Ritel Menjamur di Kaltim, Izin dan Perlindungan Usaha Kecil jadi Sorotan

Ritel Menjamur di Kaltim, Izin dan Perlindungan Usaha Kecil jadi Sorotan

Nomorsatukaltim.com - Sejumlah daerah melaporkan adanya pelanggaran dalam izin operasional ritel modern. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menemukan indikasi perlakuan berbeda dari pemerintah. Menjamurnya ritel modern di berbagai daerah di Kalimantan Timur berdampak positif terhadap perekonomian. Di satu sisi, keberadaan toko-toko swalayan, juga mampu menyerap tenaga kerja. Namun keberadaan usaha ini perlu didukung regulasi yang jelas. Payung hukum ritel modern ini perlu diperjelas, mulai perizinan sampai persaingan usaha. Tujuannya, selain melindungi usaha rakyat, juga agar tidak menimbulkan disparitas harga dengan pasar tradisional. Kepala Kantor Wilayah V Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) Kalimantan Manaek SM Pasaribu menyebut, KPPU fokus memberi pengawasan terhadap perkembangan industri ritel modern. "Kami tetap melakukan pengawasan, termasuk mengenai harga. Jangan sampai harganya itu eksesif," ujarnya, Selasa (30/11/2021). Ia menyebut selama ini selalu berkoordinasi dengan dinas terkait. Seperti Dinas Perdagangan (Disdag) Balikpapan maupun dinas terkait lainnya. "Sudah ada yang namanya perizinan satu pintu, namun ternyata belum terlaksana dengan baik," ungkapnya. Manaek menyebut saat ini KPPU berusaha terus bersinergi dengan berbagai pihak, terkait implementasi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, nomor 11/2020. "Nah kebijakan yang baru inilah yang akan kita harmonisasikan dengan kebijakan persaingan usaha," katanya. Jangan sampai, kebijakan yang baru dari Omnibus Law, menggerus atau bertentangan dengan UU Nomor 5/1999 tentang praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Dengan harmonisasi regulasi, harapannya bisa  menekan disparitas harga barang-barang antara ritel modern dan pasar tradisional. DPRD Balikpapan juga menyoroti para pengelola ritel modern di Kota Beriman yang belum mengantongi izin. Sampai awal 2021, ada sebanyak 234 ritel di Balikpapan, namun baru 71 diantaranya yang sudah mengantongi izin. Sementara sisanya masih tanda tanya. Apakah dalam proses mengurus izin atau belum. Pentingnya perizinan usaha di bidang ritel, erat kaitannya dengan dampak lingkungan. Sekretaris Komisi II DPRD Balikpapan Mieke Henny membahas laporan masyarakat terkait perkembangan bisnis dan dampaknya kepada masyarakat sekitar operasional ritel. "Ada beberapa pelaku usaha ritel atau swalayan atau minimarket yang tidak mengakomodir tenaga kerjanya, kemudian limbahnya," ujar Mieke. Ia menyebut berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) 4/2016, tentang penataan dan pembinaan pasar rakyat, pusat perbelanjaan dan toko swalayan, mewajibkan agar pelaku usaha mengakomodir kepentingan masyarakat sekitarnya lebih dulu, sebelum melakukan kegiatan usaha. "Ini menjadi catatan kami. Kami akan mem-follow up dalam pertemuan yang akan datang. Khususnya dengan dinas terkait yaitu perizinan dan Satpol PP. Jadi tidak ada tebang pilih karena yang dilanggar ini adalah perda," ungkapnya. Politisi Demokrat itu meyesalkan pemkot yang dalam fungsi pengawasan dan monitoringnya belum maksimal. Sehingga ada ratusan usaha ritel luput dari kewajibannya mengurus surat perizinan. Akhirnya menimbulkan polemik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah operasionalnya. "Jadi tadi kita sudah bicarakan semua, soal UMKM (yang belum diakomodir), lahan parkir, limbahnya, CSR-nya dan sebagainya.  Hampir semuanya ditemukan tidak mengikuti Perda nomor 4/2016," urainya. Senada, Ketua Komisi II DPRD Balikpapan, Haris, sempat merasa perlu membuat panitia khusus (pansus) untuk menelusuri titik permasalahan perizinan ritel modern di Balikpapan. Apalagi jika ternyata dampak dari usaha ritel benar-benar memengaruhi kehidupan masyarakat di sekitarnya. "Dari 234 di data, yang patuh itu pengusaha lokal. Indomaret, Alfamart, Alfamidi, banyak yang enggak punya izin. Seharusnya ditertibkan," katanya. Ia membandingkan perlakuan antara pengusaha ritel dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Di mana PKL dianggap lebih rentan terkena sanksi penutupan dan penggusuran. Sementara ada indikasi terjadi pembiaran terhadap pengusaha ritel yang belum mengurus perizinannya selama sekitar dua tahun belakangan. "Setiap hari PKL itu ditertibkan, ternyata sudah berapa tahun ini (ritel) tidak memiliki izin tapi tetap beroperasi," katanya. Politisi PDIP itu menyebut, dari data yang ada, ternyata kurang dari 50 persen yang sudah mengurus perizinannya. "Saya meminta pemerintah melakukan ketegasan. Jangan hanya masyarakat kecil (yang ditindak). Tapi pengusaha-pengusaha ini ditertibkan juga," imbuhnya.

SIKAP DAERAH LAIN

Menjamurnya toko ritel berskala nasional juga menjadi sorotan Pemkab dan DPRD PPU. Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) PPU mencatat 30 persen toko modern di wilayah itu belum melengkapi izin. Meski begitu, Kepala DPMPTSP PPU, Alimuddin tidak bisa langsung melakukan penutupan karena harus melewati teguran sebanyak tiga kali. “Fungsi kami sebagai pembinaan. Untuk proses penutupan dilakukan secara bertahap,” kata Alimuddin, usai mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPRD PPU, Selasa (19/10/2021). Penutupan menjadi langkah terakhir pemerintah daerah, apabila tiga kali teguran tidak diindahkan. Sejumlah ritel modern sudah mendapatkan surat teguran, lantaran izinnya belum lengkap. Tidak hanya bagi toko ritel modern berskala nasional, Alimuddin menyatakan, kewajiban melengkapi perizinan juga berlaku sama untuk usaha sejenis. “Tak hanya yang ritel waralaba, toko modern lokal juga harus memiliki izin prinsip dan izin usaha. Tapi rata-rata mereka semua sudah memiliki izin,” katanya. Wakil Ketua II DPRD PPU, Hartono Basuki meminta pemerintah daerah melakukan pengendalian toko ritel modern. Menurutnya, jika keberadaanya dibiarkan, bisa berdampak terhadap usaha masyarakat. “Pengendalian ini dalam rangka melindungi pelaku ekonomi kita, bagi UMKM yang membuat produk ataupun yang usaha sejenis,” ujar Hartono. Menurut Hartono, pelaku ekonomi lokal belum siap bersaing dengan toko ritel modern. Sehingga diperlukan upaya agar tidak berdampak pada masyarakat ekonomi kecil. Penerbitan izin usaha untuk ritel modern mengacu Peraturan Bupati (Perbup) 71/2017. Regulasi itu mengatur soal keberadaan dan pendirian toko modern. Serta melihat kondisi dan dampak yang ditimbulkan bagi masyarakat. “Jika tidak diindahkan kita minta pemerintah melakukan sidak untuk menutup,” pungkasnya. Sementara pemerintah Kutai Barat menyatakan tengah berupaya membatasi keberadaan ritel modern. Kebijakan itu dilakukan untuk melindungi para pedagang kecil. “Pemerintah tidak menutup mata terhadap para pedagang kecil, karena itu pembangunan toko Indomaret ini tetap dibatasi agar tidak menjamur di semua wilayah,” ujar Sekretaris Daerah Kubar, Ayonius dilansir Disway News Network, baru-baru ini.

DAMPAK RITEL MODERN

Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil Menengah (Disperindag KUKM) PPU, Kuncoro mengatakan, di sisi lain, keberadaan ritel modern turut meningkatkan potensi daerah. Salah satunya melalui penjualan produk di ritel modern. “Sudah ada delapan produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang bisa menembus pasar ritel. Salah satunya, produk amplang dan gula merah,” kata Kuncoro. Sebelumnya, ada 13 produk UMKM diajukan ke Indomaret dan Alfamart.  “Dari 13 produk UMKM, ada dua yang disetujui Alfamart dan enam yang disetujui Indomaret,” sebutnya. Kuncoro menekankan, produk yang disetujui untuk masuk di toko ritel ini masih ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Kuncoro menyatakan, produk tersebut nantinya akan disebar seluruh gerai Indomaret dan Alfamart seluruh Indonesia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: