Mengenang 18 Tahun Tsunami Aceh

Mengenang 18 Tahun Tsunami Aceh

Oleh: dr. Leli Hesti Indriyati, MKK – Mahasiswa doktoral di Kochi University, Jepang. Nomorsatukaltim.com - Hari ini, kalender menunjukkan tanggal 26 Desember. Hari ketika luka, duka dan lara mendalam terjadi. Hari ketika datang tragedi besar, kenangan kelam yang tak akan terlupakan sepanjang hidup: tanah Serambi Makkah luluh lantak dihantam amukan tsunami Aceh. Gempa dan tsunami sesudah Hari Natal 2004 sangat miris dan dramatis dalam jejak kehidupan modern. Sulit dicerna akal sehat, tapi itulah kekuatan Allah Ta’ala. Saya masih ingat dengan jelas awal menginjakkan kaki di Banda Aceh 18 tahun lalu, saat menjadi relawan. Atau tepatnya dua minggu usai kejadian maha dahsyat itu terjadi. Ya, tsunami adalah yang saya maksud. Saya saksikan sendiri bagaimana luluh lantaknya Aceh setelah tsunami berlangsung. Saat pertama kali datang, kota Banda masih seperti kota mati apalagi saat malam hari. Separuh kota masih gelap gulita, kantong mayat masih ditemukan di jalan, sebagian besar puing reruntuhan masih mudah dijumpai di mana-mana. Bahkan beberapa kapal kayu besar masih saya tampak “nyangsang” di tengah jalan tanpa ada yang berusaha memindahkannya. Ya. Saat itu, tentu saja semua kegiatan masih berfokus pencarian jenazah dan penyelamatan serta penyembuhan korban yang masih hidup. Masih dengan jelas terekam pada korban yang saya temui, bagaimana trauma mereka terhadap kejadian tersebut. Akibat tsunami Aceh, tampaknya semua perhatian di dunia tertuju ke sana. Saat itu dengan mudahnya saya temui berbagai teman relawan dari seluruh penjuru dunia. Semua orang dari berbagai benua rasanya ada disana, baik lembaga resmi pemerintah (government) maupun yang bukan (NGO). UN (United Nations) pun bahkan turun tangan langsung menangani korban tsunami . Namun buat saya pribadi, yang paling berjasa adalah para tentara kita (TNI). Tentu saja saya tidak bermaksud mengecilkan jasa semua relawan yang bahu membahu membantu korban dan memulihkan kondisi pasca tsunami. Dua bulan kemudian saya kembali ke Aceh, saat ini saya tinggal lebih lama dan ditempatkan di posko luar (di luar kota Banda) yakni di kota Nagan, 1 jam dari Meulaboh: kota lain yang tidak kalah rusaknya dari Banda Aceh. Saya pikir kedua kota itu sudah cukup membuktikan dahsyatnya kejadian tsunami 26 Desember. Ternyata, saya salah. Ada kota lain yang menurut saya jauh lebih luluh lantak, tak bersisa, tapi entah kenapa kurang terdengar dibanding Meulaboh atau Banda. Kota yang saya maksud adalah Calang yang masuk dalam wilayah Aceh Jaya. Selama saya tinggal di posko luar saya harus mengadakan perjalanan ke teman relawan di posko-posko luar lain sepanjang pantai Barat Aceh. Mulai dari Lambaro, Lampu’u, Lhok Nga, Lamno, Lhok Ruet, Panga, Calang, Meulaboh sampai posko saya di Nagan. Itu adalah daerah-daerah dimana jejak tsunami jelas terekam di sepanjang perjalanan yang saya tempuh. Jangan tanyakan bagaimana perjalanan itu kami tempuh, mengingat hancurnya semua infrastruktur yang ada. Kami bahkan pernah harus kembali ke posko awal, karena truk yang saya tumpangi tidak mampu meneruskan perjalanan. Saya percaya bahwa orang-orang Aceh adalah orang yang kuat, mereka orang-orang yang tegar. Sedemikian dahsyatnya cobaan yang mereka hadapi, namun mereka tetap ramah menyambut kami orang luar Aceh dengan senyuman. Tentu saja sesekali kesedihan itu jelas tampak, namun rasanya kami sendiri tidak cukup kuat menghibur mereka bila dalam diri mereka tak ada kekuatan yang mendekap. Saya belajar banyak dari mereka, berkasih sayang, dan memupuk persaudaraan dengan tetangga-tetangga saya di Aceh dahulu. Bahkan hingga hari ini kami masih tetap berhubungan baik, saling menyapa kabar layaknya saudara. Aceh sudah seperti rumah kedua buat saya. Karena itu alangkah senangnya saat beberapa tahun lalu saya menginjakkan kaki kembali di bumi serambi Mekkah ini. Kali ini, tentu saja bukan sebagai relawan. Dan lebih senang lagi saat melihat begitu banyak perubahan yang terjadi di sana… Begitu mengharukan melewati jalan dan bangunan yang dulu kami lewati bersama dan kini saya bahkan tak mengenalinya lagi karena sudah banyak perkembangan yang jauh lebih baik. Doa dan cinta saya buat Aceh. PS: dedicated to all the volunteers, Mak bit dan kelg, pak Hasyim dan keluarga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: