Kasus Tambang Ilegal Berlarut, Menanti Penindakan Hukum

Kasus Tambang Ilegal Berlarut, Menanti Penindakan Hukum

PELANGGARAN di dunia tambang tak kunjung diusut tuntas. Pada 2020 lalu contohnya, Jatam Kaltim mencatat 38 pelanggaran terjadi di Bumi Etam. Yang terdiri dari sembilan kategori pelanggaran. Dari seluruh kasus tersebut, hingga saat ini, tak ada satupun yang diusut tuntas oleh pemerintah maupun kepolisian sebagai aparat penegak hukum.

“Hingga saat ini, tidak ada penindakan atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh para perusahaan tambang batu bara," ucap Dinamisator Jatam, Pradarma Rupang. Ia merincikan, dari masing-masing kasus pelanggaran yang dimaksud, di antaranya, pencemaran dan perusakan lingkungan sebanyak lima kasus, perampasan tanah sebanyak empat kasus, kriminalisasi terhadap warga dua kasus, dan pertambangan ilegal sebanyak sepuluh kasus. Baca juga: Lingkaran Setan Tambang Ilegal Lalu, kasus anak meregang nyawa di lubang tambang, berjumlah dua orang. Dan bila diakumulasikan, totalnya sudah sebanyak 39 orang. Pelanggaran selanjutnya ialah mengancam keselamatan nelayan dan masyarakat pesisir sebanyak tujuh kasus. Kelalaian protokol keselamatan kerja enam kasus, dan perusakan fasilitas publik satu kasus. Serta yang terakhir, terkait korupsi dan penyalahgunaan wewenang sebanyak satu kasus. Hanya ada tiga daerah di Kaltim yang tidak menerapkan tata ruangnya sebagai industri batu bara. Yakni Balikpapan, Bontang, dan Mahulu (Mahakam Ulu). Tetapi ada irisan-irisan kasus pelanggaran yang terjadi di kawasan tersebut. "Karena tetangganya menerapkan kebijakan penerbitan izin tambang dan tata ruangnya juga mengakomodasi kehadiran industri energi kotor tersebut," ucap Rupang Dilanjutkan Rupang, dari 38 kasus, paling banyak adalah tambang ilegal dengan jumlah 10 kasus. Beberapa terjadi di wilayah yang sama. Terungkap berdasarkan pengaduan warga kepada Jatam Kaltim ataupun masyarakat menyampaikan secara terbuka di media sosial. Jatam juga mencatat peningkatan kasus dibanding 2019 terkait perampasan tanah. Terjadi di Berau, Kutai Timur, dan Kutai Barat. Di Berau terjadi di tiga kampung dari dua kecamatan. Lalu di Kutim telah berlangsung bertahun-tahun dialami 300 petani dari 15 kelompok tani. Medio Februari 2020, lebih dari 100 warga mewakili 15 kelompok tani di Kutim melakukan demonstrasi ke kantor pusat perusahaan tambang dimaksud. Setidaknya mereka mengalami kerugian atas 645 hektare lahan. Pelanggaran selanjutnya, ialah kasus tewasnya anak-anak di lubang tambang. Disebutkannya, selama tiga tahun terakhir, kasus anak meninggal di lubang tambang juga cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan lalainya pengawasan pemerintah terhadap perusahaan tambang yang tidak menjalankan protokol keselamatan di setiap lubang tambang. “Jadi selama tiga tahun meningkat. Dan dua tahun periode kepemimpinan Isran Noor sebagai gubernur, kami mencatat terjadi pembiaran dan pengabaian terhadap pengawasan dalam kasus ini,” ucapnya. Kata Rupang, dari fakta di lapangan, sejumlah lubang tambang itu kini tanpa pengawasan. Bahkan menurutnya, komitmen Pemprov Kaltim untuk melakukan penindakan terhadap perusahaan tambang yang mengabaikan protokol keselamatan juga tidak ada. Dan justru berkesan sangat tampak pembiarannya. Dari sejumlah kasus, Jatam Kaltim menemukan lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa ada standar protokol keselamatan. Di antara protokol keselamatan itu seperti pemberitahuan kawasan berbahaya, memasang pagar pembatas agar anak-anak tidak bisa mengakses lubang tambang, dan mendirikan pos jaga beserta petugas keamanannya. Selain kasus tewasnya anak di lubang tambang, masih banyak lagi kasus pelanggaran pertambangan lainnya yang tidak mendapatkan tindakan Pemprov Kaltim dan Polda Kaltim. Seperti yang telah diketahui, sejak 2011 silam, terhitung sudah ada 16 anak Samarinda yang meregang nyawa di lubang tambang batu bara. Hal itu tentu menjadi catatan buruk, dari sekian ragam peliknya kasus pertambangan yang terjadi di Kota Tepian. Kasus anak tewas di lubang tambang, pertama kali terjadi pada sembilan tahun lalu, tepatnya pada 13 Juli 2011. Namun, hingga saat ini, kasus yang merenggut nyawa penerus bangsa tersebut, tak kunjung usai. Dari 16 kasus anak tewas di lubang tambang, hanya satu perkara saja yang sampai ke meja persidangan. Itu terjadi di 2013 lalu. Sisanya hanya mengambang di kolam tambang. Penggiat lingkungan di Benua Etam ini pun mempertanyakan kinerja Polresta Samarinda. “Ini yang jadi pertanyaan. Kita sayangkan kinerjanya hanya minimalis. Pertanyaannya adalah, seprofesional dan seserius apa kepolisian kita menindak tuntas?” kata Rupang. Menurutnya, polisi harusnya dapat menjadi ujung tombak di tengah lemahnya pengawasan tambang. Selain dirinya menilai, pemerintah daerah juga tak memiliki kemampuan dalam menindak kasus pertambangan. “Problemnya para pemimpin yang bisa memberikan diskresi ini malah masa bodoh. Di lain kita juga menuntut kinerja kepolisian. Jadi komunikasi antar pemerintah daerah dan aparat penegak hukum ini tidak baik, jadi rakyat yang dikorbankan,” pungkasnya.

KLAIM DITANGANI

Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Arif Budiman ketika dikonfirmasi di pengujung 2020 lalu, menanggapi perihal kasus tewasnya anak di lubang tambang, yang hingga saat ini urung jua terselesaikan proses hukumnya. Perwira menengah ini mengaku, masih melanjutkan penyelidikan terkait kasus tenggelamnya anak di lubang tambang. Belum usainya pengungkapan kasus tersebut, dikarenakan belum cukupnya alat bukti. “Untuk melanjutkan kasus (lubang tambang) itu tentu tentunya harus ada alat bukti ya, nanti akan saya cek lagi. Kalau 2020 tidak ada (kasus lubang tambang). Tapi 2019 ke bawah yang banyak. Banyak juga di wilayah lain, tapi kalau di Samarinda sendiri nanti akan saya cek langsung. Saya mohon waktu,” katanya. Ketika ditanya terkait kasus tenggelamnya anak di lubang tambang terakhir di Jalan Suryanata, Gang Saka, Samarinda Ulu, pada 22 Juni 2019 lalu, Arif kembali mengatakan hal serupa. Pihaknya masih belum bisa menemukan bukti yang kuat. Padahal, Surat perintah penyidikan (SPDP) dikirim ke kejaksaan pada Juli 2019. Terlapor dalam perkara tersebut, Armain dan Abidin Yansyah –warga sekitar- yang bersangkutan itu, mengakui mengerjakan lubang tambang ilegal. “Seperti yang saya sampaikan tadi, itu berarti kan saksi-saksi dan buktinya kurang kuat, tapi nanti perkembangannya akan kami sampaikan,” ucapnya. Disinggung soal kasus tambang ilegal, seperti temuan di belakang Bawaslu Kaltim yang mencuri perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada September 2019 lalu, Arif mengaku belum mengetahui secara jelas. Sebab, kala itu, dirinya belum menjabat sebagai Kapolresta Samarinda. “Itu saya belum ada di sini ya karena saya baru masuk. Tapi nanti saya cek, saat ini tidak ada kegiatan memang di sana,” ucapnya. Ketika ditanya ada tidaknya kemungkinan kasus yang belum terungkap ini akan dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Polisi berpangkat melati tiga ini mengatakan, tidak akan secara tiba-tiba mengeluarkan mengajukan surat itu. “Ya kalau tidak jelas kenapa harus di-SP3. Kan ada beberapa kriteria, salah satunya tersangkanya meninggal dunia dan sudah kedaluwarsa. Tapi nanti kita lihat sampai di mana, kita tidak bisa tiba-tiba mengeluarkan SP3, harus gelar juga,” tandasnya. Sementara itu, berdasarkan data di Polda Kaltim di 2020 lalu, terdapat 15 kasus tindak pidana illegal mining yang masuk dalam laporan Ditreskrimsus Polda Kaltim. Sembilan di antaranya langsung ditangani Ditreskrimsus sendiri. Sedangkan satu di Polresta Samarinda dan lima di Polres Kukar. "Dari 15 kasus pidana itu kita sudah selesaikan atau P-21 kan sebanyak sepuluh kasus. Sisanya masih proses," ujar Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Pol Ade Yaya Suryana, Jumat (22/1/2021). Kasus pertambangan di Kaltim, disebut Ade mengalami penurunan jika dibandingkan 2019 lalu. Di mana data yang ada pada 2019 lalu terdapat 19 kasus tambang. "Menurun ya, artinya sudah sesuai prosedur," jelasnya. (aaa/bom/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: