Pembubaran FPI, Benih-Benih Otoritarianisme di Era Reformasi

Pembubaran FPI, Benih-Benih Otoritarianisme di Era Reformasi

OLEH: ADITYA PRASTIAN SUPRIYADI*

Tahun 2021 ternyata menjadi tahun yang buruk bagi ormas Front Pembela Islam (FPI). Ormas Islam yang sudah eksis sejak 1998 secara nasional akhirnya harus tutup usia pasca dibubarkan oleh pemerintah melalui pemboikotan. Perjalanan yang cukup panjang bagi FPI selama lebih dari 20 tahun hanya bersisa suka, duka dan cita dari segala aktivitas yang telah dilakukan selama ormas Islam tersebut berdiri.

Pembubaran ormas menjadi “gorengan” yang cukup menarik untuk didiskusikan. Menariknya, pembubaran ormas ini bisa menjadi topik pembahasan hangat apabila dibenturkan dengan konstitusi. Konstitusi menjamin hak masyarakat untuk berkumpul dan berserikat yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945 nyatanya bisa disabotase. Tindakan sepihak dan sewenang-wenang ini tentu bisa saja masuk kategori tindakan yang otoriter. Konstitusi Indonesia mengatur mengenai derogable rights (hak yang relatif) dan non derogable rights (hak yang mutlak). Jenis hak mutlak terdapat dalam Pasal 28 I UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan hak mutlak yang tidak dapat dibatasi. Hak berkumpul dan berserikat tidaklah menjadi bagian tersebut. Maka hak berkumpul dan berserikat bisa dibatasi. Pembatasan HAM wajib mengikuti prosedur dan mekanisme hukum yang berlaku. Agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dalam Pasal 28 J UUD 1945 dijelaskan mengenai pembatasan HAM. Pembatasan HAM diatur untuk menjamin pengakuan dan penghormatan hak orang lain. Selain itu juga untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Tindak lanjut pembatasan HAM dalam konstitusi wajib melalui undang-undang. Apabila tidak melalui undang-undang, maka itu adalah perbuatan sewenang-wenang dan merupakan perbuatan otoriter. Mengacu pada studi pemboikotan FPI oleh pemerintah, tidak lepas dari indikator penegakan HAM berdasarkan konstitusi. Seperti yang disampaikan dari pemerintah bahwa pembubaran FPI karena anggota FPI kerap terlibat dalam kasus pidana hingga terorisme. Kemudian FPI juga acap melakukan razia yang mengambil kewenangan dari penegak hukum. Pemerintah juga menganggap FPI sejak 20 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas. Namun sebagai organisasi, FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban, keamanan dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping secara sepihak, provokasi, dan lainnya. Itulah yang menjadi dasar pemerintah memboikot segala kegiatan FPI. Namun patut disayangkan mengenai tindak lanjut melalui maklumat pemboikotan FPI dari Polri. Dalam Pasal 2d, Polri melarang masyarakat untuk mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten terkait FPI. Maklumat tersebut telah membatasi hak warga negara untuk bebas mengakses dan memperoleh informasi yang diatur dalam Pasal 28 F UUD 1945. Seharusnya maklumat tidak bisa digunakan sebagai pembatasan hak asasi. Berdasarkan konstitusi, yang bisa membatasi hak adalah UU. Sehingga Maklumat Polri melanggar Pasal 28 F UUD 1945. Selain memberi kerugian bagi masyarakat, pemberlakuan maklumat juga membatasi kedudukan pers di Indonesia dalam kebebasan mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi yang sudah dijamin Pasal 4 ayat (3) UU Pers. Maklumat yang dikeluarkan oleh Polri di atas adalah bentuk kebijakan sewenang-wenang dan sepihak. Kebijakan yang dikeluarkan secara sepihak dalam kepemimpinan kenegaraan adalah salah satu ciri kepemimpinan yang otoriter (Soerjono Soekanto, 2004). Maka maklumat yang dikeluarkan Polri tidak lain bentuk dari otoritarianisme. Penegak hukum yang seharusnya menjadi role of model penyelanggaraan hukum di Indonesia justru melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hukum. * Walaupun negara memiliki kewenangan memboikot dan membubarkan ormas, namun sebaiknya kewenangan tersebut tidak menjadi opsi utama. Indonesia berdiri atas rasa kekeluargaan. Kewajiban negara untuk membina ormas yang diatur dalam UU. Nomor 16 Tahun 2017 wajib diutamakan. Tindakan tersebut harus didahulukan sebelum ada tindakan represif. Apabila ada indikasi pelanggaran hukum harus benar-benar diinvestigasi apakah ormas yang menjadi sumber pelanggaran atau mungkin pelakunya adalah oknum per anggota. Jika pelakunya oknum, seharusnya penegakan hukum berlaku per individu. Bukan ke ormas. Apabila praktik pembubaran ormas sepihak ini selalu dilakukan, potensinya akan banyak ormas di Indonesia yang dibubarkan. Pembubaran ormas bisa mengurangi ruang gerakan masyarakat sipil sebagai checks and balances antara relasi negara dan warga. Padahal perimbangan kekuatan negara dan sipil memiliki urgensi memunculkan konsolidasi antara negara dan masyarakat sipil dalam menjalankan checks and balances (Huntington, 1995). Pembubaran ormas dari pemerintah tersebut justru menyabotase kebebasan masyarakat untuk ikut andil mengawasi kebijakan. Tindakan tersebut berpotensi melahirkan neo-otoritarianisme kekuasaan di era ini. Perbedaannya, pada era Orde Baru, pendekatan dan cara pandangnya adalah pembungkaman kebebasan berpendapat. Pada era sekarang benih neo-otoritarianisme lahir melalui pembatasan hak berkumpul dan berserikat yang mengakibatkan menutup ruang kebebasan berekspresi dalam merespons kebijakan negara. Pembubaran ormas sepihak bisa menggerus kebebasan sipil dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Pembubaran FPI bukanlah suatu solusi dalam menyelesaikan permasalahan di sektor organisasi kemasyarakatan. Walaupun FPI sudah bubar, hak untuk membentuk kelompok baru masih terbuka lebar. Artinya para pengurus eks FPI bisa saja membentuk kelompok baru sebagai tempat bernaung. Transformasi wadah baru bisa memusatkan kekuatan yang hadir akibat dari perlakuan semena-mena pemerintah. Apabila itu terjadi, sungguh ini menjadi ironi. Irman Putra Sidin selaku pengamat hukum yang fenomenal menjelaskan, “Negara belum tentu bisa selalu hadir bagi warga negaranya yang sakit. Bisa jadi ormas terlebih dahulu yang ada di situ. Itulah fungsi ormas dan organisasi negara. Dia bisa menjadi sahabat. Bisa menjadi seteru”. Maka salah satu solusi utama dalam mengatasi permasalahan pada ormas adalah pengayoman. Bukan pembubaran. Tujuannya untuk membentuk hubungan yang harmonis antara negara dan ormas sebagai mitra sosial kemasyarakatan. (*Dosen Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: