Lika-Liku Masalah Pupuk; Subsidi Dibatasi, Nonsubsidi Ikut Naik

Lika-Liku Masalah Pupuk; Subsidi Dibatasi, Nonsubsidi Ikut Naik

Petani di sejumlah daerah menjerit. Jatah pupuk subsidi yang biasa didapatkan petani justru dikurangi. Sementara harga pupuk nonsubsidi dinilai terlalu tinggi. nomorsatukaltim.com - Di Penajam Paser Utara (PPU), jatah pupuk subsidi yang diperoleh dari pusat hanya berkisar 30 persen dari kebutuhan pertanian. Kuota yang diberikan pemerintah pusat hanya cukup memenuhi kebutuhan lahan pertanian seluas 2 hektare. Sementara lahan garapan petani bisa mencapai 8-12 hektar. Hal itu memaksa petani menggunakan pupuk nonsubsidi yang harganya jauh di atas pupuk subsidi. Kepala Dinas Pertanian Kabupaten PPU, Mulyono mengatakan, dengan berkurangnya pasokan pupuk subsidi, otomatis kebutuhan suplai tanam dialihkan ke pupuk nonsubsidi. Baca juga: Distan PPU Perjuangkan Tambahan Kuota Pupuk Subsidi “Masalah pupuk itu kebijakan pemerintah pusat, ya. Jadi kita sosialisasikan terkait kurangnya jatah pupuk subsidi kita ke masyarakat petani,” terang Mulyono, beberapa waktu lalu, dikutip dari Harian Disway Kaltim - Disway News Network (DNN). Bidang Sarana dan Prasarana Pertanian telah mencatat kebutuhan 719 kelompok tani di seluruh PPU. Melakukan pendataan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK). Meski sudah tahu jatahnya bakal dikurangi, usulan tahun ini lebih besar dari tahun lalu. Di 2020, usulan sekira 2.100 ton, tahun ini usulannya bertambah 1.000 ton lagi. Jadi kisarannya sekira 3.100 ton. Walau tahu tak akan terpenuhi sepenuhnya seperti usulan tahun lalu, setidaknya terdata berapa kebutuhan sebenarnya petani akan pupuk subsidi. Adapun distribusi pupuk bersubsidi saat ini telah tertib dalam penyaluran dengan hadirnya kartu E-Tani. Kebijakan itu dianggap bisa membatasi akal distributor dan pengecer atau penyalur agar tetap menjual pupuk bersubsidi sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditentukan pemerintah. Untuk diketahui, HET pupuk bersubsidi di PPU telah diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup)  8/2014. Yaitu Pupuk Urea Rp 1.800 per kilogram, pupuk SP-36 Rp 2.000 per kilogram, pupuk ZA Rp 1.400 per kilogram, pupuk NPK Rp 2.300 per kilogram, dan pupuk Organik Rp 500 per kilogram. Namun, tak bisa dipungkiri masih ada saja oknum yang mampu mempermainkan harga itu. Entah bagaimana caranya, namun masih saja ada petani yang mengaku mendapatkan pupuk subsidi tak sesuai harga seharusnya itu. Menyikapi itu, Wakil Ketua Komisi II DPRD PPU, Sujiati terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani lokal. Dia selalu kritis mengawal agar petani mendapatkan haknya. "Harus diakui, petani kita itu masih sangat-sangat membutuhkan keberadaan pupuk subsidi. Makanya saya terus meminta pemerintah memberikan sesuai usulan kebutuhan petani," ujar dia. Namun nyatanya, kebutuhan pupuk subsidi ini urung dipenuhi pemerintah pusat tiap tahunnya. Alhasil, cenderung membawa persoalan pemerataan di tengah petani. Belum lagi, masalah ketepatan sasaran penerimaan. Sujiati menyebutkan, yang namanya subsidi, maka peruntukannya ialah bagi petani yang tidak mampu. Ketentuannya ada, yakni membantu kebutuhan 2 hektare lahan pertanian saja. Tidak lebih. "Tapi nyatanya, ada saja petani yang menerima pupuk subsidi lebih dari kebutuhan 2 hektare itu. Jadinya yang lain tidak kebagian," ungkap dia. Satu hal turut ia sampaikan, adanya pupuk subsidi ini tak selalu membawa hal baik untuk masyarakat. Pasalnya, kualitas pupuk subsidi jika dibandingkan dengan pupuk nonsubsidi masih jauh berbeda. Kuantitas yang sama antar keduanya, memberikannya dampak yang berbeda jika diaplikasi ke lahan. Kualitas pupuk nonsubsidi perkiraannya 50 persen lebih baik dari pada pupuk subsidi. "Petani juga mengerti itu. Makanya, kalau mereka mupuk pakai pupuk subsidi, jumlahnya jauh lebih banyak dari pada menggunakan pupuk nonsubsidi. Tapi hasilnya sama," sebut Sujiati. Berdasarkan analisa itu, langkah untuk meniadakan pupuk subsidi dirasa cukup. Pelan-pelan pemerintah dianggap mampu untuk menghilangkan peredaran pupuk subsidi ini. Pada waktu yang tepat di PPU, sambung dia, ialah saat perhatian Pemkab PPU untuk pasca panen petani sudah mumpung. “Selama ini kan pupuk mahal, tapi ketika musim panen tiba, harganya kan tidak jelas. Kadang sangat jauh dari modal awal petani,” kata dia. Pemerintah, kata Sujiati, harus menjamin hasil panen bisa diserap dengan harga yang pantas dan stabil. Seperti yang saat ini dialami petani di Kecamatan Babulu, saat musim panen tiba, Bulog tak maksimal dalam menyerap gabah petani. Akibatnya, gabah menumpuk. “Kalau hasil panennya dibeli dan harganya pantas, saya yakin meski pupuk subsidi dihapus tidak akan masalah,” terang dia. Untuk itu, politikus Partai Gerindra ini meminta pemerintah kini mulai memikirkan penanganan pasca panen. Agar, ketergantungan terhadap pupuk subsidi bisa ditekan. “Kalau kondisinya masih seperti saat ini ya memang belum bisa dihapus. Nanti kalau sistemnya sudah berjalan baru bisa (hapus pupuk subsidi),” tutup Sujiati. * Sementara di Paser, kenaikan harga pupuk nonsubsidi dirasa memberatkan petani. Salah satunya Petambak dari Muara Pasir, Dwi Ahmad. Dwi menyebutkan, pupuk Mutiara biasanya Rp 500 ribu per 50 kilogram, kini di harga Rp 650 ribu. Begitupun Phonska, dari Rp 300 ribu mengalami kenaikan harga jadi Rp 450 ribu. Harga itu dari beberapa toko penyedia pupuk yang kerap ia beli. "Toko-toko yang biasa datangi beli pupuk, perkataannya sama semua. Kenaikan harga lantaran harga beli pupuk dari pabrik pun begitu (alami kenaikan harga)," ucap Dwi, kepada Harian Disway Kaltim, Jumat (12/11/2021). Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Paser, Sadaruddin, tak menampik hal itu. Ia bilang, belakangan ini pupuk mengalami kenaikan harga dan skala nasional. Menurutnya, apa yang dirasakan petani tambak tak signifikan. Menurut Sadaruddin, petambak hanya menggunakan pupuk tunggal, seperti SP-36. Di mana itu jadi pilihan utama sebelum dimulainya pengisian benih ikan. Manfaat pupuk ini yaitu menumbuhkan jenis fitoplankton yang dapat memacu berkembangnya zooplankton. Ini dapat dijadikan sebagai pakan alami bagi udang muda atau kecil. "Keluhan petambak dan data di lapangan, S-P36 ini harganya naik sampai 13 persen dari Rp 380 ribu menjadi Rp 430 ribu per 50 kilogram atau per karung," jelas Sadaruddin, didampingi Kabid Budidaya Perikanan Dinas Perikanan, Abdul Aziz. Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Paser Djoko Bawono menyebutkan, kenaikan harga pupuk bisa saja dipengaruhi atas kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) dalam beberapa bulan terakhir. "Baru-baru ini saya dapat kabar harga TBS di salah satu pabrik kelapa sawit mencapai Rp 3.060 per kilogram," ucapnya. Ia akan membahas bersama dengan para organisasi perangkat daerah (OPD) terkait. Sehingga mengetahui secara detail penyebab kenaikan harga tersebut. Lain halnya yang disampaikan Kasi Usaha Perdagangan Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha, Kecil, Menengah (Disperindagkop) Kabupaten Paser, Marlina. Informasi dia terima  dari distributor pupuk di Paser. Kenaikan harga pupuk dipengaruhi harga bahan dasar pembuatan pupuk yang juga mengalami kenaikan. Ditambah lagi adanya kenaikan harga minyak dunia. "Bahan baku pembuatan pupuk tidak semuanya berasal dari dalam negeri. Ada juga yang mesti impor seperti KCL dan fospor," singkat Marlina. RSY/ASA/ZUL

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: