Duduk Perkara Pasien Isoman Meninggal di Ambulans, Tak Dapat Penanganan di RSUD AWS

Duduk Perkara Pasien Isoman Meninggal di Ambulans, Tak Dapat Penanganan di RSUD AWS

Samarinda, NomorSatuKaltim.com - Hari masih gelap, tatkala suasana di Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS) Samarinda, dalam keadaan mencekam. Puluhan relawan hingga warga nampak berkumpul di Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit tersebut.

Ketegangan yang terjadi di antara tim tenaga kesehatan (Nakes) dengan warga ini, disebabkan pihak rumah sakit berplat merah itu memilih enggan menerima pasien isolasi mandiri (Isoman) yang tengah membutuhkan perawatan. Akibatnya, pasien sampai harus meregang nyawa di dalam mobil ambulans milik relawan, karena lambannya mendapatkan penanganan. Peristiwa memilukan ini terjadi pada Senin (26/7/2021) dini hari, sekitar pukul 02.00 Wita. Dari informasi yang berhasil dihimpun media ini, diketahui pasien isoman yang harus kehilangan nyawa lantaran tertahan untuk mendapatkan perawatan tersebut, merupakan seorang nenek berusia 80 tahun. Dikisahkan, awalnya relawan dari Masjid At-Taufiq mendapatkan informasi adanya warga yang tengah menjalani isoman, membutuhkan bantuan untuk diantarkan ke rumah sakit. Informasi itu lantas ditindaklanjuti oleh relawan Masjid At-Taufiq, dengan langsung menjemput pasien di kediamannya, di Jalan Pangeran Suryanata, Kelurahan Bukit Pinang, Samarinda Ulu. Saat dievakuasi, kondisi nenek 80 tahun itu sudah dalam keadaan kritis lantaran mengalami sesak nafas. Relawan yang mengevakuasi, kemudian membawanya ke RSUD AWS. Namun setibanya di rumah sakit yang terletak di Jalan PMI, Kecamatan Samarinda Ulu itu, pintu masuk dalam keadaan terpalang atau ditutup. Saat relawan hendak membuka palang tersebut, pihak keamanan rumah sakit kemudian datang dan menolak kedatangan pasien, hingga akhirnya sempat terjadi ketegangan. "Pas kita sampai di depan gerbang rumah sakit AWS, pasien ini ditolak sama sekuriti, tidak diizinkan masuk dengan alasan oksigen tidak ada, terbatas," ungkap Hermansyah, salah satu relawan yang ikut mengevakuasi nenek tersebut ketika dikonfirmasi Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com. Sekitar 30 menit tertahan di depan gerbang rumah sakit, akhirnya ambulans diperbolehkan untuk masuk menuju ke gedung IGD RSUD AWS. Namun sayang, lagi-lagi relawan dan pasien kembali mendapatkan penolakan dari nakes rumah sakit Bahkan di sela ketegangan itu, Hermansyah dan rekannya sempat memaksa untuk menurunkan pasien tersebut. Namun, tetap saja ditolak. "Setelah dibolehkan masuk, tapi saat di depan IGD tetap saja tidak ada tindakan apa-apa. Alasan dari perawat adalah oksigen tidak ada. Lalu mereka juga bilang bahwa harus koordinasi dulu dengan dokternya," terangnya. Selang setengah jam tertahan di depan pintu ruang IGD. Hermansyah dan rekannya melihat kondisi pasien di dalam ambulans mulai kehilangan kesadaran. "Kami diberi nomor dokter. Tapi setelah kami hubungi dokter, ibu ini sudah meninggal," ucapnya. Hermansyah menyesalkan apa yang terjadi saat itu. Bahkan kata Hermansyah, ketika diminta untuk memeriksakan kondisi pasien yang telah dalam keadaan meninggal, nakes lagi-lagi menolaknya. "Kami minta untuk diperiksa, memastikan ibunya meninggal atau enggak. Itu pun enggak (diindahkan), pasien enggak diturunkan, sama sekali (tidak diperiksa), masih di dalam mobil ambulans," kesalnya. Akibat kejadian itu, puluhan warga hingga relawan yang emosi sempat berkumpul di depan ruang IGD hingga pukul 05.00 Wita. Massa baru bubar, setelah pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) memediasi, dan akan menyampaikan kejadian tersebut ke para petinggi di RSUD AWS. Sementara itu, jenazah nenek 80 tahun tersebut akan dilakukan pemulasaran di RSUD AWS, lalu dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) di daerah Jongkang, Kutai Kartanegara.

RS TAK SANGGUP

Dikonfirmasi terpisah, Humas RSUD AWS dr Arysia Andhina membenarkan kejadian tersebut. Dijelaskannya, sebab dari penolakan lantaran kondisi RSUD AWS sudah tidak sanggup lagi untuk menerima pasien baru. "Memang benar ada kejadian seperti itu, kemampuan kami menangani pasien sudah sampai batas maksimal, dampak seperti ini pasti akan terjadi," ungkap perempuan dengan sapaan dr Sisi ini melalui pesan singkatnya. Sisi membantah RSUD AWS menolak pasien, tapi sudah tidak mampu lagi menangani semua pasien yang datang. "Keluarga pasien ini juga sudah menghubungi RS lain, dan mereka juga tidak sanggup," terang dr Sisi. Ditambah, kata dia, saat ini sudah 250 lebih tenaga kesehatan di RSUD AWS sedang menjalani isolasi mandiri (isoman) karena terpapar COVID-19. "Harapan kami memang ada penambahan fasilitas kesehatan untuk mengatasi masalah overload pasien ini, dan hal ini merupakan wewenang pemerintah daerah," kata dia. Untuk itu, dia meminta pencegahan penyebaran di masyarakat dan edukasi, serta sosialisasi masalah keterbatasan fasilitas kesehatan saat ini perlu disampaikan ke masyarakat. "Tentu akan memerlukan waktu untuk merealisasikannya dengan segera. Sehingga pencegahan penyebaran di masyarakat dan edukasi serta sosialisasi masalah keterbatasan fasilitas kesehatan saat ini perlu juga disampaikan ke masyarakat," pungkasnya.

BUKAN YANG PERTAMA

Peristiwa penolakan rumah sakit terhadap pasien COVID-19 yang tengah menjalani isoman bukan yang pertama kalinya terjadi di Samarinda. Hal tak mengenakan seperti itu bahkan juga sudah pernah dialami oleh Tim Inafis Satreskrim Polresta Samarinda. "Kami ada sekitar lima kali ditolak saat sedang membantu warga Samarinda. Tapi bukan satu rumah sakit saja, penolakan itu di beberapa rumah sakit," ungkap Kasubnit Inafis Satreskrim Polresta Samarinda Aipda Harry Cahyadi. Hal seperti itu tentunya menjadi dilema bagi para petugas maupun relawan yang tengah berjuang membantu nyawa orang lain. "Kebanyakan yang ditolak ini pasien yang sedang menjalani Isoman," sambungnya. Kendati dihadapi dengan situasi tersebut, Harry sapaan karib polisi tersebut menegaskan, pihaknya maupun relawan tetap selalu hadir untuk membantu masyarakat yang tengah menghadapi COVID-19. "Mau kondisinya seperti itu, kami tetap akan hadir membantu dan memberikan pertolongan. Jadi warga Samarinda tidak perlu khawatir," tegasnya. "Yang kami harapkan sekarang ini, pemerintah diharapkan hadir dan bisa mengatasi permasalahan seperti ini. Agar tidak ada lagi nyawa warga yang tidak tertolong karena adanya penolakan," tandasnya.

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH

Seperti diketahui, rumah sakit merupakan salah satu institusi pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara paripurna. Pelayanan kesehatan paripurna yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Rumah sakit juga menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pada dasarnya setiap orang memiliki hak yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan terjangkau. Namun belakangan ini banyak terjadi kasus masyarakat yang membutuhkan bantuan medis dalam keadaan darurat. Bahkan sampai harus meregang nyawa karena ditolak rumah sakit dengan berbagai alasan. Penolakan memberikan tindakan medis terhadap pasien dalam keadaan darurat sejatinya tidak diperbolehkan. Rumah sakit dilarang menolak memberikan Tindakan medis terhadap pasien dalam keadaan darurat tersebut sudah diatur pada Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. "Dalam ketentuan Pasal 32 juncot Pasal 85 UU 36/2009 tentang Kesehatan, memang menyebutkan secara eksplisit jika dalam keadaan darurat, termasuk dalam situasi bencana, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien," ungkap Herdiansyah Hamzah, pengamat hukum ketika diminta tanggapannya oleh media ini. Lanjut dosen hukum Universitas Mulawarman Samarinda tersebut, pimpinan atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan darurat, dapat dikenakan sanksi pidana. Sanksi pidana ini jauh lebih berat jika mengakibatkan kematian. "Itu bisa dilihat di Pasal 190 UU 36/2009," imbuhnya. Kendati dalam kasus ini fasilitas kesehatan mengalami overload atau over capacity, mengingat grafik pasien COVID-19 yang terus meningkat. Rumah sakit tetap tidak boleh menolak pasien dalam keadaan apapun, terlebih dalam kondisi darurat yang jelas-jelas warga sedang bertarung nyawa. "Rumah sakit harusnya menerima dan memberikan pertolongan pertama semampu mungkin. Kondisi overload itu tidak boleh dijadikan alasan menolak pasien. Namun rumah sakit bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini," jelas pria yang akrab disapa Castro tersebut. Selain itu, Castro menyampaikan, kejadian seperti ini adalah bentuk kegagalan pemerintah. Sebab urusan fasilitas, baik tenaga medis, kapasitas ruang isolasi, ketersediaan oksigen, dan obat-obatan, terutama dalam kondisi bencana, menjadi tanggung jawab mutlak dari pemerintah daerah. Hal ini disebutkan secara tegas dalam ketentuan Pasal 82 UU 36/2009 yang menyebutkan, pemerintah daerah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana. "Jadi pemerintah daerah wajib menyediakan pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa warganya. Nyawa manusia itu jangan hanya dilihat sebagai grafik dan angka-angka belaka," tegasnya. (aaa/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: