Gubernur Isran: Kebijakan Sekarang Sentralistik!

Gubernur Isran: Kebijakan Sekarang Sentralistik!

Penarikan sejumlah kewenangan pemerintah daerah oleh pusat melalui UU Cipta Kerja, rupanya menjadi ganjalan bagi kepala daerah. Selain Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, Gubernur Isran Noor, secara terang-terangan mengkritik sentralisasi kekuasaan.

nomorsatukaltim.com - Di depan para Ahli Hukum Tata Negara, Isran Noor tak segan-segan mendorong perbaikan konstitusi melalui kajian ilmiah fundamental. Hal ini sebagai upaya perbaikan sistem yang mampu membagi kewenangan pemerintah pusat dan daerah secara proporsional. Apalagi menurut orang nomor satu Kaltim ini, Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, adat, bahasa, dan kesenian. Serta luas wilayah yang dipisah oleh pulau dan laut. Harus memiliki ciri khas ketatanegaraan. "Saya sampaikan di sini, kita butuh perbaikan. Tidak perlu takut untuk menyampaikan, selama benar akan saya dukung," kata Isran Noor ketika membuka Seminar Nasional dengan tema Penguatan Sistem Perundang-undangan dan Hubungan Pusat dan Daerah, Rabu (3/2/2021). Politisi Nasdem itu menilai Indonesia perlu mencontoh negara federal dalam sistem pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. Sistem negara federal, seperti Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat dinilai ideal diterapkan di Indonesia karena memberi kewenangan khusus kepada pemerintah daerah untuk menjalankan sistem pemerintahan. "Kesannya kita anti negara federal, padahal kita (juga) punya kewenangan daerah masing-masing (yang mirip sistem federal). Karena ada sebuah perbedaan yang tidak simetris antar daerah di Indonesia yang luas ini," kata Isran di depan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara - Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). "Perlu kita mengadopsi, mempelajari, atau menerapkan itu. Kalau tidak mau disebut federal, ya sebut apa saja. Yang penting, ada kewenangan di daerah yang memang  tahu persis kondisi kedaerahannya," sambungnya. Hal ini, sekaligus merespons kebijakan pemerintah pusat, yang mengambil alih beberapa kewenangan di daerah. Isran juga mengkritisi, kebijakan pemerintah pusat yang selalu mengubah kebijakan dalam pembagian kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah. Di awal masa kemerdekaan dulu, Indonesia pernah menerapkan sistem federal. Republik Indonesia Serikat (RIS) sejak tahun 1949 hingga 1950. Yang membagi wilayah Indonesia ke dalam 7 negara bagian. Namun, akhirnya sistem itu tak dilanjutkan dan Indonesia kembali ke dalam sistem negara kesatuan. Kemudian sistem pemerintahan yang sentralistik, terjadi selama 32 tahun masa orde baru. Di bawah pimpinan Soeharto. Pembagian kewenangan daerah atau desentralisasi baru terjadi pada masa reformasi. Dan, saat ini kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah kembali mengalami perubahan. Melalui UU Cipta Kerja yang banyak mengambil alih kewenangan daerah ke pemerintah pusat. "Sekarang banyak diatur secara sentralistik. Kewenangan daerah ditarik lagi," kritiknya. Salah satunya, adalah UU Nomor 3 Tahun 2020  tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Yang men-take over seluruh pengurusan usaha pertambangan ke pemerintah pusat. Dalam transisi perubahan tersebut, Isran mengatakan akan berpotensi menciptakan  persoalan. Khususnya di Kaltim. Perizinan usaha pertambangan batu bara yang ditarik ke pusat, menurut Isran akan menyebabkan maraknya terjadi ilegal mining. Sementara, Pemda tak mampu melakukan apa pun. Karena tak memiliki payung hukum kewenangan dalam melaksanakan urusan dan pengawasan usaha pertambangan. "Di lapangan itu jadinya ya suka-suka. Saya menghargai keputusan pemerintah, tapi ya kondisinya seperti itu yang akan terjadi," ucapnya. Oleh karena itu, Isran berharap kepada para akademisi dan ahli hukum ketatanegaraan untuk memberikan kontribusi kajian ilmiah fundamental. Terkait perbaikan sistem yang mampu membagi kewenangan pemerintah pusat dan daerah secara proporsional. Apalagi menurut Isran, Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, adat, bahasa, dan kesenian. Serta luas wilayah yang dipisah oleh pulau dan laut. Harus memiliki ciri khas ketatanegaraan. "Pokoknya negara kita ini suka uji coba. Tapi ini merupakan dinamika ketatanegaraan," ujarnya. Ia berharap lahir gagasan baru tentang ciri khas ketatanegaraan dari para ahli hukum tata negara. Ketua APHTN-HAN yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana Malang, Prof Dr Suko Wiyono SH MH mengakui, dinamika sistem perundang-undangan Indonesia adalah pergerakan bagian-bagian dari perundangan yang masing-masing mempunyai tugas berbeda. "Setiap keputusan selalu berbeda. Namun, HAN mampu menimbulkan sebuah solusinya. Kita (APHTN-HAN) ke depannya lebih banyak menghadirkan solusinya," tambahnya. Ia harap, hadirnya APHTN-HAN dapat menyumbangkan solusi berbagai masalah kenegaraan. "Organisasi profesi kami ini diharapkan bisa mengembangkan dan bermanfaat berkebangsaan, yang berguna untuk khalayak ramai," ujarnya. Prof Dr Maria Farida Indrati, mantan hakim Mahkamah Konstitusi periode 2008-2018 mengatakan, selama ini penetapan perundang-undangan di Indonesia masih berpaku pada ketentuan umum UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia selama ini masih tradisi dari civil law," ujarnya. Keterikatan pembentukan perundang-undangan di Indonesia juga tak akan pernah lepas dari beberapa sumber hukum. Sehingga saat ini, HAN mampu menjadi penyeimbang bagi kemakmuran masyarakat. (krv/bom/zul/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: