Akar Sejarah Pernikahan Dini di Indonesia

Akar Sejarah Pernikahan Dini di Indonesia

Promosi perkawinan anak belakangan ini sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Seperti Aisha Wedding. Promosi ini berkedok sebagai wedding organizer untuk menarik perhatian publik, dan kemudian ‘menjual’ identitas keagamaan.

TIDAK hanya melalui media informasi cetak seperti brosur dan poster, promosi ini juga menyasar para pengguna media sosial. Seperti Facebook dan Instagram. Tak bisa dimungkiri, hal tersebut menggemparkan semua pihak. Terutama pemerintah Indonesia. Yang masih belum serius mengatasi fenomena tersebut.

Di Indonesia, perkawinan anak bukanlah hal baru. Sebelum kemerdekaan Indonesia, perkawinan anak merupakan masalah yang biasa terjadi dan masih dilestarikan oleh budaya dan tradisi. Masyarakat adat di Indonesia telah mengenal praktik ‘kawin gantung’ selama puluhan tahun. Yang berarti anak-anak dikawinkan secara agama. Tetapi hanya diperbolehkan tinggal serumah setelah mereka dewasa. Bagi mereka yang menghormati hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan gender, mungkin terdengar aneh. Kemudian muncul pertanyaan: mengapa fenomena ini masih mengakar di masyarakat Indonesia? “Meski Indonesia diakui sebagai bangsa yang menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak dapat dimungkiri bahwa tradisi dan nilai budaya tetap kuat,” tulis Lengga Pradipta di Modern Diplomacy. Indonesia akan menghadapi kendala terbesar dalam menangani masalah ini. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Republik Indonesia (2020), dari 270 juta penduduk Indonesia, sekitar 11,2 persen perempuan menikah pada usia 20-24 tahun, dan 7,2 persen perempuan menikah di bawah usia 17 tahun. Indonesia menduduki peringkat kedua menurut angka pernikahan anak di negara-negara ASEAN. Dilihat dari segi sejarah, pada 1920-an, aktivis perempuan dari Belanda melakukan musyawarah tentang tradisi perkawinan di Indonesia. Salah satu yang paling mengkhawatirkan saat itu adalah tentang perkawinan anak yang sangat merugikan perempuan. Temuan ini kemudian dicatat dalam De Vrouw in Huis en Maatschappij: Propagandabladvoor de Vrouwenbeweging in Indonesie (1926). Melalui buku inilah yang kemudian memicu dilaksanakannya Kongres Perempuan pertama di Indonesia. Yaitu pada 22 Desember 1928. Yang menjadi cikal bakal penentangan isu perkawinan anak. Setelah 20 tahun, tepatnya 1950, Kongres Perempuan Indonesia mengusulkan batasan usia pernikahan bagi laki-laki 21 tahun dan bagi perempuan 18 tahun. Namun untuk memperkuat penetapan batas usia perkawinan anak, perlu disahkan menjadi undang-undang yang sah di ranah legislatif. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dikeluarkan dan disahkan pada 1974. Lalu diubah kembali pada 2019. Dengan menetapkan usia minimal menikah menjadi 19 tahun bagi laki-laki maupun perempuan. Pengenalan dan promosi pernikahan anak untuk anak-anak berusia 12-21 tahun dilarang keras oleh pemerintah. Terkait dengan peraturan yang berlaku. Selain itu, promosi ini mencoba menarik perhatian masyarakat dengan menggunakan faktor tradisi, keyakinan, dan agama sebagai kuncinya. Mereka juga meyakinkan publik bahwa menikahi anak atau gadis muda adalah salah satu solusi untuk menghindari dosa. Fakta luar biasa juga terungkap dari promosi ini. Yang mengklaim anak-anak atau remaja putri dapat mengurangi beban ekonomi dalam keluarganya. Dengan melakukan pernikahan dini. “Dalam skenario ini, gadis muda digunakan sebagai aset seksual dan ekonomi bagi penyedia layanan,” catat Pradipta. Kuatnya sistem dan ketaatan pada patriarki di Indonesia juga menjadi salah satu penyebab kompleksitas masalah ini. Greene dan Stiefvater (2019) dalam tulisannya yang berjudul Norma sosial dan gender dan perkawinan anak: refleksi atas isu, bukti, dan bidang penyelidikan di lapangan, mengungkapkan, “Perkawinan anak merupakan salah satu bidang pertama ketidaksetaraan terkait gender. Di mana perspektif norma sosial dan gender telah diterapkan.” “Aturan patriarki mendasari sebagian besar sistem perkawinan, dan pemahaman tentang norma gender sangat penting untuk menjelaskan dan berupaya mengakhiri praktik yang sangat berbahaya bagi anak perempuan di banyak bagian dunia ini,” lanjutnya. Dapat diartikan bahwa praktik perkawinan anak di bawah umur sangat berbahaya bagi anak perempuan. Dan hal ini terjadi hampir di semua negara berkembang di dunia. “Masalah pernikahan anak di Indonesia memang sulit diatasi. Namun, bukan berarti tidak mungkin menindak tegas para pelakunya,” kata Pradipta. Ada beberapa tindakan yang mungkin dilakukan: pertama, kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat menjadi PR yang krusial bagi pemerintah. Dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perkawinan anak dengan dalih ekonomi dapat dihindari. Kedua, memberikan pemahaman kepada anak bahkan orang tua tentang perkawinan. Ini merupakan hal mendasar lainnya yang harus segera dilakukan oleh pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. Ketiga, mendukung tokoh adat dan agama sebagai wakil masyarakat. Yang dapat mendidik remaja putri tentang dampak perkawinan anak. Terakhir, namun juga sangat penting, meningkatkan penegakan hukum terhadap perkawinan anak di Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk memastikan bahwa nilai-nilai hukum dan HAM bukan sekadar wacana. “Melainkan dikejar dan ditegakkan dengan tindakan tegas dan nyata,” saran Pradipta. (mmt/qn) Sumber: https://www.matamatapolitik.com/pernikahan-anak-di-indonesia-buntut-patriarki-dan-kemiskinan-analisis/

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: