Waspada Cyberbullying pada Anak, Lambat Penanganan Bisa Bunuh Diri  

Waspada Cyberbullying pada Anak, Lambat Penanganan Bisa Bunuh Diri  

Samarinda, nomorsatukaltim.com – Cyberbullying bukan tindakan remeh. Efek psikologis bagi korban akan terus terekam berkepanjangan. Pelakunya sendiri terancam hukuman bui.

Dari catatan Sejiwa, yayasan yang concern menaungi kasus psikologis pada anak, menyebut pada 2018 sebanyak 49 persen anak di Indonesia menjadi korban cyberbullying. Dan 31,6 persen korban cenderung diam. Diena Haryana, Founder Sejiwa dalam materi webinar yang diselenggarakan European Union Social DigiThon, Sabtu (2/10/2021) lalu menyebut, dampak cyberbullying bisa berkepanjangan. Terutama rasa malu yang dialami oleh korban. Akibat postingan buruk dirinya telah disaksikan ribuan orang di dunia maya. Depresi adalah efek nyatanya. Dalam kasus lain bahkan berujung bunuh diri. “Sayangnya, banyak korban yang lebih memilih diam, tidak mengadukan kasus yang menimpa mereka,” katanya. Berdasar pengalaman yang Yayasan Sejiwa lakukan, seseorang cenderung melakukan cyberbulling karena beragam hal. Di antaranya pelaku ingin memermalukan korban. Lalu ingin populer di medsos agar menarik perhatian. Bisa juga ingin membalas dendam kepada korban dan dianggap sebagai jagoan. Nah, dalam kasus ini, anak-anak adalah sasaran empuk cyberbulling. Alasannya karena anak-anak dianggap penakut, memiliki fisik lemah dan lebih mudah dijadikan bahan olok. Sebenarnya pemerintah tidak tinggal diam. Yang lebih mengerikan dari cyberbullying adalah kasus ini merupakan rantai yang tidak pernah terputus. Kebanyakan pelaku adalah korban jua. Mereka mencari pelampiasan dengan meluapkannya kepada orang lain yang dianggap lemah. Sanksi untuk pelaku cyber bullying sebenarnya sudah diatur di UU 11/2008 tentang ITE pasal 28. Disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Lalu, bagaimana bila pelakunya adalah sama-sama anak di bawah umur? Untuk penanganan ini harus dilakukan pedampingan secara psikologis. “Jangan langsung reaktif terhadap pelaku. Bicarakan mendalam kenapa dia sampai begitu. Reaktif seperti itu yang ditakui oleh pekaku,” katanya. Dan untuk korban pun demikian. Harus diberi dukungan moral. Orang tua juga harus sensitif dengan perilaku anak mereka. Agar tidak ada pengalaman traumatis yang dialami oleh anak. “Cyberbullying ini bisa power full meski hanya kata-kata,” imbuh Diena. Anna Surti Ariani dari IPK Indonesia (Ikatan Psikolog Klinis Indonesia) sepakat. Yang menyedihkan, bagi pelaku cyberbullying saat masih di bawah umur, ketika dewasa berpotensi melakukan tindakan kriminal. “Ada risiko lebih besar untuk kecanduan berperilaku negatif dalam banyak hal saat mereka dewasa,” ujarnya. Dia menukil hasil survei UNICEF  U-Report tahun 2021. Dimana 45 persen dari 2.777 anak usia 14-24 tahun pernah alami cyberbullying. Salah satu langkah melawan adalah dengan digital citizenship. Yaitu konsep untuk memberikan pengetahuan mengenai penggunaan teknologi dunia maya dengan baik dan benar. Sekolah, keluarga, lingkungan sosial memberikan pengetahuan bagaimana berperilaku dalam dunia digital. Kemudian dibiasakan. Pertanyannya, perlukah pelaku perundungan yang masih di bawah umur dihukum? “Kalau itu ada tertulis dalam peraturan (negara) maka perlu ditangani semua pihak,,” sarannya. Maksud Anna, penanganannya jangan hanya dari sisi penegakan hukum. Tapi juga perlu libatkan psikolog. Disamping itu keterampilan digital guru dan staf di sekolah juga perlu ditingkatkan. Agar mengerti cara menangani  si pelaku sehingga tidak mengulangi lagi perilakunya. “Kalau menindak agar jangan sampai melakukan cyberbullying, boleh. Tapi jangan jadi pelaku balik,” tegasnya. Walhasil, solusi paling konkret bagi Anna adalah dari lingkungan keluarga. Agar tahu efek dari cyberbullying ini. Orang tua harus tegas. Membatasi aplikasi mana yang layak digunakan oleh anak dan tidak. Jika sudah kejadian, orang tua pun harus peka. Perhatikan sikap anak. Jika terus-terusan memegang gawai, maka patut dicurigai. Ajak mereka bicara tanpa menghakimi.  Pada akhirnya, benteng terbaik tetaplah dari lingkungan keluarga. (aaa/boy)      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: