Jejaring Media Sosial dan Propaganda Berbahaya

Jejaring Media Sosial dan Propaganda Berbahaya

KOTA Medan lagi. Rabbial Muslim Nasution, seorang pengendara yang diduga berprofesi sebagai ojek online dari jaket yang digunakannya, mengakibatkan enam orang terluka setelah bom yang dililitkan ke tubuhnya meledak di kantor Mapolrestabes Medan, Rabu (13/11) lalu. Pelaku disinyalir belajar merakit bom melalui kanal media sosial yang dia ikuti.

Beragam platform media sosial yang berisi tentang propaganda radikalisme tidak dipungkiri cukup mudah ditemukan. Dan jelas acapkali memiliki keterkaitan dengan berbagai perisitiwa pengeboman yang terjadi di tanah air dan di tempat lainnya.

Jika kemudian seseorang menemukan hal-hal yang tidak biasa dari dunia maya (seperti yang kita semua sering juga lakukan), pertanyaannya kemudian adalah apakah kita secara personal akan mengikuti konten tersebut atau tidak.

Semua itu tentunya tergantung pada jawaban masing-masing individu. Namun, hal ini juga mengarah pada satu pertanyaan penting bagi kita semua: Bagaimana terorisme masih berkembang dengan sangat mudah secara online?

Jawabannya tersimpul pada dua hal.

Yang pertama adalah bahwa kondisi ini sudah terlanjur parah, mengerikan dan tidak mungkin lagi diperbaiki. Dimana Pemerintah Indonesia, dengan segala kekuatan dan kemampuannya, telah dibuat tidak berdaya menghadapi masifnya propaganda terorisme yang luar biasa licik.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang merupakan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab penuh untuk mengkonter propaganda terorisme. Didirikan sejak tahun 2010 lalu. Badan ini juga bertugas memerangi paham radikalisme yang bertebaran di dunia maya.

Namun masalahnya, BNPT dan badan-badan penanggulangan terorisme lainnya nampak kalah dalam konteks jangkauan pesannya, daripada akun-akun kelompok yang mendukung gerakan radikalisme ini.

Pada tahun 2016 lalu saja, Twitter melaporkan telah menutup sekitar 325 ribu akun yang berafiliasi dengan gerakan radikalisme. Bandingkan dengan BNPT yang hanya memiliki sepertiga pengikut dari jumlah tersebut.

Belum lagi Facebook, YouTube, Telegram, dan platform media sosial lainnya. Sejumlah ilmuwan dari University of London melaporkan bahwa pada tahun 2015 saja kelompok radikalisme ini telah menyebarkan sekitar 1.300 video terkait gerakan mereka yang mudah diakses secara online oleh siapapun.

Pada dasarnya, gerakan radikalisme yang banyak dimotori oleh kelompok ISIS secara fisik telah mengalami kemunduran di bumi Irak dan Syria sana. Namun demikian, propagandanya semakin meningkat melalui kanal virtual yang subur di dunia maya.

Hal ini dikarenakan, mereka menyadari bahwa ISIS hanyalah sebuah ‘merek’ (brand); tetapi serangan teror adalah yang sesungguhnya dibutuhkan agar mereka tetap terjaga dalam kesadaran publik.

Bahwa meskipun kemudian negara mampu menangani hal tersebut, solusinya  bukan hanya sekedar melakukan propaganda tandingan. Hal ini dikarenakan, pemerintah Indonesia juga menghadapi tantangan lainnya; yakni kondisi internalnya sendiri.

Pemerintah hanya menjadi pihak terakhir yang didengarkan oleh mereka yang merasa diabaikan oleh negara selama ini. Sehingga meskipun pemerintah menggunakan bantuan pihak ketiga (seperti ormas Islam arus utama) untuk menghadang propaganda radikalisme; tetapi lagi-lagi suaranya tidak sekencang dan setegas para simpatisan gerakan tersebut.

Tidak akan mudah bagi pihak yang berwenang untuk menghentikan para RMN lainnya dari mengakses propaganda radikalisme. Dan ketika mereka menemukannya, maka besar kemungkinannya mereka akan sulit menghindari pengaruhnya karena telah memiliki paham yang serupa.

Lalu pemikiran kita secara alamiah akan berpikir, mencari sumber radikalisasi itu. Dimana mereka bisa dengan mudah mendapatkan berbagai informasi terkait hal tersebut. Dimana lagi kalau bukan di Facebook, Twitter, mesin pencari Google dan YouTube.

Dalam dengar pendapat kongres di Amerika Serikat pada 2017 lalu, terkait dengan peredaran berita bohong yang dihadiri oleh Facebook, Twitter dan Google; perwakilan Facebook mengakui bahwa sangatlah sulit bagi mereka untuk menelusuri semua pemasang konten apapun (juga yang berbayar) di platform mereka, apalagi mengawasi mereka yang mengkonsumsinya.

Jadi pada dasarnya, fakta yang mengerikan ini menjelaskan sekali lagi tentang bagaimana kekuatan media massa tersebut memposisikan diri. Apa dan bagaimana platform media sosial besar itu sebenarnya?

Mayoritas kita percaya bahwa media sosial merupakan platform yang bersifat lebih netral dalam konteks interaksi sosial, terkait identitas sosial yang teguh mereka dengungkan selama ini.

Namun ternyata tidak. Mereka tidak lebih dari entitas bisnis yang didesain untuk menghasilkan uang, dan cara mereka mendapatkan uang adalah dengan menyasar konten berbayar yang ditujukan kepada publik dan menjaga publik agar tetap berada dalam platform mereka selama mungkin. Melalui konten yang secara algoritme dikalkulasikan merupakan hal-hal yang publik sukai.

Hal ini nyata merupakan mode bisnis yang tidak bisa dengan serta merta mengacuhkan para pengiklan; dan dalam kasus radikalisme, menutup sebagian besar akun pengguna, terlebih lagi mengawasi mereka.

Karena semakin banyak orang yang menggunakan platform yang didesain untuk menghubungkan sebanyak mungkin pengguna (bahkan meskipun mereka menyebarkan propaganda atau hasutan kebencian), maka semakin besar hasil dan keuntungannya.

Perusahaan teknologi pada dasarnya memegang prinsip libertarian free speech model yang menentang sensor dan tentunya percaya dengan kebebasan berbicara. Meskipun perlahan-lahan mereka mulai menyamarkan idealisme ini, dan dalam beberapa tahun terakhir mulai menutup ribuan akun pendukung radikalisme di Twitter dan Facebook.

Namun semua itu belumlah memadai, jika melihat situasi yang terjadi saat ini. Masih banyak RMN lain yang bermunculan dari waktu ke waktu. Jaringan media sosial kiranya telah menjadi budak dari bisnis propaganda.

Berkali-kali pemerintah dan perusahaan media sosial tersebut berjanji akan mengungkap kepada publik siapa pemilik iklan dan akun yang acap menyebarkan faham radikalisme. Namun lagi-lagi, mereka hanya bisa menyasar akun yang bersifat korporat berbayar yang memiliki identitas jelas.

Dan jika tidak ada mekanisme hukum yang jelas dan kemauan yang keras, maka kita tidak akan pernah mampu menjangkau aktor-aktor penyebar kebencian sesungguhnya yang tumbuh subur di wilayah yang dijaga oleh para raksasa media sosial tersebut.

Berbagai upaya yang dilakukan oleh perusahaan teknologi tersebut terbukti belum menghasilkan output yang memadai. Maka inilah waktunya bagi pemerintah untuk membuat legislasi yang jelas mengenai hal-hal yang boleh dan tidak diizinkan untuk dimunculkan di platform media sosial di masa kini.

Mereka yang tidak mematuhinya harus mendapatkan sanksi yang berat dan sensor publik.

Namun demikian masalah radikalisme ini merupakan masalah global. Sebagaimana platform media sosial bersifat lintas negara, mereka tidak mengenal batas negara maupun juga jurisdiksi peradilan.

Oleh karena itu haruslah ada tindakan yang bersifat global juga. Seperti PBB ataupun badan dunia lainnya yang harus membuat kesepakatan terkait panduan ketat yang menentukan material apa yang harus dilarang muncul di platform media sosial.

Jika semua memang memiliki kemauan yang sama teguhnya untuk mengatasi terorisme, maka sesuatu seperti Paris Agreement akan bisa dihasilkan.

Sampai semua hal tersebut bisa diwujudkan, akan banyak RMN-RMN lainnya yang masih akan muncul yang akan terus meneror keamanan dan keharmonisan masyarakat, baik itu di Indonesia maupun negara lainnya.

Selain itu masih akan ada banyak individu lain yang menikmati hidup dalam ilusi palsu tentang arti beragama, sebagaimana yang kita telah lihat, yang berani mati dan menganggap nyawa orang lain tiada harganya. (*/dosen ilmu komunikasi Fisipol Unmul, Samarinda)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: