Lato-lato dan Kadisdik Purnomo

Lato-lato dan Kadisdik Purnomo

Dimana-mana, suara cetak-cetek, bergaung menggema. Pagi, siang, sore, malam. Suara itu diiringi tawa bahagia anak dan remaja. Bunyi itu muncul dari permainan mereka, lato-lato.

Tapi ada pula orangtua yang turut memainkannya. Lantas, lato-lato menjadi permainan viral se-Nusantara. Di masa kecil, saya tak pernah merasakannya. Di Jakarta, lebih populer permainan konvensional lainnya. Sekitar 1980-an, saat masih sekolah dasar, seingat saya tak ada nama lato-lato. Mungkin sebagian hanya menyebut bola tektok saja. Itu di Jakarta. Saya kurang tahu di daerah lain. Karena penasaran, saya coba mengulik sejarah permainan ini. Ternyata berasal dari Amerika. Mengutip laman Antara, sejarah lato-lato berawal dari negeri Paman Sam. Di sana, permainan ini disebut sebagai clackers, ker-bangers, clankers, click-clacks, atau knockers. Istilah lain merujuk pada dua bola yang dibenturkan dua utas tali. Cara bermainnya sama. Tujuan permainan awalnya dibuat untuk mengajari anak-anak berlatih koordinasi tangan dan mata. Bahkan, permainan ini dibuat lomba antar negara di Eropa. Era 70-an, digelar kejuaraan dunia lato-lato. New York Times pernah menerbitkan catatan sekitar Agustus 1971, yang melaporkan soal kejuaraan dunia clackers. Permainan bersejarah tersebut dihelat di Italia, di desa Calcinatello, dekat Brescia. Permainannya dijadikan kompetisi dunia, perlombaannya diikuti peserta dari pelbagai negara. Mulai Inggris, Belanda, Kanada, Swiss, sampai Belgia. Mereka berlomba adu lihai lato-lato di mata dunia. Di Indonesia sejarah lato-lato juga sudah tua, era 1970-an, mulai populer era 90-an. Namun, ternyata namanya berbeda-beda. Tergantung daerahnya. Di Jawa, dikenal tok-tok. Orang Sunda, menyebut lato-lato dengan nok-nok, kalau di Jakarta bola tektok.  Sekarang, clackers di Indonesia lebih populer dengan sebutan lato-lato. Nama ini berasal dari bahasa Bugis. Lalu berubah menjadi katto-katto di Makassar. Di luar dugaan, lato-lato menjelma jadi mainan paling viral seantero Republik ini. Dalam sekejap, nyaris semua anak ingin punya lato-lato. Juga orang dewasa. Dan sampai sekarang, saya masih tak mampu memainkannya. Sulit sekali rasanya. Meski berkali-kali mencoba. Benar-benar kalah dengan anak balita. Tapi saya gembira melihat mereka bermain fisik dengan riang. Meninggalkan gawainya. Meninggalkan tontonan joget lebay dari Tiktoknya. Bermain bersama teman-temannya. Menghindari gempuran game-game online yang menggoda mereka. Akhirnya setelah sekian purnama, muncul lagi mainan sungguhan, bukan app, bukan digital. Permainan yang membuat membuat anak-anak Indonesia perlahan bergerak meninggalkan gawai. Meski sejenak, dari bocah sampai orang dewasa teralihkan dari ponsel atau gadget mereka. Tetapi sayang, di tengah kegandrungan generasi Indonesia kembali ke permainan fisik, mulai ada yang menyebarkan berita betapa berbahayanya lato-lato. Ada pula sebaran informasi anak buta gegara main lato-lato, belakangan kabar itu hoaks semata. Ternyata bukan buta, tapi memang sakit mata. Dan bukan gegara lato-lato. Tapi dalam sekejap, lato-lato telah menuai kontroversi. Orang tua yang awalnya mendukung mulai was-was atas beredarnya informasi itu. Bahkan, sejumlah sekolah di Balikpapan ada yang langsung melarangnya. Bunyinya dianggap mengganggu, lalu ada potensi bahaya bagi sekeliling atau yang memainkannya jika dimainkan tanpa kesadaran ruang dan waktu. Padahal selama hampir satu dekade, sudah terlalu banyak orang tua yang mengeluhkan anak-anaknya tidak bisa melepaskan perhatian mereka dari gadgetnya. Tapi saat kembali muncul permainan fisik, anak-anak menyambut riang, amat sayang kalau dilarang. Kalau mau fair: seluruh permainan berpotensi risiko kan. Kolam renang bisa bikin anak-anak tenggelam. Main sepeda bisa jatuh dan celaka. Main sepatu roda, apalagi. Mainan balon pun punya potensi bahayanya, orang bisa kaget saat meletus, dan memicu jantungan atau kecelakaan. Berlari-lari di sekolah bisa jatuh dan terluka. Naik tangga ke ruang kelas di lantai atas bisa terpeleset, dan cedera. Semua punya potensi bahaya. Tinggal bagaimana pengawasannya saja. Begitu juga dengan permainan balok, yang jelas aman tapi tetap ada potensi risikonya jika anak kecil menelannya. Semisal sang kakak bermain balok susun, adik yang batita bisa menelan balok plastiknya. Sekali lagi, semua permainan punya potensi bahaya. Tinggal bagaimana orangtua mengawasinya. Bukan ujug-ujug langsung melarangnya. Kalau apa-apa dilarang, kasihan sekali generasi bangsa ini. Setiap hari dijejali gempuran game-game online dan varian aplikasi yang bisa menganggu mental dan jiwanya. Pandangan Para Pakar Para pakar sosiolog saja mendukung lato-lato. Semisal Sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta, Dr. Drajat Tri Kartono, M.Si. Ia menilai fenomena lato-lato bisa menjadi peluang kembalinya permainan jadul, seperti gobak sodor dan petak umpet. Ia tertarik bagaimana reproduksi sosial bisa terjadi dan memori permainan lama bisa dihidupkan kembali, ujarnya dilansir Merdeka, Rabu (11/1). Begitu pula Ketua Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Hery Wibowo. Ia menilai permainan lato-lato menjadi momentum terbaik bagi orang tua untuk sedikit  melepaskan anak dari ketergantungan bermain gadget atau telepon seluler. Dengan demikian, anak menjadi sedikit terhindar dari potensi negatif yang bisa dialami ketika terlalu banyak bermain gawai. “Lato-lato mampu membangun interaksi sosial. Berbeda dengan permainan berbasis perangkat seperti HP, tablet, atau perangkat lainnya. Lato-lato lebih menyenangkan untuk dimainkan bersama-sama,” ujarnya, dikutip dari laman Unpad, Senin (9/1). Psikolog UGM Prof Koentjoro punya pandangan lain. Ia justru meminta sekolah agar memfasilitasi siswa terkait hobi bermain lato-lato secara aman, salah satunya mengadakan lomba bermain lato-lato. Menurutnya hal itu justru akan mengajarkan anak bagaimana bermain secara jujur dan sportif. Menurutnya, bermain lato-lato dapat mengurangi ketergantungan anak pada handphone. Permainan itu dapat melatih konsentrasi, ketangkasan fisik, kepercayaan diri, dan sosialisasi. Namun hal itu tak lepas dari peran orang tua untuk selalu memberi pengawasan saat anak memainkan lato-lato. Banyak yang menilai, lato-lato mampu melatih kinestetik, team work, koordinasi otak, dan pelbagai nilai positif yang dibutuhkan bagi perkembangan anak. Permainan konvensional, sangat banyak manfaatnya. Ini berlangsung zaman ke zaman. Justru yang berbahaya ketika anak tergantung pada gadget. Selain perkembangan otak bisa terhambat; psikologis, mental dan jiwanya juga bisa terganggu. Teramat banyak kasus-kasus menyedihkan yang menimpa anak dan remaja karena ketergantungan pada gawai. Karena itu, saya begitu gembira ketika Kadisdik aka Kepala Dinas Pendidikan Balikpapan, Pak Purnomo, tidak ikut latah pada sejumlah sekolah yang telah melarangnya. Saya sangat mengapresiasinya. Pak Purnomo enggan menerbitkan kebijakan larangan. Dengan bijak, justru mengingatkan para guru harus selalu mengingatkan dan mengimbau tidak bermain lato-lato saat jam pelajaran dimulai. “Tidak ada perintah untuk melarang siswa bermain atau membawa barang tersebut. Jadi sampai saat ini tidak ada larangan untuk membawa atau bermain lato-lato. Jika ada anak-anak bermain permainan tersebut terluka. Itu resiko bermain. Jadi jika tidak mau terluka, maka jangan bermain permainan itu,” tegasnya pada awak media, Rabu (11/1). Tegas, lugas dan objektif sekali pemikirannya. Saya pun sepakat dengan pandangan Psikolog UGM Prof Koentjoro. Justru permainan ini harusnya difasilitasi. Dibuat lomba-lomba di sekolah. Seperti di SD Negeri 005 Balikpapan Utara. Bahkan STT Migas Balikpapan, ikut pula menghelat lomba lato-lato dengan varian kategori: dari TK sampai orangtua, dengan hadiah total ratusan juta. Posternya pun menampilkan influencer Balikpapan: Si Ngerik. Atau yang lebih dulu telah dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Manggar Baru. Yang memanfaatkan hari libur sekolah dan libur Natal 2022 lalu, dengan menggelar lomba lato-Lato di halaman gedung Kelurahan Manggar Baru. Lato-lato tak perlu dilarang. Tapi, diawasi, difasilitasi. Pada akhirnya, akan berhenti sendiri, berganti musim permainan lainnya. Mumpung masih hangat, inilah momentum menarik generasi dari ketergantungan gawai. Momentum menghidupkan kembali permainan klasik. Mengajak mereka mengakrabkan dan mencintai permainan fisik. Mudah-mudahan aneka permainan konvensional lain akan ikut bangkit kembali. Dan menyeruak lagi ke seantero negeri. Kalau perlu, Pak Purnomo bisa menggelar lomba lato-lato untuk pelajar se-Balikpapan. Mungkin bisa dilakukan sebagai salah satu rangkaian untuk Memperingati HUT ke-126 Balikpapan, pada 10 Februari mendatang. Gimana, Pak? Saya yakin, banyak pesertanya. Boleh jadi pakar psikolog dan sosiolog juga akan mendukungnya. Kalau perlu, gandeng juga perusahaan swasta untuk membantu menjadi sponshornya. Dan media, bakalan siap memblow up-nya. Siapa tahu, Balikpapan bisa menjadi pilot project menghidupkan kembali permainan tradisional. Yang sudah teramat lama dikubur gadget. Yang penting, ketatkan pengawasan orangtua. Dan segera ganti kalau lato-latonya sudah mau retak. Apapun permainannya, kalau berlebihan juga tidak mendatangkan kemanfaatan. Jadi, selalu diawasi dan waktunya tetap dibatasi. (rudi agung/ penikmat kopi hitam)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: