Zaman dulu, Raja Napitupulu, pemilik tanah di situ, menyerahkannya ke pemerintah. Jadilah dermaga wisata utama. Dermaga Mulia Raja. Di dekat dermaga ini ada lapangan sepak bola. Itulah lapangan Lumban Silintong. Lapangan rumput. Untuk main sepak bola. Kalau nendangnya sekuat Hulk, bolanya bisa sampai ke danau. Lapangan ini juga sering untuk pentas apa saja. Termasuk musik dan hiburan rakyat. Saya pernah satu panggung dengan Judika di lapangan ini: ia yang menyanyi saya yang mengagumi. Sekarang, lapangan rumput itu sudah dibeton. Di atas beton itu dibangun tribun besar. Itulah tribun utama untuk penonton VIP F1 H20. Kursi-kursi sudah dipasang: menghadap danau, menghadap dermaga. Beda dengan Mandalika yang panas, udara danau Toba dan sekitarnya sangat sejuk. Berada di sekitar Toba serasa di Swiss. Sejak, indah, damai. Apalagi pemandangan sekitar Toba juga bergunung, berlembah dan berbukit. Itu ibarat ratusan gadis telanjang dicat hijau yang berbaring telentang. Sejauh mata memandang serba hijau menyejukkan. Tuhan telah memasang AC untuk menyejukkan seluruh kawasan Toba, yang kalau buatan manusia perlu listrik, entah berapa juta mega. AC itu seperti disia-siakan wisatawan: mengapa sedikit yang datang ke Toba. Memang untuk ke Toba, di masa lalu, sangat sulit. Bandara terdekat waktu itu, Medan. Masih perlu berkendara 4 jam dari bandara lama Medan. Lalu daya tarik Toba ya hanya danau itu. Dan AC-nya. Kini bandara Medan sudah dipindah ke Kualanamu. Bisa memotong waktu 1 jam. Bahkan kini sudah ada bandara baru di ''bibir'' Toba: Bandara Silangit. Tidak sebesar Kualanamu namun sudah bisa didarati Boeing 737. Sudah banyak penerbangan dari Jakarta langsung ke Silangit. Ada Citilink. Ada Batik. Ada Air Asia. Tiap hari. Silangit masih perlu keputusan baru: membuatnya menjadi bandara internasional. Dari Singapura hanya 1 jam ke Silangit. Dari Kuala Lumpur hanya 45 menit. Dari Penang hanya 30 menit. Toba perlu kunjungan wisata dari kota-kota itu. Tentu harus banyak acara. Yang sifatnya bisa menarik wisatawan asing. Juga perlu atraksi tambahan yang bisa menahan wisatawan lebih dari 1 hari. Itu tidak mudah. Down town pantai Toba sudah dikuasai perorangan. Milik warga desa. Penuh rumah. Kecil-kecil. Ada yang masih berupa sawah. Ditanami padi. Juga dengan petak-petak kecil. Jenderal Luhut Panjaitan punya sekolah unggulan di dekat danau ini: Unggul Del. Terkenal sekali namanya. Tinggi sekali mutunya. Jendral TB Silalahi juga punya sekolah unggulan dan museum Batak. SMA Soposurung. Dua sekolah ini seperti bersaing terbaik bagi Balige dan Tanah Batak dan Indonesia. Tidak adanya lahan kosong yang luas milik negara maupun swasta di Toba jadi faktor penyulit untuk penambahan fasilitas wisata kelas dunia si sana. Lahan-lahan perorangan di bibir danau itu belakangan banyak dibuat cafe. Setidaknya ada 20 kafe. Kalau Anda ke kafe ini, Anda bisa minum kopi sekalian melihat F1 H20. Untuk acara besar nanti pemerintah mengizinkan pemilik lahan di situ untuk menampung penonton. Maka bermunculanlah tribun-tribun perorangan untuk F1 H20 minggu depan. Misalnya tribun Pardede Kempes. Ini dibangun Pardede di tanahnya yang menghadap ke danau. Tentu tribun-tribun perorangan tersebut harus seizin panitia/Pemda. Juga harus lulus persyaratan pengaturan kursi dan keamanan penonton. Penjualan tiketnya pun harus terkoordinasi di website yang sudah disetujui. Salah satunya website milik Sahabat Disway di sana: tobaexperience.id/ticket. Pemerintah memang mengakomodasikan kepentingan ekonomi rakyat di acara ini. Akan ada display produk UMKM lokal, pun di tribun VIP. Sahabat Disway itu, Eko Pardede, menyiapkan oleh-oleh khas Balige/Toba. Yakni bolu gulung. Ia beri merk Boan. "Kalau diucapkan dua kali bisa berarti oleh-oleh," ujar Eko Pardede yang juga akan menyajikan kopi khusus dari Toba: Hutanta Coffee. "Usaha kami babak belur selama pandemi. Maka F1 H20 ini kami jadikan titik balik," ujar Pardede. Pardede masih ingat: dulu saya sering mengucapkan kalimat berikut ini. "Terlalu banyak tokoh nasional dari Batak, tapi terlalu sedikit proyek nasional di tanah Batak". Jadilah Silangit bandara yang memadai. Dan kini Toba mendapatkan menu yang setara dengan nama besarnya. Lalu apakah ini untuk yang terakhir kalinya? (Dahlan Iskan)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: